Part #15 : Welcome Back

Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Yogyakarta. Kami persilahkan anda untuk tetap berada di tempat duduk sampai pesawat benar-benar berhenti dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Sebelum meninggalkan pesawat, kami ingatkan kembali untuk memeriksa kembali barang bawaan anda agar tidak tertukar atau tertinggal. Atas nama Haneda Air, Kapten Raka Sanjaya dan seluruh awak kabin yang bertugas mengucapkan terima kasih telah terbang bersama kami, dan sampai jumpa di penerbangan Haneda Air selanjutnya.’

Pengumuman dari awak kabin pesawat sudah terdengar. Pesawat yang ditumpangi Haris telah mendarat di kota tujuannya. Para penumpang sudah mulai mengambil barang mereka dan bersiap untuk turun. Sebuah senyum tampak tersimpul di bibir Haris yang sedang melihat ke arah luar jendela. Akhirnya dia kembali ke kota ini, dan mungkin akan tinggal disini untuk waktu yang sangat lama.

Begitu pintu pesawat terbuka para penumpang turun dengan tertib. Haris segera menuju ke arah pintu keluar karena dia tidak perlu menunggu bagasi. Barang yang dia bawa hanyalah sebuah koper dan tas ransel. Begitu keluar dia sudah langsung disambut oleh para supir taksi yang menawarkan jasanya, tapi semua ditolak oleh Haris dengan sopan. Dia langsung menghampiri seseorang yang sudah dari tadi menunggunya. Orang itu tak lain adalah sahabatnya, Bagas.

“Welcome back bro…”

“Makasih Gas udah mau jemput…”

Mereka berdua berpelukan sebentar dan langsung berjalan menuju parkiran. Mereka berjalan melalui lorong bawah tanah, dimana bagian atas dari lorong ini terbentang 2 jalur rel kereta api, karena memang disitu sekaligus ada stasiunnya. Begitu mereka di parkiran Bagas langsung menuju ke sebuah mobil, diikuti oleh Haris.

“Wedyan, pake mobil sekarang Gas?”

“Haha bukan Ris, ini mobilnya cewekku, aku pinjem buat jemput kamu.”

“Oalah, udah punya cewek ya sekarang? Kok nggak diajak sekalian?”

“Haha iya lah, emang kamu. Dia udah aku ajak tadi, tapi lagi ada acara, aku disuruh bawa mobilnya aja. Yowes, sana masukin koper sama tasmu itu.”

“Oke.”

Setelah memasukkan barang bawaannya Haris langsung masuk ke mobil mengikuti Bagas. Keduanya langsung meninggalkan area parkir bandara.

“Mau langsung ke kost atau makan dulu Ris?”

“Makan dulu aja Gas, laper banget ini aku. Udah kangen juga sama makanan sini.”

“Halah, ngomongmu kangen sama makanan sini, paling mau ngajak ke warung padang langganan kita, iya kan?”

“Haha tau aja Gas. Yuk kesana.”

“Oke boss.”

Bagas melajukan mobilnya menuju ke tempat yang dimaksud Haris. Sebuah warung makan yang berada tak jauh dari kampus mereka dulu. Suasana kota ini memang tak terlalu berubah karena Haris hanya meninggalkan kota ini kurang dari 4 bulan. Sejak lulus kuliah dulu dia memang tak langsung pulang ke Solo, tapi masih menetap di Jogja karena selain sekalian mencari pekerjaan, kebetulan juga saat itu Bagas masih belum lulus, selisih 1 semester dengannya.

Acara makan siang itu berlangsung biasa-biasa saja. Sambil makan siang mereka banyak bercerita tentang apa yang mereka jalani selama 3 bulan ini. Bagas menceritakan tak lama setelah Haris berangkat ke Jakarta, dia diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota ini. Dia juga sudah mendapatkan pacar setelah sebulan bekerja, pacarnya adalah orang asli sini juga. Sedangkan Haris juga bercerita bagaimana masa training yang dia jalani, termasuk dekat dengan seseorang yaitu Lidya.

“Lha jadi kamu disana udah pacaran Ris?”

“Yaa enggak, cuma deket aja. Lagian kan kami udah tau kalau aku harus pindah ke Jogja, nggak mau lah kami menjalani LDR. Apalagi aku, udah trauma sama yang dulu, hehe.”

“Haha iya juga ya. Terus gimana? Disana kamu ketemu sama Mira nggak?”

“Nggak Gas. Aku juga nggak nyari lagi sih soalnya.”

“Jadi, udah move on ini ceritanya?”

“Yaa gitu deh. Entarlah aku ceritain soal itu.”

“Oke.”

Mira, nama yang disebut oleh Bagas tadi, adalah gadis yang dulu telah membuat Haris dilanda galau sepanjang tahun. Gadis yang dipacarinya selama 3 tahun, dan tiba-tiba hilang begitu saja. Gadis yang terus memenuhi benak Haris meskipun dia sudah menghilang. Tapi sekarang Haris tak lagi memikirkan tentang Mira sedikitpun, setelah curhatnya dulu dengan Lidya dan Viona di kantor.

Setelah makan siang, mereka menuju ke kostan Haris. Kostan itu berada agak jauh dari kantor Haris, yang akan menjadi tempat kerja barunya mulai besok senin. Kostan ini bisa dibilang kost eksklusif. Kebanyakan penghuninya juga para pekerja seperti Haris, hanya beberapa saja yang berstatus mahasiswa. Ada yang masih melajang, tapi ada juga yang sudah suami istri.

Setelah melapor ke penjaga kost, dan dicatat identitas Haris, dia dan Bagas menuju ke kamarnya. Kamar yang nyaman, berukuran 3 x 4 meter dengan kamar mandi dalam. Di dalam kamar itu sudah lengkap isinya, sebuah ranjang berukuran besar, meja dan kursi, lemari, LCD TV yang terpasang di dinding, AC dan sebuah kulkas kecil. Kamar mandinya juga dilengkapi closet duduk dan shower air panas dan dingin. Benar-benar seperti apa yang diinginkan oleh Haris.

“Oh iya Ris, terus untuk kendaraan kamu entar gimana?” tanya Bagas.

“Pake motorku yang dulu itu Gas. Kemarin udah diantar bapakku kesini, ditaruh di kostan Rani. Nanti atau besok mungkin Rani kesini.”

“Rani sendiri yang mau bawa kesini? Emang dia bisa bawa motor laki gitu?”

“Nggak tau, sama temennya mungkin.”

“Lha apa kita ambil aja Ris? Aku anter kamu kesana. Kasian kan kalau Rani harus kesini? Kostannya bukannya di daerah ring road?”

“Iya juga sih. Ya udah bentar aku hubungin dia dulu.”

Haris kemudian mengambil handphonenya menghubungi Rani. Rani adalah adik kandung Haris yang sekarang sedang kuliah di salah satu kampus negeri di kota ini. Saat ini Rani baru semester 4. Bagas juga sudah cukup mengenal Rani karena dulu semasa dia dan Haris masih kuliah, Rani sering main ke kota ini.

“Gimana Ris?”

“Kalau ngambilnya entar agak sore atau malem gimana? Rani lagi keluar soalnya sama temen-temennya ke parang tritis.”

“Oh ya nggak masalah. Kalau gitu aku balik aja dulu, entar kalau mau ke tempat Rani kamu kabarin aku aja ya? Soalnya aku juga harus balikin mobil cewekku dulu.”

“Oke deh entar aku kabarin. Makasih lho Gas udah mau tak repotin.”

“Sekali lagi ngomong gitu tak hajar kamu. Sama sahabat sendiri kok masih bahas repot-repotan.”

“Haha iya iya. Pokoke makasih wes.”

“Iyo. Ya udah aku balik dulu.”

“Oke.”

Setelah Bagas pergi, Haris merebahkan dirinya di ranjang. Dia kembali mengambil handphonenya untuk mengabari beberapa orang kalau dia sudah sampai di kostannya. Orang tuanya, Viona, dan tentu saja Lidya tak lupa dia kabari. Hanya Lidya saja yang pesannya tidak terkirim, mungkin memang benar Lidya sedang bersama pacarnya, karena biasanya saat sedang bersama pacarnya, dia susah sekali untuk dihubungi, bahkan oleh orang tuanya sekalipun.

 

+++
===
+++​

“Aaaaaa mas Hariiiiis…”

“Weh weh weh santai aja kali nduk..”

“Hahahaha..”

Haris yang baru saja sampai di kostan adiknya langsung dipeluk erat oleh Rani. Melihat hal itu membuat Bagas langsung tertawa. Haris dan Rani memang cukup dekat, sehingga hal seperti itu bukan hal yang aneh lagi buat keduanya. Yang ditertawakan Bagas hanyalah tingkah manja Rani kepada kakaknya, yang memang sudah 3 bulan ini tidak bertemu.

“Mana oleh-olehnya mas?”

“Ya ampun Ran, aku baru datang udah ditagih oleh-oleh. Tanya kabar kek, apa kek.”

“Lha ngapain ditanya, orang mas Haris sehat gini kok.”

“Haha. Kamu sendiri gimana kabarnya? Sehat tho?”

“Yaa seperti yang mas liat, sehat kan?”

“Iya lah pastinya. Lagian selama ini dijagain sama mas Bagas kan?”

“Apaan? Mas Bagas aja mana pernah nemuin aku? Orangnya sibuk pacaran gitu kok, iya kan mas? Hayoo ngaku..”

“Haha bukan gitu Ran, aku lagi sibuk lho banyak kerjaan. Yang penting kan kamunya baik-baik aja kan?” Bagas mengelak. Memang sebelum pergi Haris pernah berpesan pada Bagas untuk menjaga adiknya itu. Tapi memang akhir-akhir ini Bagas disibukkan dengan kerjaannya sehingga semakin jarang menemui Rani. Padahal sebelumnya Rani cukup sering diajak keluar oleh Bagas, sekedar untuk makan atau jalan-jalan, tentunya dengan pacar Bagas juga.

“Yo wes lah. Oh iya, kunci motor sama STNK mana Ran?”

“Lho emang mas Haris lagi buru-buru tho?”

“Nggak sih.”

“Hmm, kalau gitu kita jalan-jalan dulu yuk mas?”

“Mau kemana emang?”

“Kemana kek, nongkrong gitu. Ke angkringan tugu aja yuk?”

“Ooh, ya udah ayo kalau gitu. Kamu ikut kan Gas?” tanya Haris pada Bagas.

“Waduh sorry Ris, aku nggak bisa ikut. Aku juga ada janji sama yayang, hehe.”

“Tuh kan, yayang-yayangan mulu kan. Pantes nggak pernah nemuin aku sekarang,” sahut Rani, merajuk.

“Yaa makanya kamu sana cari pacar Ran, biar nggak bengong mulu di kostan, haha.”

“Mau sih, tapi nggak boleh sama mas Haris,” jawab Rani sambil melirik Haris. Haris hanya tertawa saja.

“Bukan nggak boleh, tapi entar aja. Beresin dulu kuliah kamu. Ya udah kalau Bagas nggak ikut, yuk kita jalan sekarang, keburu rame entar disana.”

“Ayo mas.”

Bagaspun berpamitan terlebih dahulu karena ada janji malam mingguan dengan pacarnya. Sementara Rani masuk lagi ke kostnya untuk bersiap-siap. Tak lama kemudian Rani sudah kembali sekalian memberikan kunci dan surat-surat motor kepada Haris. Mereka langsung pergi menuju ke tempat yang ingin mereka tuju.

Karena malam ini adalah malam minggu jadi jalanan cukup ramai. Haris sudah lama tidak merasakan suasana ini. Berbeda dengan yang dia rasakan selama 3 bulan ini saat masih di Jakarta. Dia sudah terlalu lama disini, jadi dia lebih merasa nyaman dengan suasana kota ini, apapun kondisinya. Sekitar setengah jam kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Setelah memarkirkan motor, mereka menuju ke salah satu angkringan untuk mengambil makanan dan minuman, lalu menuju ke seberang jalan dimana disana disediakan tikar-tikar untuk lesehan.

Rani terlihat senang sekali malam itu. Banyak hal yang dia ceritakan kepada Haris. Kalau selama ini hanya lewat WA, kali ini dia bisa cerita langsung. Harispun antusias mendengarkan cerita dari adiknya itu. Yang diceritakan tak jauh-jauh dari kegiatan sehari-hari Rani, mulai dari perkuliahannya, lingkungannya juga teman-temannya.

Sejak dulu Rani sebenarnya termasuk orang yang agak tertutup dan tidak punya banyak teman. Dia terlalu dekat dengan Haris dan apa-apa selalu mengandalkan kakaknya itu. Tapi Harispun sudah berpesan agar Rani bisa sedikit membuka dirinya, tapi juga jangan sampai kebablasan. Dia berpesan agar Rani juga pilih-pilih teman, yaitu teman yang baik dan bisa mengajaknya berbuat baik, bukan sebaliknya. Dari apa yang diceritakan oleh Rani, Haris bisa bernapas lega karena ternyata Rani mengikuti saran-sarannya.

“Jadi sekarang kamu udah mulai banyak temen ya Ran?”

“Iya mas, ya meskipun cuma temen kampus aja sih. Tapi emang ada untungnya ya mas, mereka banyak ngebantu aku kalau lagi kesusahan, terutama soal kuliahku.”

“Ya makanya dulu aku suruh kamu sedikit bergaul. Terus, selain itu ada cowok yang deket sama kamu nggak? Atau minimal ngedeketin gitu?”

“Yang deketin ada sih mas. Beberapa kan juga udah pernah aku ceritain ke mas Haris. Cuma ya gitu, deketin doang, nggak ada yang pernah lebih. Aku masih nurutin pesan mas Haris dulu itu kok.”

Haris tersenyum. Memang wajar kalau banyak cowok yang mendekati adiknya itu. Secara paras, Rani termasuk gadis yang cantik dan manis. Anaknya juga baik dan pintar.

“Sebenarnya Ran, aku tuh nggak ngelarang kamu buat pacaran. Boleh aja, asal tetep tau batas. Dan jangan sampai karena pacaran, malah ngeganggu kuliah kamu. Aku nggak mau kamu ngalamin kayak yang aku alamin dulu sama mbak Mira.”

“Iya mas, aku tau kok. Makanya aku juga masih belum mau pacaran. Soalnya nih ya, dari cowok-cowok yang deketin aku, belum ada yang bener-bener klik sama aku mas.”

“Ya udah kalau gitu nggak usah buru-buru pacaran. Jangan karena temen-temenmu udah punya pacar semua, terus kamunya juga pengen kayak gitu.”

“Nggak kok mas. Temen-temenku malah banyakan yang jomblo, jadi aku malah enjoy sama mereka.”

“Yaa bagus deh kalau gitu.”

“Eh mas, terus mas Haris sama mbak Mira itu gimana jadinya?”

“Hmm, yaa nggak gimana gimana, kan udah lama juga nggak berhubungan. Ya aku anggap, kami putus.”

“Iya, tapi kan dulu mas Haris masih galau-galau nggak jelas gitu?”

“Ya emang sih. Tapi sejak aku curhat sama temen-temenku di kantor, mereka ngasih banyak saran, dan sejak itu pikiranku terbuka.”

“Jadi udah bisa bener-bener ngelupain dia mas?”

“Lupa sama sekali sih enggak, karena itu kan salah satu perjalanan hidup. Tapi sekarang, aku udah nggak mikirin dia lagi.”

“Ooh, gitu ya. Emang mas Haris cerita itu sama siapa sih? Cewek pasti ya?”

“Haha iya.”

“Siapa mas? Cerita dong.”

“Namanya mbak Lidya sama mbak Viona.”

“Wuih, 2 langsung mas.”

“Apanya yang 2 langsung? Mereka itu kan cuma temen kantor. Lagian mbak Viona itukan istrinya mas Aldo.”

“Hah, mas Aldo? Mas Aldo udah nikah?”

“Iya Ran. Jadi gini ceritanya…”

Haris mulai menceritakan tentang Aldo. Dia cerita kalau selama di Jakarta dia sebenarnya tinggal di rumah Aldo, karena selama ini Haris bilang sama orang tuanya, termasuk Rani juga, kalau dia disana ngekost. Haris juga cerita tentang Aldo yang sudah menikah. Dan terakhir, Haris juga cerita tentang apa yang sedang dialami oleh Aldo sebelum dia pindah ke kota ini.

“Hah? Serius mas?”

“Iya, tapi kamu nggak usah bilang sama ibuk bapak ya, termasuk sama keluarga besar kita yang lain. Kamu tau lah masalah mereka seperti apa.”

“Iya mas, aku nggak akan cerita. Tapi emang mas Aldo beneran terlibat itu?”

“Hmm, belum tau pasti sih Ran. Yang jelas sekarang mas Aldo udah nggak dipenjara lagi, tapi harus tetep direhab di panti.”

“Iih kok gitu ya?”

“Yaa makanya, aku minta sama kamu tetep menjaga pergaulanmu. Meskipun kamu punya temen deket, atau mungkin bisa dibilang sahabatlah, jangan percaya sama dia 100%, karena kita nggak pernah tau seperti apa dia yang sebenarnya.”

“Iya mas. Terus, yang mbak Lidya itu? Cuma temen kantor doang?”

“Hmm, kami sebenarnya sempet deket sih. Tapi ya cuma gitu doang, nggak lebih, soalnya kan udah sama-sama tau kalau aku bakalan dipindah kesini, sama-sama nggak mau LDRan gitu Ran.”

“Mas Haris paling yang nggak mau, takut kejadian kayak yang dulu kan?”

“Haha, iya juga sih.”

Haris hanya bercerita sebatas itu saja tentang Lidya. Kepada Bagas tadi siang juga ceritanya sama. Tidak mungkin dia mengumbar sedekat apa hubungan yang pernah dijalani bersama Lidya. Cukup mereka berdua, juga Viona dan Aldo saja yang tahu. Apalagi menceritakan hal ini kepada Rani yang masih polos, bisa bahaya buatnya. Bagaimanapun dia harus tetap menjaga image sebagai seorang kakak yang baik. Nggak lucu kalau Rani tahu, Haris melarangnya ini itu, sementara dia sendiri malah melakukannya.

Obrolan mereka masih terus berlangsung sampai hampir tengah malam. Banyak hal yang mereka bicarakan. Beberapa kali juga pengamen mendatangi, menghibur Haris dan Rani dengan nyanyian mereka. Bahkan kalau ada yang menurut Haris ataupun Rani suaranya bagus, mereka meminta pengamen itu untuk menyanyikan lagu lain yang mereka inginkan. Hal yang sudah lumrah terjadi di angkringan ini. Lagipula, biasanya pengamen yang berada disini bukan sekedar asal nyanyi, tapi benar-benar bisa menyanyi dan suara mereka bagus-bagus, dan yang pastinya, sangat menghibur.

“Eh Ran, kostanmu tutup jam berapa?” tanya Haris tiba-tiba, menyadari ini sudah sangat larut.

Rani tak langsung menjawab, dia melirik ke arlojinya.

“Waah udah kelewat mas, harusnya sih kalau malem minggu sampai jam 12, ini aja udah lebih.”

“Ya udah, entar ke kostku aja kalau gitu.”

“Oke mas. Emang udah mau balik? Capek ya?”

“Enggak sih, nggak capek juga. Lagian besok juga masih hari minggu kan, masih ada waktu lah buat persiapan masuk kerja.”

“Gimana mas rasanya udah kerja gitu?”

“Hmm, gimana yaa. Ya ada enaknya, ada enggaknya. Tapi kalau kita nikmatin pekerjaan kita, jadinya menyenangkan kok. Samalah kayak kamu kalau kuliah, kalau dinikmatin asyik juga kan?”

“Iya sih. Tapi kerja pasti lebih menyenangkan ya? Kan dapet gaji, hehe.”

“Ya kalau itu pasti, tapi tanggung jawabnya kan juga lebih gede Ran. Eh, cabut yuk?”

“Mau kemana?”

“Hmm, jalan-jalan aja, keliling, sekalian pulang.”

“Ayo kalau gitu.”

Haris dan Rani beranjak dari tempat itu. Mereka melanjutkan malam itu dengan jalan-jalan melewati jalanan yang sudah cukup dikenal oleh Haris. Suasana malam minggu ini masih ramai, apalagi cuaca sedang cerah, cukup menyenangkan untuk keluar dengan pasangan atau berkumpul dengan teman-teman.

Sekitar 1 jam kemudian mereka sudah sampai di kostan Haris. Kostan ini termasuk kostan yang bebas, penjaganya tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang keluar masuk, yang penting tidak membuat keributan saja, karena kalau sampai membuat keributan, penghuninya akan langsung dikeluarkan saat itu juga.

“Wah enak kostanmu mas. Perbulan berapa disini?” tanya Rani yang sudah menghempaskan badannya di ranjang.

“1,5 juta perbulan Ran, hehe.”

“Wuih mahal ya, 2 kali lipat kostanku, hehe. Kenapa nyari yang kayak gini mas? Apa nggak sayang uangnya?”

“Yaa aku nyari yang nyaman sih, kamu bisa liat sendiri kan kamarnya lumayan kedap suara, kita nggak sampai keberisikan sama kamar-kamar sebelah.”

“Iya sih, tadi kan yang di sebelah lagi nyetel musik kenceng, tapi dari sini nggak terlalu kedengeran.”

“Ya makanya itu, sepadan lah sama duit yang dikeluarin. Lagian aku juga masih bisa nabung lumayan banyak kok. Udah kamu kalau mau tidur duluan aja, aku nonton bola dulu.”

“Iya mas, udah ngantuk nih.”

Tak lama kemudian Rani terlelap, sedangkan Haris masih terjaga. Dia masih menonton pertandingan sepak bola meksipun yang main bukan tim favoritnya, tapi tak apalah, lumayan buat hiburan.

Haris juga beberapa kali berkirim pesan di handphonenya. Lidya tadi baru saja mengiriminya pesan, bilang kalau dia juga baru pulang ngedate dengan pacarnya. Tapi tak lama karena kemudian Lidya pamit untuk istirahat karena memang sudah sangat larut. Haris sendiri belum bisa tidur, jadi matanya terus tertuju pada TV.

Tapi dalam benaknya Haris juga sedang berpikir, petualangan seperti apa yang akan dia jalani nanti di kota ini. Dia mengira-ngira, seperti apa nanti teman-temannya di kantor yang baru. Apakah sebaik dan seasyik yang di kantor pusat atau tidak. Atau apakah mungkin, dia akan bertemu dengan seseorang dan melakukan hal yang sama dengan yang sudah dia lakukan dengan Lidya.

Ah janganlah, udah cukup main-mainnya. Kalau emang entar ketemu sama seseorang, aku pengennya serius aja, nggak kayak sama Lidya kemarin. Moga-moga beneran ketemu jodoh disini.

Haris tersenyum mengingat lagi apa yang terjadi antara dirinya dan Lidya. Kisah rahasia yang singkat, tapi cukup membekas di hatinya. Kisah yang tak pernah dia bayangkan dengan gadis secantik Lidya. Kalau diingat-ingat lagi, dibandingkan mantan-mantannya ataupun gadis-gadis yang pernah dekat dengannya, memang Lidya yang paling cantik diantara mereka.

Huft Lid, sepertinya aku bakal kangen terus sama kamu.’

Bersambung

Mandi Bareng Dengan Tante Dewi
Foto memek cewek amoy yang cantik suka ngangkang
janda montok
Ngentot Janda Beranak Satu, Main Nya Oke Banget
Ngewe dengan pasien sendiri
ngentot anak angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian dua
Foto Cewek Cina Cantik Putih Telanjang Memek Merangsang
janda muda berjilbab
Bercinta Dengan Janda Muda Berjilbab
bokep teller bca
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Dua
Cewek lihat bokep
Gara gara nonton bokep bareng tante sri
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
perawan
Terimakasih Untuk Keperawanan Mu
Foto jilbab telanjang masih ABG suka nonton video bokep
Foto Sex Cewek Mulus Memek Rapat
tetangga cantik
Nikmatya Memperkosa Gadis Lugu Tetanggaku
Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
cantik suka ngentot
Ngentot Cewek Tetangga Di Kamar Kost