Part #27 : Tangled thread

“Mas, kamu nggak balik ke kantor?”

Haris dan Anin saat ini sudah berada di rumah Haris. Dari rumah makan tempat Anin bertemu dengan Mira tadi, mereka langsung pulang ke rumah ini.

“Nggak, aku tadi udah ijin kok. Kamu kok nggak bilang-bilang kalau ketemuan sama Mira?”

“Maaf mas, bukan nggak bilang, tapi belum. Tapi kok kamu bisa tau aku ada disana tadi?”

“Bagas yang bilang.”

“Bagas? Siapa Bagas?”

“Oh iya, kamu belum kenal sama dia ya? Bagas itu sahabatku dari jaman kuliah dulu Nin, kami dulu sekost dari awal masuk sampai lulus. Kapan-kapan deh aku kenalin ke kamu.”

“Ooh gitu. Terus kok mas Bagas bisa tau kalau aku ada disitu mas?”

“Dia tadi juga lagi makan siang disitu sama pacarnya. Dia sebenarnya juga nggak tau kalau kamu itu calonku. Tapi dia kan kenal juga sama Mira. Nah tadi dia hubungin aku dan bilang kalau dia liat Mira sama seorang cewek jilbaban gitu. Karena penasaran aku minta dia kirimin foto. Pas aku liat foto itu, ternyata yang dimaksud adalah kamu. Jadi ya aku langsung cabut dari kantor tadi.”

“Oh gitu. Tadi waktu kamu dateng mas Bagas masih disitu?”

“Masih kok.”

“Kok nggak disamperin?”

“Nggaklah. Kalau ternyata Mira punya niat nggak baik ketemu sama kamu tadi, lebih baik dia nggak tau kalau Bagas ada disitu. Kalau tau kan Bagas bisa kebawa-bawa nanti. Ini aku juga udah bilang sama Bagas kok. Besok-besok lah aku ceritain ke dia.”

“Iya juga sih ya.”

“Jadi, tadi kenapa Mira nemuin kamu?”

Anin kemudian menceritakan dengan detail semua pembicaraannya dengan Mira tadi kepada Haris. Harispun juga terkejut mendengar cerita Anin itu. Tapi dia tetap membiarkan Anin menyelesaikan ceritanya.

“Jadi gitu mas ceritanya,” ucap Anin mengakhiri ceritanya.

Haris terdiam sebentar, dia nampak sedang memikirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian barulah dia menjawab Anin.

“Hmm, jadi udah jelas kan apa alasannya dia ninggalin aku waktu itu.”

“Jadi, yang diceritain Mira itu, bener?”

“Menurutmu? Kamu percaya sama cerita dia?”

“Hmm, aku nggak tau mas, tapi jujur aja, sulit buatku percaya. Tapi dia tadi ngasih bukti foto kalau dia benar-benar, hmm, hamil.”

“Okelah, aku akuin, hubunganku dengan Mira dulu emang udah sangat jauh kelewat batas. Bukan hanya dia, tapi juga mantan-mantanku yang lain. Aku udah pernah cerita itu sama kamu kan? Tapi kalau yang dia ceritain tadi, itu udah jelas bohong. Kalaupun dia hamil, itu bukan sama aku.”

“Maksud mas?”

“Gini, selisih waktu antara pertemuan terakhir kami sama yang sebelumnya itu sekitar 4 bulanan, atau malah lebih. Kalaupun dia hamil gara-gara aku, pastinya waktu pertemuan terakhir kami itu perutnya udah membesar dong? Aku nggak mungkin nggak tau soal itu. Tapi nyatanya, waktu terakhir kamu ketemuan, nggak ada yang berubah darinya. Jadi jelas, apa yang dia ceritain tadi cuma sebuah kebohongan.”

“Dan kalau dia benar-benar hamil, itu berarti terjadi dengan orang lain, karena itulah dia pergi itu aja tanpa kabar sama sekali. Mungkin dia hamil sama orang yang dia bilang sudah mapan dan mau nikahin dia itu.”

Anin terdiam memikirkan kata-kata Haris. Tapi dia membenarkan kata-kata itu. Dalam hatinya, dia lebih mempercayai Haris daripada Mira.

“Kalau gitu, buat apa dong dia nemuin aku dan repot-repot ngarang cerita seperti itu?”

“Entahlah, sepertinya dia punya tujuan tertentu, dan yang pasti itu bukan tujuan yang baik.”

“Apa dia mau mencoba merusak hubungan kita mas?”

“Mungkin itu salah satunya. Yang jelas, kamu percaya aja sama aku. Semua yang dia katakan tadi cuma kebohongan, dan nggak perlu kamu pikirin. Dan yang pasti, sampai saat ini, aku bahagia dengan kamu. Dan sampai seterusnya, kita akan bahagia dengan cara kita sendiri.”

Anin mengangguk. Dia sudah lebih tenang sekarang. Entah apapun tujuan Mira melakukan kebohongan itu, tapi untuk saat ini kata-kata dari Haris adalah yang harus dia percaya. Dia yakin akan hal itu, karena semenjak kenal sampai sekarang, Haris selalu berkata jujur kepadanya. Dia sangat terbuka, bahkan dengan masa lalunya, yang kini sudah bisa dia terima.

“Ya udah ya, kamu nggak usah pikirin itu lagi. Fokus aja sama tesis kamu, biar cepat kelar, dan kita bisa cepat-cepat nikah.”

“Iya mas.”

Anin tersenyum manis kepada Haris, sambil memeluk calon suaminya itu. Kejadian hari ini membuatnya semakin yakin dan percaya kepada Haris. Yakin kalau Haris benar-benar akan menjadi pasangan yang tepat untuknya, dan percaya kalau nantinya mereka akan bisa bahagia, dengan cara mereka sendiri.

Sementara itu, dalam hati Haris masih bertanya-tanya. Kemunculan Mira yang tiba-tiba, lalu kenekatannya untuk menemui dan memberikan cerita bohong kepada Anin hari ini, pastinya sudah direncanakan. Apalagi Mira seperti sudah tahu banyak hal tentang mereka, bahkan tentang Anin. Itu artinya, Mira sudah berada di sekitar mereka cukup lama.

Haris tahu dia harus semakin waspada saat ini. Kecurigaannya tentang adanya kemungkinan dia sedang diikuti dan diawasi oleh orang-orangnya Titus belum ada kejelasan, sekarang ditambah lagi dengan kemunculan Mira. Dia tidak terlalu cemas kalau itu hanya menyangkut dirinya, tapi yang dia khawatirkan sekarang adalah Anin. Anin yang tidak tahu apa-apa sudah mulai diusik, dan dia harus melindunginya. Sepertinya dia tidak akan bisa mengatasi ini seorang diri, tapi mau minta bantuan dia juga belum tahu minta bantuan ke siapa. Yang jelas, sampai saatnya nanti dia mendapat bantuan, dia harus berusaha sendiri, untuk melindungi dirinya, dan juga orang yang dia sayangi.

 

+++
===
+++​

Dua minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Mira, Anin sudah tidak pernah diganggu lagi oleh wanita itu. Dan hal itu tentu saja membuat Haris juga bisa tenang. Dia berpikir mungkin Mira sudah jera, atau malah sedang menyusun rencana lain lagi untuk mengganggu hubungannya dengan Anin. Tapi untuk saat ini, dia sudah berhasil meyakinkan Anin agar percaya padanya, dan meminta Anin untuk menolak jika suatu saat Mira mengajaknya bertemu lagi. Dia juga minta kepada Anin supaya langsung menghubungi dan memberi tahunya jika ada yang menganggunya lagi.

Anin sendiri sekarang sudah kembali sibuk dengan tesisnya. Dia yang sudah percaya dengan Haris tak lagi memikirkan cerita Mira tempo hari. Dia menganggap memang Mira hanya mengarang cerita saja agar pemikirannya tentang Haris berubah. Dan dia juga sudah berjanji untuk langsung menceritakan apapun kepada Haris jika Mira menghubunginya lagi.

Kedua orang tua Haris juga sudah datang dan bertemu dengan orang tua Anin. Mereka membicarakan kelanjutan hubungan Haris dan Anin. Bahkan sekarang mereka sudah memiliki tanggal untuk melaksanakan lamaran dan pernikahan anak-anaknya itu. Haris dan Anin menyambut keputusan itu dengan gembira, karena bagi mereka berdua saat ini tak ada lagi alasan untuk menunda pernikahan mereka. Mereka sudah mantap satu sama lain.

Berita ini juga sudah menyebar di kantor Haris karena pak Eko. Semua rekan Haris mendukung dan memberinya selamat, dan juga doa. Saat ini memang hanya tinggal Haris karyawan disana yang belum menikah. Haris yang tadinya belum ingin menceritakan hal ini akhirnya hanya bisa mengucapkan terima kasih, meskipun masih sedikit menyimpan kejengkelan kepada pak Eko dan Eva. Tapi itu cuma sedikit, lebih banyaknya adalah rasa terima kasih karena mereka sebagai saudara Anin juga mendukung dan merestuinya.

Sore ini, Haris sudah bersiap pulang ke rumah. Pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak dan sudah selesai dari tadi. Tidak ada agenda lain juga hari ini, karena itulah dia memutuskan untuk langsung pulang saja. Tidak juga hari ini akan bertemu dengan Anin, karena tadi Anin sudah mengabari kalau hari ini dia mau fokus dengan tesisnya, yang sudah memasuki tahap akhir. Haris memberi kesempatan kepada Anin, dia tak ingin mengganggunya. Sebenarnya dia ingin membantu Anin, tapi karena disiplin ilmu yang berbeda makanya Haris hanya bisa memberi dorongan semangat dan doa saja.

Sampai di rumahnya Haris hanya sendiri, Rani tidak ada, entah belum pulang atau keluar lagi Haris tidak tahu. Tapi dia mengira kalau Rani sedang bersama dengan pacarnya. Merasa tubuhya penat, Harispun bergegas mandi membersihkan dirinya. Setelah kembali ke kamar mandi dan berpakaian, handphonenya berdering. Lidya menelponnya.

“Hallo Lid.”

“Iya hallo Ris. Kamu udah pulang kerja?”

“Udah kok, baru beres mandi ini. Ada apa?”

“Kamu sibuk nggak malem ini?”

“Nggak kok, kenapa emang?”

“Ada yang pengen aku omongin, penting.”

“Oh, soal apa Lid? Ngomong aja.”

“Nggak lewat telpon tapi Ris.”

“Lha terus?”

“Sekarang kamu ke hotel oregon ya, aku tunggu.”

“Hotel oregon mana?”

“Jalan mangkubumi, tau kan?”

“Oh oregon mangkubumi, iya tau. Eh, loh, kamu di Jogja? Ada acara apaan? Kok nggak ngabarin dulu?”

“Udah nanti aja. Yang penting kamu kesini dulu.”

“Oh ya udah kalau gitu. Tunggu ya.”

Haris menutup telponnya. ‘Lidya ada disini? Tapi kenapa nggak ngabarin? Dan hal penting apa yang mau dia bicarakan?’ Dalam benaknya Haris terus bertanya-tanya. Tapi dia memutuskan untuk segera pergi ke tempat Lidya berada sekarang, supaya bisa cepat mendapat jawaban. Tiba-tiba saja perasaan Haris menjadi tak enak. Dia merasa sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Lidya itu bukan sebuah kabar baik. Tapi apapun itu, dia harus cepat berangkat, dan berharap apa yang ingin disampaikan Lidya tidaklah seburuk perkiraannya.

 

+++
===
+++​

Di lain tempat, tepatnya di rumah Gavin, terlihat Rani dan Gavin sedang berduaan di ruang tengah rumah itu. Mereka tampak asyik bersenda gurau. Mereka hanya berdua, ditemani TV yang entah sedang memutar acara apa, yang sama sekali tak dipedulikan oleh Rani dan Gavin.

“Eh yank, rumah kamu sebesar ini, kok nggak ada pembantu sih?” tanya Rani, yang sudah mulai memanggil Gavin dengan panggilan sayang.

“Loh siapa bilang yank? Aku ada pembantu kok, tapi emang cuma pagi sampai siang doang, cuma buat bersih-bersih rumah aja. Itupun juga nggak setiap hari sih.”

“Oh gitu. Kok cuma bersih-bersih? Nggak sekalian masakin gitu?”

“Nggak. Aku kan lebih sering makan di luar. Kalaupun mau makan di rumah, paling ya masak sendiri, atau pesen online aja.”

“Emang kamu bisa masak yank?”

“Bisa laah, tapi ya yang gampang-gampang aja.”

“Yang gampang itu apa coba?”

“Yaa masak telor, sama bikin mie instant, haha.”

“Haha, kirain apaan. Tapi jangan kebanyakan makan mie instant lah yang, nggak sehat.”

“Iya sayang. Jarang-jarang kok. Kan sekarang seringnya makan sama kamu, hehe. Oh iya, kuliah kamu gimana yank?”

“Lancar-lancar aja sih, nggak ada masalah. Cuma ya itu, aku udah mulai bikin penelitian buat skripsi, padahal kan sebenarnya masih lama.”

“Ya nggak papalah, kan malah enak nantinya. Disaat temen-temen kamu bingung mau ambil skripsi apa, kamu malah udah jadi. Kalau gitu kan bisa lulus lebih cepet yank.”

“Iya juga sih. Tapi kadang aku juga pengen seperti temen-temenku yank, menikmati waktu mereka.”

“Nanti kamu juga bakal menikmati waktu kamu kok. Mereka sekarang santai, tapi entar malah ribet. Kalau kamu sekarang ribet, justru nantinya malah bisa santai yank. Jangan kayak aku dulu, kebanyakan main di awal, pas akhir-akhir malah ribet sendiri.”

“Halah, katanya kamu dulu dibantuin sama banyak orang yank?”

“Yaa itu ribetnya. Emang minta bantuan gampang? Udah susah bujuknya, pake minta dibayar lagi, haha.”

“Haha, kamu tuh lho yank, apa-apa kok pake uang sih? Jangan dibiasain gitu lah.”

“Hehe ya bukannya gitu yank. Tapi coba liat deh jaman sekarang, orang mau ngelakuin apapun biar dapet duit. Aku kan cuma bantuin mereka aja. Lagian kan aku nggak manfaatin mereka buat melakukan tindakan kriminal. Jadi menurutku masih wajar aja sih. Aku butuh bantuan, mereka butuh uang, saling melengkapi kan?”

“Yaa iya sih. Tapi kan ada hal-hal yang sebaiknya kita kerjakan sendiri yank.”

“Iya kamu bener, dan aku setuju. Tapi ya balik ke yang tadi. Kalau ada orang butuh uang, aku lebih milih membayar mereka untuk melakukan sesuatu, daripada ngasih utang ke mereka. Kalau utang itu, nagihnya susah yank.”

“Bener juga sih ya. Tapi bener kan, kamu nggak pernah minta orang yang kamu bantu itu untuk melakukan hal yang aneh-aneh?”

“Hal yang aneh-aneh itu yang kayak gimana?”

“Hmm, yaa yang aneh-aneh lah pokoknya, yang melanggar hukum gitu, atau yang nggak sesuai norma.”

“Haha, sekarang kamu liat aku deh yank, emang aku ada tampang-tampang kriminal gitu?”

“Haha yaa enggak sih yank. Ya syukur deh kalau emang nggak pernah, hehe.”

Gavin tersenyum lebar. ‘Emang aku bilang nggak pernah Ran? Yang ada juga, aku sering ngeluarin duit buat bisa nikmatin tubuh cewek-cewek yang aku mau, haha,’ batin Gavin.

Saat sedang ngobrol itu, tiba-tiba handphone Rani bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk nampak di layar. Rani mengambilnya, dan terlihat membalas pesan itu, lalu tak lama kemudian meletakkan lagi handphonenya.

“Siapa yank?”

“Oh ini, mas Haris.”

“Nyariin kamu ya? Kamu tadi udah ijin belum sama dia?”

“Belum sih, hehe. Iya dia nanyain aku dimana, sekalian bilang mau keluar sebentar.”

“Ooh mau kemana emangnya?”

“Nggak tau, dia nggak bilang. Aku juga nggak nanya sih. Paling kalau nggak ketemu sama mbak Anin ya main sama temennya.”

“Ooh gitu.”

Gavin hanya mengangguk-ngangguk saja. Sebelumnya dia memang ditugasi oleh Titus untuk mengawasi Haris. Tapi sejak dekat dan berpacaran dengan Rani, dia melepaskan pengawasannya pada Haris. Karena daripada susah-susah mengikutinya, kini dia bisa bertanya apapun tentang Haris kepada Rani. Tentunya dia membuat seolah-olah ingin mengenal Haris lebih jauh lagi. Ranipun tak menaruh kecurigaan sama sekali, dan menjawab begitu saja apapun pertanyaan dari Gavin. Dia malah merasa senang, karena pacarnya mau mengenal lebih banyak tentang kakaknya itu.

“Eh yank, ke kamar yuk?” ajak Gavin.

“Heh? Mau ngapain? Enggak ah, entar kebablasan lagi kayak kemarin.”

“Haha, yang kemarin kan belum kebablasan yank. Segel kamu juga masih utuh kan? Haha.”

“Ish ngomongnya, dasar mesum. Tapi yang kemarin itu udah kelewat jauh buatku yank. Aku belum pernah lho kayak gitu sebelumnya.”

“Iya aku tau. Tapi kan kamu juga tau kalau aku sayang sama kamu. Aku kan udah janji sama kamu yank, buat yang satu itu bakal kita lakuin kalau kita udah sah.”

“Yaa tapi kan yank…”

“Kenapa? Bukannya kemarin kamu juga seneng digituin?”

“Ih siapa yang bilang?” Rani mencoba mengelak, tapi wajahnya merona.

“Haha, tuh wajahnya jadi merah gitu. Jadi bener kan?”

Rani tak menjawabnya, hanya tersenyum saja. 2 hari yang lalu, Rani baru saja mengijinkan Gavin untuk melihat tubuh bagian atasnya yang selama ini belum pernah dilihat oleh siapapun. Bahkan bukan hanya melihatnya, Gavin juga telah menyentuhnya, meremasnya, mencium dan bahkan sampai menghisapnya.

Rani tak memungkiri, meskipun dia merasa sangat malu karena untuk pertama kalinya bertelanjang dada di hadapan seorang pria, dia juga ikut menikmati apa yang dilakukan oleh Gavin kepadanya. Dia bahkan merasa daerah kewanitaannya begitu gatal, dan celana dalamnya juga sampai basah.

“Yank, ayo dong, pengen nih.”

“Ih, pengen apaan sih yank?”

“Kayak yang kemarin. Emang kamu nggak pengen lagi apa?”

“Enggak kok.”

“Yang bener?”

“Iya.”

“Tapi kemarin sampai keenakan gitu? Kamu juga bilang kalau rasanya nikmat?”

“Iiih ayaank, jangan bahas-bahas kayak gitu dong, malu tau.”

“Lah malu sama siapa? Kan cuma kita berdua yang tau.”

“Yaa tapi kan…”

“Udah deh yank, yuk kita ke kamar.”

Tanpa menunggu jawaban dari Rani, Gavin menarik tangannya menuju kamar. Rani sebenarnya masih bimbang, dia masih takut kalau nanti apa yang mereka lakukan akan melebihi dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Kemarin, dia masih bisa menahan diri meskipun Gavin membuatnya merasakan sesuatu yang begitu nikmat, yang membuatnya hampir lupa diri. Kalau sekarang dilakukan lagi, dia takut tak bisa menahan dirinya.

Tapi sudah terlambat, mereka sekarang sudah berada di kamar Gavin. Untuk kedua kalinya Rani masuk ke kamar itu. Dan entah kenapa berada di kamar ini membuat bulu kuduk Rani berdiri. Bukan karena ketakutan, tapi lebih ke rasa khawatir, dan satu lagi entah apa itu Rani juga tidak tahu. Rani berpikir mungkin ini adalah efek wewangian dari pengharum ruangan yang ada di kamar Gavin.

Sekarang mereka sudah berada di tempat tidur Gavin. Mereka duduk di pinggiran ranjang berdampingan. Rani masih terdiam. Dadanya berdegup kencang, menunggu apa yang akan dilakukan pacarnya itu. Sebenarnya Rani bisa saja menolak dan pergi dari kamar ini, tapi entah mengapa dia tidak melakukannya. Rani hanya diam, dan menunggu.

 

+++
===
+++​

Haris sudah berada di sebuah lift di hotel ini. Tadi Lidya sudah memberi tahu nomer kamarnya dan meminta Haris agar langsung naik saja kesana. Keluar dari lift, Haris mencari kamar yang dimaksud. Setelah berdiri di depan pintu bernomor 911 itu Haris memencet bel. Tak lama kemudian pintu itupun terbuka, dan terlihat Lidya di dalamnya.

“Masuk Ris.”

“Iya makasih.”

Begitu masuk, Haris memperhatikan seisi kamar. Dan dia baru tahu kalau ternyata Lidya hanya sendiri di kamar ini.

“Kamu sendiri aja Lid?”

“Iya. Mau minum apa? Atau mau makan?”

“Nggak usah, entar aja, belum laper.”

“Ya udah kalau gitu.”

Lidya yang hari ini berpenampilan cukup santai dengan sebuah tanktop dan celana pendek ketat kembali menuju ranjang, duduk dan merebahkan punggungnya di sandaran ranjang. Haris menghampirinya, dan duduk di dekatnya.

Haris terdiam sejenak, sebuah pemandangan indah yang sudah cukup lama tidak dia lihat. Bukan hanya dilihat, tapi pernah dia nikmati juga. Terlintas kembali ingatan saat dia menghabiskan waktu yang penuh dengan gelora bersama pemilik tubuh itu. Tapi tiba-tiba saja dia teringat Anin, dan langsung membuang jauh-jauh pikirannya itu.

“Kamu ada keperluan apa Lid ke Jogja? Mau liburan, atau ada urusan kerjaan?”

“Nggak ada kok, cuma mau ketemu kamu aja.”

“Hah? Mau ketemu aku? Kok nggak ngabarin dulu?”

“Karena ini memang mendadak Ris. Aku nyari tiket pesawat sama pesen kamar hotel ini aja baru tadi siang, untung dapet. Ini tadi waktu nelpon kamu aku juga baru nyampe sini.”

“Hmm yaudah, aku udah disini. Dan kamu tadi bilang ada sesuatu yang penting yang pengen kamu bicarain sama aku, sesuatu apa itu?”

“Soal mbak Viona.”

“Mbak Viona? Ada apa dengan mbak Viona?”

“Kamu kapan terakhir kali komunikasi sama dia?”

Sebelum menjawab, Haris nampak berpikir, mengingat-ingat.

“Waduh, kapan yaa, udah lama sih kayaknya, ada sekitar 2 mingguan deh kalau nggak salah. Emang ada apa sih sama mbak Viona?”

“Mbak Viona hilang Ris.”

“Hah, hilang gimana?”

“Ini SMSnya 2 minggu yang lalu, coba kamu baca.”

Lidya kemudian memberikan handphonenya kepada Haris. Diapun mengambil handphone itu dan melihat sudah terbuka pesan SMS antara Viona dengan Lidya.

from : Viona Margaretha said:

Lid, tolong uruskan cutiku mulai hari ini ya.

to : Viona Margaretha said:

Loh, mbak Viona mau kemana?

from : Viona Margaretha said:

Aku mau keluar kota, ada urusan keluarga, mendadak.

to : Viona Margaretha said:

Oh ya udah, mau berapa hari mbak?

Tidak ada lagi balasan dari Viona setelah itu.

“Ini doang Lid? Nggak ada balasan lagi?”

“Iya, cuma itu doang. Setelah nggak dibales itu, aku coba telpon, tapi nggak diangkat juga. Aku pikir sih waktu itu masih nyetir atau gimana. Terus abis itu beberapa kali aku coba telpon lagi, tetep nggak diangkat. Malah malemnya, udah nggak bisa dihubungi lagi.”

Haris jadi penasaran, diapun mengambil handphonenya dan mencoba untuk menghubungi Viona, dan memang tidak aktif.

“Iya, nggak aktif nomernya. Terus, sampai sekarang nggak ada kabarnya Lid?”

“Nggak ada Ris. Awalnya waktu itu aku masih mikir positif aja. Aku bilang sama papa, papa juga nggak ada curiga apa-apa. Kami kira waktu itu memang sedang ada urusan keluarga, atau mungkin ada urusannya sama mas Aldo, karena itulah papa ngasih ijin tanpa dipotong cuti.”

“Terus?”

“Kami baru ngerasain ada hal yang aneh itu seminggu kemudian. Lama-lama kan kami curiga karena mbak Viona sama sekali nggak bisa dihubungi. Apalagi waktu itu aku udah mau presentasi akhir training, dia sebagai mentor kan harus hadir. Nah karena itulah aku coba buat datengin ke rumahnya, tapi sepi, pintunya kekunci semua.”

“Kebetulan waktu itu ada satpam komplek lagi keliling, pas aku tanya, satpam itu bilang Viona emang udah seminggu lamanya pergi, dan belum balik lagi. Waktu aku nanya, apa mbak Viona ada bilang sesuatu gitu, satpam itu bilang kalau mbak Viona cuma bilang kalau mau ke rumah orang tuanya.”

“Terus, udah nyari ke rumah orang tuanya?”

“Udah, aku udah kesana. Mereka malah nggak tau. Udah coba dihubungin juga nggak bisa. Dari situ akhirnya kami lapor polisi. Termasuk juga aku ngomong sama kakakku. Tapi besoknya aku malah dapat kabar yang nggak kalah mengejutkan.”

“Kabar apa lagi?”

“Mas Andi.”

“Mas Andi? Mas Andi kenapa?”

“Mas Andi udah meninggal Ris.”

“Hah? Apa? Mas Andi meninggal? Gimana ceritanya?”

“Jadi setelah aku bilang soal mbak Viona, kakakku coba hubungi mas Andi, tapi nggak bisa. Pas coba dihubungi di kantornya, mereka bilang kalau mas Andi lagi dibebas tugaskan, jadi udah beberapa minggu nggak ada ke kantor. Nah pas dicari ke kontrakannya, dia ternyata udah meninggal, dan jasadnya, sangat mengenaskan.”

“Mengenaskan?”

“Iya. Emang kamu nggak nonton berita?”

“Hah? Berita? Aku jarang nonton TV sih. Emang gimana?”

“Mas Andi, dimutilasi. Potongan tubuhnya dimasukin ke plastik-plastik gitu, terus dimasukin ke kulkas,” jawab Lidya dengan ekspresi ngeri membayangkan apa yang dia katakan barusan.

“Astaga.”

Betapa terkejutnya Haris mendengar itu semua. Memang dia sudah cukup lama tidak berkomunikasi baik dengan Viona ataupun Andi. Karena terakhir kali berkomunikasi, mereka bilang semua baik-baik saja. Dia tak menyangka kalau ternyata setelah itu, Viona menghilang, dan Andi bahkan tewas dengan sangat mengenaskan seperti itu.

“Terus, pelakunya udah ketauan Lid?”

“Belum Ris. Kasusnya mas Andi udah diselidiki, tapi kata kakakku nggak ada petunjuk apapun. Ditanya ke tetangganya, mereka juga nggak tau apa-apa. Terakhir mereka liat mas Andi tuh malem hari, sehari sebelum mbak Viona bilang mau cuti itu. Setelah itu mereka nggak liat mas Andi lagi. Rumah mas Andi sejak hari itu juga tutupan terus.”

“Lha emang mereka nggak curiga Lid?”

“Enggak, soalnya mas Andi memang cuma hidup sendiri disitu, jadi udah biasa rumah itu sepi. Sebelumnyapun mereka juga jarang ketemu sama mas Andi soalnya.”

Haris terdiam, memikirkan, mengira-ngira apa yang terjadi. Kemanakah perginya Viona, dan siapa yang sudah membunuh Andi.

“Apa mungkin, ini ada hubungannya sama Titus?”

“Nggak tau juga Ris. Aku udah bilang gitu juga sama kakakku, dan kakakku udah coba nyari kemungkinan itu. Tapi, ya tetep nggak ada petunjuk, karena seperti yang kamu tau, Titus kan ada di kota ini. Sedangkan anak buahnya yang disana siapa aja juga nggak ada yang tau. Tapi memang kepolisian curiganya ke dia sih. Soalnya, setelah mas Andi ditemukan meninggal itu, baru semua pada tau kalau ternyata mas Andi ini secara khusus ditugasi untuk menyelidiki Titus dan komplotannya.”

“Apa nggak coba diperiksa gitu si Titusnya?”

“Atas dasar apa? Kecurigaan doang? Tapi kan nggak ada bukti Ris, jadi ya susah.”

Haris kembali terdiam. Memang sulit untuk menetapkan seseorang bersalah tanpa adanya bukti yang jelas. Bisa-bisa malah polisi dianggap asal tuduh. Apalagi orang seperti Titus, yang jelas-jelas punya backingan orang kuat di belakangnya.

“Tapi aku yakin, ini semua pasti kerjaan si Titus itu. Mas Andi dulu pernah ngasih peringatan ke aku agar lebih hati-hati, karena aku udah pernah ketemu sama dia waktu sama mbak Viona, kemungkinan ada yang ngawasi aku, dan itu adalah anak buah Titus.”

Lidya masih terdiam. Dia juga sepertinya terlihat bingung.

“Terus Lid, kenapa kamu sampai harus repot-repot kesini buat ngabarin? Kan bisa lewat telpon aja?”

“Nggak tau Ris, aku cuma ngerasa pengen aja ngomongin ini langsung sama kamu, nggak lewat telpon. Aku butuh teman cerita, teman berbagi, dan cuma kamu satu-satunya orang yang pengen aku ajak cerita ini. Lagian, kamu juga udah tau soal mbak Viona dan mas Andi. Nggak mungkin kan aku cerita kayak gini sama orang lain.”

Haris bisa memahami alasan Lidya. Dan memang benar, rasanya selain keluarga Lidya sendiri, hanya dia yang paling bisa untuk diajak cerita Lidya tentang hal ini, karena hanya dia yang tahu lebih tentang masalah ini.

“Ris, aku jadi takut.”

“Takut kenapa?”

“Kan kamu bilang, kalau mas Andi pernah nyuruh kamu hati-hati, karena kemungkinan kamu juga diawasin. Aku takut kamu kenapa-napa.”

“Aku… Duh, aku sebenernya juga udah sempat ngerasa takut dulu. Meskipun aku nggak ada urusannya sama masalah itu, tapi karena aku ada hubungan saudara sama mas Aldo dan mbak Viona, kemungkinan aku juga bisa terseret dalam masalah ini. Aku sendiri pernah ngerasa, ada yang ngawasin aku.”

“Tapi nggak pernah ada yang macem-macem kan Ris?”

“Nggak ada Lid, dan semoga seterusnya juga nggak bakalan ada. Oh iya, apa mungkin, mas Aldo juga terlibat dengan hal ini ya?”

“Maksudmu?”

“Gini, kayaknya kan mas Aldo emang bener-bener ada hubungan sama Titus. Bisa jadi hilangnya mbak Viona, itu gara-gara mas Aldo. Siapa tau kan, yang bawa pergi mbak Viona itu mas Aldo?”

“Bisa jadi, bahkan kemungkinan besar mas Aldo juga terlibat dengan pembunuhan mas Andi.”

“Kok gitu?”

“Iya. Mbak Viona pernah cerita, setelah mas Aldo kabur dari panti rehab, dia terus dijaga sama mas Andi. Aku nggak tau pasti, dijaga itu maksudnya seperti apa, tapi aku pernah ngelihat mbak Viona pulang kantor bareng mas Andi. Mungkin aja mas Aldo tau itu, terus dendam sama mas Andi.”

“Lho katanya mas Andi lagi bebas tugas buat nyelidikin Titus? Kok jadi jagain mbak Viona?”

“Iya, dia emang lagi bebas tugas. Tapi maksudnya bebas tugas dari kedinasannya, karena itu tadi, dia diperintah buat nyelidikin Titus, dan salah satunya adalah dengan menjaga mbak Viona itu. Katanya, ada kemungkinan mbak Viona diawasi sama anak buah Titus, makanya dengan ngejaga mbak Viona, siapa tau bisa sekalian nemuin anak buahnya Titus, gitu.”

“Hmm, kayaknya makin jelas deh Lid, antara Titus atau mas Aldo, tinggal gimana ngebuktiinnya aja.”

“Ya itu yang susah Ris. Pembunuhan mas Andi sama sekali nggak ada petunjuk. Sedangkan mas Aldo sendiri sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.”

Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia benar-benar bingung memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini. Dia juga kembali merasa khawatir dengan dirinya sendiri. Setelah sebelumnya sudah merasa aman dan tidak ada lagi yang mengawasinya, tapi dengan kejadian hilangnya Viona dan kematian Andi ini membuatnya kembali was-was. Apakah orang-orang yang ada di balik ini semua juga mengincarnya?

Selain itu, Haris juga bingung memikirkan Aldo. Kakak sepupunya itu benar-benar misterius. Haris benar-benar tak menyangka kalau ternyata Aldo yang dia kenal sebagai orang yang baik dan lurus-lurus saja itu, bisa terlibat hal-hal seperti itu. Tapi kalau benar Aldo terlibat, Haris masih bisa sedikit lebih tenang, sedikit.

“Lid, kalau memang mas Aldo terlibat dengan ini semua, menurutku, mbak Viona akan baik-baik saja. Akupun juga mungkin akan baik-baik saja, nggak akan bernasib seperti mas Andi.”

“Iya Ris, semoga aja. Mungkin udah terjadi sesuatu antara mbak Viona dan mas Andi yang bikin mas Aldo jadi dendam, sampai-sampai harus dibunuh dengan cara sadis seperti itu.”

DEG!!!

Tiba-tiba Haris teringat, dengan apa yang pernah dia lakukan dengan Viona.

Apa mungkin bener apa yang dibilang Lidya? Apa mungkin bener-bener terjadi sesuatu antara mbak Viona dengan mas Andi sampai mas Andi harus dibunuh? Kalau begitu, apa yang bakal dilakuin mas Aldo kalau dia tau apa yang udah kuperbuat dengan mbak Viona?

“Ris, kamu kenapa? Kok tiba-tiba pucet gitu?”

“Eh, oh nggak, nggak papa kok Lid?”

“Kamu kok jadi panik? Bentar bentar…” Lidya menatap Haris penuh selidik.

“Apaan sih Lid?”

“Jangan bilang kalau kamu, udah macem-macem sama mbak Viona?”

“Ii,, itu…”

Bersambung

anak sma perawan
Memperkosa anak sma cantik yang masih perawan
Dosen Baru Yang Cantik
pembantu semok
Pembantu semok yang bikin goyah kesetiaan pada istri
tante hot
Ngentot Tante Ku Sendiri Yang Sedang Asyik Masak Di Dapur
cewek cantik gak pake bh
Nikmatya Memperkosa Anak Kost Yang Cantik
Nikmatnya Bercinta Dengan Tanteku
Foto memek tembem mahasiswi cantik suka selfie bugil
smp bispak
Menikmati pepek endar cewek cantik teman sekelas
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
gadis mandi
Hubungan Tabu Dengan Pacar Saudara Ku Sendiri
bercinta dengan ttm
Sabrina, TTM Ku Tersayang
tante setengah baya
Pertemuanku Dengan Wanita Setengah Baya Di Toko Buku
Cerita Dewasa Menginap Di Rumah Tante Lia
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
kakak sexy
Paling Nafsu Kalo Liat Kakak Ku Pakai Baju Yang Ketat-ketat