Part #18 : Why is She Here

“Hei ganteng, bangun..”

“Hemm, jam berapa mbak?”

“Udah jam 7 ini lho.”

Haris mengucek-ngucek matanya, sedikit menggeliatkan tubuhnya. Rasanya masih mengantuk. Untung hari ini dia libur. Lebih tepatnya, mendapat libur dari pak Eko karena ada Viona disini. Wanita yang seharusnya dia antarkan jalan-jalan, yang harusnya dia bantu untuk refreshing dari semua masalahnya, tapi nyatanya semalam malah dia nikmati tubuhnya.

“Itu HP kamu dari tadi bunyi-bunyi terus Ris,” ucap Viona, yang masih memeluk tubuh Haris, dimana mereka berdua masih terlanjang bulat.

Haris mencari handphonenya, dan mengambilnya. Dia baca, ternyata ada beberapa missed call dari adiknya. Lalu ada sebuah pesan juga dari Rani, yang kalau dia belum bisa pulang karena masih ada acara dengan teman-teman kampusnya di luar kota. Haris membalasnya dan berpesan untuk berhati-hati, lalu meletakkan lagi handphonenya.

“Siapa?”

“Rani mbak.”

“Oh Rani, kenapa emangnya?”

“Ituu, dia cuma bilang kalau nggak jadi pulang hari ini, masih ada acara sama temen-temennya di luar kota.”

“Acara kampus?”

“Iya. Acara praktikum gitu sih, tapi katanya sekalian buat penelitian skripsinya gitu.”

“Loh emang Rani udah ambil skripsi Ris?”

“Ya belum mbak, masih lama. Cuma ini penelitian katanya perlu waktu lama juga, dan dosennya juga nyaranin agar penelitian itu sekalian dijadiin bahan buat skripsinya nanti. Jadi pas ambil skripsi, nggak perlu ngulang penelitian dari awal.”

“Ooh gitu. Ya bagus deh, jadi entar bisa cepet lulus dong?”

“Iya mbak, moga-moga aja gitu. Oh iya, hari ini mbak Viona mau jalan-jalan kemana?”

“Hmm, kemana ya? Nggak tau Ris. Lagian aku masih capek, emang kamu nggak capek apa?”

“Yaa lumayan sih mbak, tapi kalau mbak Viona mau jalan-jalan aku siap nganterin kok.”

“Kalau kita dikostan aja dulu gimana Ris? Entar siang atau sore, kalau kepengen baru jalan?”

“Gitu juga nggak papa sih, aku terserah sama mbak aja deh.”

Haris tiba-tiba memeluk dan mencium kening Viona, lalu tersenyum menatapnya.

“Kenapa? Masih pengen lagi? Yang semalem masih kurang?” tanya Viona.

“Hehe, emang boleh mbak kalau pengen lagi? Soalnya emang masih kurang sih, hehe.”

“Dasar kamu. Lagi-lagi bener kan apa yang dibilang Lidya.”

“Emang Lidya bilang apa lagi sih mbak?”

“Ya dia bilang kamu tuh gitu, awalnya doang nolak nolak, tapi kalau udah ngerasain, kayak nggak ada puasnya, minta nambah mulu.”

“Hahaha sialan Lidya. Ya mau gimana lagi mbak, abis enak sih.”

“Hmm jadi gitu? Udah nggak ngerasa nggak enak lagi sama masmu?”

“Yaah mbak, kok bahas itu sih? Kan jadi nggak enak lagi nih.”

“Haha, ya udah. Kalau gitu, selama aku disini, nggak usah bahas dia ya? Pokoknya selama disini aku jadi milik kamu, kamu jadi milikku, gimana?”

“Oke.”

Keduanya tersenyum dan saling memeluk. Tapi kemudian Haris melepaskannya dan menuju ke kamar mandi. Dia niatnya mau mandi, tapi Viona keburu masuk menyusulnya. Ya memang mereka akhirnya mandi juga, tapi tentu saja waktunya menjadi sangat molor karena mereka selingi dengan bercanda, saling menyabuni, saling cumbu, dan bahkan sekali lagi bersetubuh di bawah guyuran shower air hangat yang disudahi dengan semburan sperma Haris di dalam vagina Viona.

Setelah menyelesaikan mandi mereka yang terlalu lama itu, mereka mengeringkan badan dan kembali berpakaian, ala kadarnya karena memang tak ada rencana untuk keluar kamar. Mereka juga memesan makanan untuk sarapan dari aplikasi ojek online. Pagi itu Viona memakai lagi pakaiannya semalam, tanktop dan hotpants tanpa pakaian dalam lagi, sedangkan Haris dengan kaos oblong dan celana pendeknya.

Pagi sampai siang itu hanya mereka isi dengan obrolan seputar apa yang mereka lakukan setelah Haris pindah ke kota ini. Dari cerita Viona, Haris tahu kalau setelah dia pergi dari Jakarta, Viona jadi tidak sesering dulu mengunjungi Aldo. Aldo yang seharusnya sudah keluar dari panti rehab itu 2 minggu yang lalu juga ternyata diperpanjang masa rehabnya karena hasil tes yang dilakukan dokter Regina sampai juga di tangan polisi.

“Lho emang dokter Regina yang bilang itu ke polisi mbak?”

“Bukan Ris. Dokter Regina sih pas aku temuin, dia bahkan sampai sumpah-sumpah segala kalau dia nggak pernah ngasih tau hal itu ke polisi. Dia juga bingung kok polisi bisa tau, entah siapa yang ngelaporin itu.”

“Jadi masa rehab mas Aldo diperpanjang berapa lama mbak?”

“Yaa sekitar sebulan lagi, itu sih mungkin paling cepet ya, bisa aja lebih lama lagi.”

“Mbak nggak nanya sama mas Andi?”

“Udah.”

“Terus apa dia bilang?”

“Dia sendiri juga bingung. Soalnya dia malah tau itu dari atasannya, dan atasannya nggak mau ngasih tau dapet info itu dari mana.”

“Kok aneh gitu sih?”

“Ya itu dia Ris. Entah siapapun yang ngasih tau info itu ke polisi, dan entah apa tujuannya, tapi sepertinya ada sesuatu di balik itu semua. Andi bilang dia akan menyelidikinya, tapi sampai sekarang belum ada kabar lagi dari dia.”

“Kayaknya sih satu-satunya yang bisa dilakuin ya nunggu kabar dari mas Andi ya mbak?”

“Iya, bener Ris. Selain itu kita nggak tau apa-apa lagi.”

“Hmm, ya moga-moga nggak ada yang aneh-aneh lagi deh mbak. Gimanapun juga mas Aldo juga bagian dari keluargaku, meskipun dia beneran salah, aku berharap sih dia nggak sampai masuk penjara lagi.”

“Entahlah Ris. Jujur aku sekarang bingung, harus gimana mendukung mas Aldo. Dia suamiku, salah atau benar harusnya aku harus tetep ngedukung dia. Tapi masalahnya, dia terlibat akan sesuatu yang sangat aku benci. Ada satu sisi di hatiku yang pengen dia dihukum seberat-beratnya, tapi disisi lain, sebagai seorang istri, aku juga pengen dia segera dibebasin, dan hidup normal seperti sebelumnya.”

Haris bisa memahami apa yang dirasakan oleh Viona. Viona dulu pernah terjerumus dalam lubang kelam itu. Seorang yang dia anggap sebagai sahabat, malah membawanya memasuki dunia yang seharusnya tak pernah dia masuki. Dia menjadi kecanduan narkoba. Meskipun pada akhirnya tak sampai dipenjara, tapi dia harus dirawat di panti rehabilitasi hampir setahun lamanya.

Semenjak itu Viona menjadi sangat benci dengan para pengedar narkoba. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang berandil besar merusak para generasi muda. Tapi kenyataan yang harus dihadapinya kini adalah, suaminya sendiri ternyata adalah salah satu dari pengedar narkoba, profesi yang sangat-sangat dia benci. Haris tahu, Viona sedang dalam dilema sekarang, haruskah mempertahankan hubungannya dengan Aldo, atau melepaskannya begitu saja.

“Mbak harus ngomongin ini sama dia, hati ke hati. Kalau dia mau berhenti, nggak ikut-ikut ke dunia itu lagi, mbak harus bisa nerima dia kembali.”

“Iya Ris, tapi untuk saat ini, aku belum siap. Ketemu sama dia aja rasanya jengah banget, apalagi aku harus berakting seolah-olah aku belum tau apa yang udah dia lakuin di belakangku. Aku harus terus pasang muka senyum tiap ketemu sama dia, dan mengingat apa yang udah dia lakukan, hal itu bener-bener memuakkan Ris.”

“Iya mbak, aku tau. Pasti berat, tapi bagaimanapun juga, mbak harus omongin ini sama dia.”

“Iya, nantilah.”

 

+++
===
+++​

Siang ini akhirnya Haris mengantar Viona jalan-jalan. Wanita itu tadi bilang ingin main-main ke pantai, tapi tidak mau ke parang tritis atau pantai depok. Haris sempat mengajak ke pantai-pantai di Gunung Kidul, tapi Viona juga menolak karena alasan terlalu jauh. Akhirnya Haris mengajak Viona ke pantai kuwaru. Kebetulan Viona belum pernah kesana, diapun menyetujui saran Haris.

Perjalanan mereka tempuh kurang lebih 30 km. Sepanjang perjalanan, terutama saat akan memasuki kawasan pantai mereka disuguhi dengan pemandangan sawah yang menghijau, cukup menyejukkan mata. Sampai disana Viona cukup senang. Kondisi pantai lumayan rindang karena banyak ditumbuhi pohon cemara, membuat suasananya menjadi cukup sejuk. Mereka menghabiskan waktu disana untuk bermain air, juga menikmati kuliner khas laut. Mereka juga sempat menyewa ATV untuk berdua, dan menikmati menyusuri pantai dengan kendaraan itu.

“Asyik juga Ris disini, ada pasar ikannya juga. Bisa milih ikan yang masih seger, dan suasananya lebih sejuk daripada pantai depok ya?”

“Iya mbak. Aku juga baru kesini setelah cukup lama. Disini emang lumayan enak kok suasananya.”

“Ya udah, kita abisin dulu makannya, baru pulang.”

“Santai aja mbak, nggak usah buru-buru, langitnya cerah kok.”

Hari ini cuaca memang cukup bersahabat dengan mereka. Langit begitu cerah dan membuat suasana jalan-jalan mereka cukup menyenangkan. Setelah makan mereka tidak langsung pulang. Masih menyempatkan jalan-jalan sebentar lalu berselfie ria di sekitaran pantai. Setelah cukup sore baru mereka pulang.

Viona cukup senang hari ini, dia cukup terhibur. Untuk sesaat dia bisa melupakan masalah yang dia hadapi soal suaminya. Memang ini yang dia perlukan, sebuah liburan yang bisa kembali merefresh kepalanya, yang sudah cukup dipenuhi dengan berbagai aktivitas kerjaan dan juga memikirkan masalah yang menimpa Aldo. Ditambah lagi, ada Haris yang selalu menemaninya, dan bersedia mengantarkan kemanapun yang Viona mau.

Sekitar 1 jam kemudian mereka sudah sampai lagi di kost Haris. Mereka mandi bergantian karena badannya memang sudah cukup lengket. Meskipun badannya cukup capek, tapi mereka senang. Haris sendiri sudah lama tidak pergi berlibur seperti ini. Bahkan setelah lulus kuliah dulu, sebelum dia mulai bekerja, dia belum sekalipun mengambil waktu untuk jalan-jalan. Kalaupun ada, itu beramai-ramai dengan temannya yang kebanyakan cowok. Baru kali ini dia bisa pergi berdua dengan cewek, yang tak lain adalah Viona.

Meskipun saat di Jakarta kemarin, dia sempat diajak liburan ke puncak oleh Lidya hanya berdua saja, tapi menurutnya itu tak masuk hitungan. Karena selama berada di puncak mereka hanya menghabiskan waktu di dalam villa saja, tidak ada jalan-jalan untuk menikmati keindahan alam puncak.

“Mbak, malem ini mau makan apa?”

“Hmm, apa yaa? Terserah aja deh Ris. Aku sebenarnya nggak terlalu lapar sih, tapi di pantai agak kebanyakan makan soalnya.”

“Sama sih mbak. Hmm, kalau gitu nongkrong aja gimana? Sambil nenen?”

“Hah? Nenen? Maksudmu?”

“Haha, maksudku kita ke kedai susu mbak, kan para pelanggan di kedai itu disebutnya neneners, haha.”

“Oalah, itu tho? Kirain apaan, haha. Ya udah kita kesana aja.”

Tak berapa lama kemudian mereka berangkat ke tempat yang dimaksud. Karena ini adalah malam sabtu, jadi kondisi di kedai ini cukup ramai, sehingga mereka harus menunggu terlebih dahulu. Setelah sekitar 10 menit menunggu, merekapun mendapatkan tempat juga. Kebetulan mereka mendapat meja yang untuk 4 orang, tapi karena yang lain penuh akhirnya mereka ambil meja itu saja.

Haris dan Viona beruntung mendapatkan meja dengan view yang bagus. Mereka duduk bersebelahan menghadap ke arah luar. Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka ngobrol sambil beberapa kali mengomentari apa yang mereka lihat. Tak lama kemudian pesanan merekapun datang.

Haris sempat melihat ke kursi tunggu, tak terlalu banyak orang yang menunggu disana, jadi mereka tak perlu terburu-buru menghabiskan waktu disitu. Setahu Haris memang tempat ini baru akan sangat ramai di malam minggu. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba ada seorang pria menghampiri mereka. Pria paruh baya itu langsung duduk di kursi di hadapan mereka.

Haris dan Viona sama-sama terkejut. Bedanya, Haris terkejut karena tiba-tiba ada orang yang tidak dikenalnya duduk disana, padahal seharusnya dia menunggu sampai ada meja kosong di kedai itu. Sedangkan Viona, dia terkejut, dan juga wajahnya terlihat ada ketakutan, mengetahui siapa yang duduk di hadapan mereka.

“Hallo Viona, lama ya nggak ketemu?” ucap pria itu.

Haris yang tadinya sempat ingin bertanya kepada pria itu kembali terdiam. Dia malah sekarang bingung, celingak celinguk antara melihat ke arah pria itu dan Viona bergantian. Viona dan pria itu seperti sudah saling kenal, tapi yang membuat Haris bingung adalah melihat wajah Viona yang seperti orang ketakutan.

“Ngapain kamu disini?” tanya Viona, dengan nada bicara yang terdengar agak bergetar.

“Aku lihat kamu masuk sini tadi. Kita udah lama nggak ketemu, jadi kupikir nggak ada salahnya menyapa teman lama bukan?”

Haris masih bingung dengan kondisi ini. Dia masih menatap kedua orang itu bergantian. Apalagi setelah mendengar nada ketidaksukaan Viona terhadap pria itu, tapi dia masih belum tahu harus bersikap seperti apa, karena dia memang tidak tahu apa yang sedang terjadi.

“Oh iya, siapa cowok ini?” tanya pria itu sambil menatap Haris yang kebingungan.

“Saya…”

“Dia adik iparku,” sahut Viona sebelum Haris sempat menjawab.

“Ooh, adiknya Aldo? Adik sepupu pasti ya?”

Loh, orang ini tau mas Aldo juga? Tapi dia ini siapa sih? Kok kayaknya mbak Viona nggak suka banget sama orang ini? Malah kayak, ketakutan gitu?’ ucap Haris dalam hatinya.

“Ris kita balik aja,” ucap Viona menarik tangan Haris.

“Hei hei, kenapa buru-buru? Nggak sopan itu namanya,” sahut pria itu.

Viona tak menjawab, dia tetap berdiri dan menarik tangan Haris. Viona dan Haris terkejut ketika mereka berbalik, ada 2 orang pria yang usianya terlihat lebih muda dari pria itu, berpakaian serba hitam, berdiri di belakang mereka. Viona langsung menatap kembali ke arah pria itu.

“Anda jangan macam-macam lagi ya! Kita udah nggak ada urusan lagi, jadi tolong jangan ganggu saya lagi!”

“Sama kamu memang udah nggak ada, tapi sama suami kamu masih, dan aku yakin kamu sudah tau hal itu,” jawab pria itu dengan santainya.

“Itu urusan kalian, aku nggak mau terlibat lagi. Permisi!”

Viona tetap menarik tangan Haris untuk meninggalkan tempat itu, diiringi senyuman dari pria itu dan kedua pengawalnya. Haris menuju ke kasir terlebih dahulu baru menyusul Viona yang sudah keluar duluan.

“Mbak ada apa sih? Orang itu tadi siapa?”

“Kita pulang Ris!”

“Tapi mbak…”

“Kita pulang!!”

“Eh iya iya.”

Haris tahu Viona tak bisa dibantah lagi, diapun segera memacu sepeda motornya pulang ke kostnya. Dalam perjalanan Viona hanya diam saja, Harispun demikian. Haris belum berani untuk bertanya kepada Viona, karena sepertinya suasana hati Viona sedang sangat tidak bagus. Tapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres disini.

Sesampainya di kostan, Viona buru-buru menuju ke kamar Haris. Haris terpaksa mempercepat langkah mengikuti Viona. Dia merasa tak enak juga karena beberapa teman kostnya melihat mereka seperti itu, seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar saja.

Tiba di dalam kamar, Viona juga masih diam. Dia malah mengutak-atik handphonenya. Haris diam saja melihatnya. Tak lama kemudian Viona terlihat menghubungi seseorang.

“Hallo Lid, kamu lagi sibuk nggak?”

Ternyata Viona menghubungi Lidya. Haris masih diam saja, duduk di kursi sedangkan Viona duduk di pinggiran ranjang.

“Iya, ada hal penting yang pengen aku omongin. Nanti coba tanyain sama kakakmu, kapan si Titus keluar. Barusan aku sama Haris ketemu dia.”

“Iya, dia disini, di Jogja.”

“Aku nggak tau, tiba-tiba aja dia muncul di depan kami. Tolong tanyain ke kakakmu Lid.”

“Oke, aku tunggu kabarnya. Makasih Lid.”

Viona menutup telponnya, kemudian kembali sibuk mengutak-atik handphonenya. Haris masih terdiam. Dia masih belum berani bertanya apa-apa, dia masih menunggu Viona menyelesaikan urusannya, baru akan bertanya tentang apa yang terjadi.

Setelah menunggu cukup lama, dimana beberapa kali dia melihat Viona mengumpat kesal, akhirnya Viona meletakkan handphonenya, dan merebahkan tubuhnya ke ranjang.

“Mbak, hmm, sebenarnya ada apa? Kalau boleh tau..”

“Pria itu tadi, namanya Titus, Titus Harianto.”

“Titus?”

Haris mengernyitkan dahi. Dia sama sekali tak mengenali nama itu, dan apa yang membuat sikap Viona tiba-tiba saja menjadi berubah seperti itu. Dia masih menunggu Viona untuk bercerita, tapi Viona masih diam saja.

“Besok anterin aku ke bandara Ris, penerbangan pagi,” ucap Viona tiba-tiba.

“Loh, jadi pulang besok? Nggak jadi minggu?”

“Nggak. Aku pulang besok.”

“Hmm, iya oke aku anterin. Tapi mbak, sebenarnya ada apa? Dan, Titus itu siapa?”

Viona menghela nafas dalam-dalam, dia bangkit dan duduk menyandar di dinding.

“Titus Harianto, dia adalah gembong pengedar narkoba. Dia adalah salah satu orang yang dulu udah jerumusin aku. Harusnya dia dipenjara untuk waktu yang lama, tapi entah kenapa dia udah bebas, dan sekarang ada disini.”

“Ooh gitu. Eh tunggu dulu, tapi dia bilang tadi ada urusan sama mas Aldo, apa mungkin maksud dia adalah…”

Haris tak melanjutkan kata-katanya, takut pemikirannya itu salah.

“Ya, dia ada hubungannya dengan mas Aldo. Dialah orang yang menyuplay barang-barang haram itu ke mas Aldo. Bisa dibilang, mas Aldo adalah salah satu orang kepercayaannya Titus. Itu yang pernah dibilang Andi kepadaku.”

Haris terbengong mendengarkan cerita Viona. Dia tak menyangka kalau ternyata apa yang terjadi pada Aldo sekarang ada hubungannya dengan orang dari masa lalu Viona. Pantas saja Andi menemui Viona untuk menceritakan hal ini. Sekarang Haris mulai mengerti apa yang terjadi.

“Titus waktu itu ikut ditangkap oleh kakaknya Lidya dan teman-temannya berkat informasi dariku. Yang aku dengar, orang-orang itu dipenjara untuk waktu yang sangat lama. Bahkan seharusnya, Titus yang paling lama, harusnya dia dipenjara seumur hidup. Itu yang kudengar dari Lidya,” Viona melanjutkan ceritanya.

“Tapi tiba-tiba saja dia tadi muncul di depan kita. Jujur Ris, aku nggak yakin kalau pertemuan kita sama dia tadi itu kebetulan. Aku punya perkiraan, dia ngikutin aku. Karena dia punya urusan sama mas Aldo, jadi pasti dia udah lama tau kalau aku ini istrinya mas Aldo.”

“Tapi kalau kayak gitu, mungkin mas Aldo juga udah tau dong soal masa lalu mbak Viona?” tanya Haris memotong cerita Viona.

“Entahlah, bisa jadi. Makanya aku mau pulang secepatnya, dan nemuin mas Aldo, buat memastikan semua ini.”

Cerita Viona sempat terhenti saat handphonenya berbunyi. Haris melihat Viona membuka pesan yang masuk di handphonenya, tapi cuma sebentar saja Viona sudah meletakkan handphone itu lagi.

“Dari Lidya,” ucapnya singkat.

“Apa kata Lidya mbak? Ada info?”

“Nggak ada, belum. Dia udah coba hubungi kakaknya tapi nggak aktif. Kakaknya lagi cuti, dia lagi keluar kota.”

“Coba hubungi mas Andi aja mbak,” usul Haris.

“Buat apa?”

“Ya buat nanyain hal itu, siapa tau mas Andi punya info kan. Terus, juga minta sama mas Andi buat lindungin mbak Viona nanti kalau udah balik ke Jakarta. Kalau perkiraan mbak bener kalau si Titus itu ngikutin mbak, berarti nanti diapun akan terus ngikutin mbak selama di Jakarta. Apalagi mbak sekarang tinggal sendiri lho.”

“Iya, nanti aja aku ngomong sama Andi.”

Viona sebenarnya agak malas untuk minta bantuan kepada Andi. Dia takutnya, apa yang pernah diminta oleh Andi dulu saat akan membebaskan Aldo, diulanginya lagi. Meskipun kemarin sudah sempat berhasil menarik simpati dari Viona karena meskipun dia tak sadarkan diri setelah mendapat informasi dari Andi terkait suaminya, Andi tak melakukan hal buruk apapun kepadanya. Tapi tetap saja, Viona belum bisa sepenuhnya percaya kepada Andi. Dia lebih percaya kepada Lidya dan kakaknya. Dia ingin menunggu dulu kepastian kabar dari Lidya, sekaligus nanti minta tolong kepada kakaknya Lidya, agar bisa melindunginya selama Titus masih bebas berkeliaraan.

 

+++
===
+++​

Di waktu yang hampir bersamaan, masih di kedai yang tadi ditinggalkan oleh Haris dan Viona. Titus bersama dengan 2 orang anak buahnya menduduki meja yang tadi diduduki Haris dan Viona.

“Jadi gimana boss? Cewek itu mau kita seret lagi atau kita apain? Dia yang dulu udah bikin boss sama temen-temen kita dipenjara lho.”

“Tenang aja, nggak usah buru-buru. Emang bener, gara-gara dia aku masuk penjara. Tapi kita masih belum tau, apa ada orang lain lagi yang punya andil. Setauku, Viona nggak punya koneksi polisi berpangkat tinggi yang bisa gitu aja nangkep aku dulu. Kita harus selidiki dulu, tapi yang pasti, perek itu bakalan ngerasain akibatnya, dia bakalan balik jadi gundikku lagi.”

“Oke boss, kita ngikut apa kata boss aja. Terus, cowok yang tadi?”

“Kalian cari tau aja tentang cowok itu. Apa dia tau masalah ini atau nggak. Kalau dia nggak tau ya biarin aja. Tapi kalau dia tau, sekalian aja kita seret ke permainan kita.”

“Maksudnya, mau kita bikin kayak Aldo boss?”

“Entahlah, itu dipikir nanti aja. Yang penting kumpulin info soal anak itu aja dulu, selengkapnya. Tapi yang lebih penting lagi, info soal orang-orang yang bantuin Viona harus cepet dicari, biar kita bisa cepat bergerak. Aku yakin, saat ini juga Viona udah langsung menghubungi orang itu. Dan kalau sampai kita telat gerak, itu akan menyusahkan buat kita.”

“Baik boss.”

“Ya udah kalau gitu, suruh anak buah kita terus awasin kost-kostan anak itu, kalau dia dan Viona pergi-pergi suruh langsung kabarin ke kalian,” perintah Titus sambil beranjak dari tempat itu.

“Boss mau kemana?”

“Ke tempat Mira.”

 

+++
===
+++​

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Haris sudah mengantarkan Viona ke bandara karena penerbangan Viona adalah yang paling pagi. Viona sudah masuk untuk check in, sementara Haris tidak langsung kembali tapi masuk ke kedai kopi dulu. Dia ingin sekedar menghangatkan badannya, karena udara pagi ini memang dingin sekali.

Disana, dia duduk memegang handphonenya. Pagi ini Haris mengirimkan pesan kepada 2 orang yang dia kenal, mengecek apakah kedua orang itu sudah bangun apa belum, karena dia ingin menghubungi mereka. Tak lama kemudian muncul satu balasan dari orang yang dia kirimi pesan tadi, diapun segera menelpon orang itu.

“Halo, pagi Ris. Ada apa nih pagi-pagi gini telpon?”

“Halo, pagi juga mas. Sorry mas, aku ganggu nggak? Mas Andi baru bangun ya?”

Ternyata orang yang dihubungi Haris adalah Andi.

“Nggak kok, santai aja. Aku baru balik, tadi dinas malam. Ada apa nih?”

“Hmm gini mas, ada yang pengen aku kasih tau ke mas Andi, sekalian mau minta tolong. Tapi tolong banget, ini jangan sampai orang lain tau.”

“Waduh, ada urusan apa nih kok kayaknya penting banget?”

“Emang penting mas, penting banget.”

“Ya udah, coba kamu ceritain pelan-pelan.”

Haris kemudian bercerita tentang apa yang dia dengar dari Viona semalam. Andi terdengar agak terkejut karena ternyata Haris sudah tahu sampai sejauh itu, tapi dia hanya diam saja dan terus mendengarkan cerita Haris.

“Jadi gitu mas ceritanya. Semalem aku udah minta mbak Viona buat ngomong ke mas Andi, tapi dia masih belum mau, mungkin nggak mau ngerepotin mas Andi.”

“Hmm ya mungkin juga sih. Terus gimana Ris? Apa yang bisa kubantu?”

“Aku mau minta tolong sih, kalau mas Andi bisa, tolong jagain mbak Viona. Aku punya feeling yang nggak enak dengan semua ini mas. Tapi kalau bisa, mas Andi jangan ngomong apa-apa dulu ke mbak Viona, belagak aja kalau mas Andi belum tau soal pertemuan kami semalam dengan Titus.”

“Oh gitu, oke nggak masalah Ris. Kebetulan aku juga lagi nyari Titus dan orang-orangnya. Kalau mereka ngikutin Viona, berarti aku tinggal awasin Viona aja.”

“Hmm gitu juga bisa sih mas. Eh, tapi kok bisa sih orang itu bebas mas? Katanya dia harusnya dipenjara seumur hidup?”

“Yaa kamu tau sendiri lah Ris, penjahat gede kayak gitu, pasti punya backingan orang kuat juga. Ini aja aku nyelediki dia diem-diem. Cuma atasanku, dan beberapa orang dari pusat yang tau. Tapi aku juga mau pesen sama kamu, kamu juga harus hati-hati disana.”

“Loh, emang kenapa mas?”

“Ya, biar bagaimanapun, kamu itu saudaranya Aldo dan Viona. Lagipula kamu udah ketemu sama Titus juga semalam. Dia pasti bakalan cari tau tentang kamu, apalagi kalau dia tau kamu udah tau apa yang terjadi sama Viona dan Aldo.”

Haris tak langsung menjawab. Dia memikirkan kata-kata Andi, dan seketika muncul ketakutan dalam dirinya.

Benar juga. Kayaknya aku udah terlibat terlalu jauh. Terus gimana ini? Gimana kalau Titus itu benar-benar cari tau soal aku? Apa yang bakal dia lakuin ke aku?

“Hmm, terus, aku harus gimana mas?”

“Kamu nggak usah takut, yang penting hati-hati aja. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku. Nanti aku coba carikan orang yang bisa dipercaya disana, biar bisa ngelindungin kamu juga kalau ada apa-apa.”

“Ya udah, makasih kalau gitu mas.”

“Oke kalau gitu. Ini udah kan? Aku mau istirahat dulu. Mungkin hari ini atau besok aku akan coba awasin Viona. Semoga aja apa yang kita takutin nggak terjadi.”

“Iya mas, cukup itu aja. Ya udah, mas Andi istirahat aja dulu. Dan oh iya, kalau ada kabar aku juga dikasih tau ya mas.”

“Sebaiknya jangan Ris, kamu nggak perlu terlibat lebih jauh lagi.”

“Bukan gitu mas, tapi aku khawatir sama mbak Viona. Paling nggak, kasih tau aja perkembangannya mbak Viona, kalau soal Titus atau kasusnya, aku nggak peduli mas.”

“Oh itu, gampanglah, nanti aku kabarin. Ya udah dulu ya.”

“Oke mas, makasih sekali lagi.”

Haris menutup telponnya. Dia melihat seorang lagi yang dia kirimi pesan tadi belum juga membalas pesannya. Mungkin memang belum bangun, pikir Haris. Akhirnya setelah menghabiskan secangkir kopinya diapun pergi meninggalkan kedai itu. Sepeninggal Haris, seorang pria yang sedari tadi duduk di dekat Haris tampak tersenyum. Haris tak sadar kalau pria itu sedari tadi menguping pembicaraannya di telpon dengan Andi. Dia bahkan tak sadar, kalau sudah diikuti oleh pria itu sejak keluar dari kostannya tadi.

Setelah Haris tak terlihat lagi dari pandangannya, giliran pria itu yang mengeluarkan handphone untuk menghubungi seseorang.

“Halo, pagi boss Titus.”

“Iya benar boss, saya masih di bandara. Saya ada info soal anak itu.”

“Benar boss, anak itu ternyata sudah tau banyak.”

“Soal Viona dan Aldo juga boss.”

“Oke boss, siap. Saya akan ikutin dia terus.”

“Oh iya boss, ada 1 hal lagi.”

“Saya dengar anak itu tadi nelpon seorang polisi di Jakarta bernama Andi, mungkin boss bisa cari tau soal orang itu juga.”

“Oke boss sama-sama, nanti saya hubungi lagi.”

Bersambung

Foto ngentot dengan gadis tembem crot di dalam meki
Jepitan Susu Lydia Yang Tiada Tanding
dukun cabul sexy
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian tiga
Foto model bugil cewek cina yang cantik dan putih
gadis salon
Perkenalan Ku Dengan Imelda Si Gadis Montok
Cewek horny
Menikmati cumbuan cowok yang baru ku kenal waktu lembur
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
ABG montok sange colmek di kamar
Foto memek tembem mahasiswi cantik suka selfie bugil
Foto Bugil Jilbab Calon Ustazah Korek Memek
Kisah Nyata Awalnya Sih Cuma Jadi Bahan Akhirnya Jadi Kenyataan
Foto bugil Rin Hinami no sensor
ibu kost hot
Cerita sex pelampiasan nafsu ibu kost yang kesepian
Foto bugil bispak sange abg lokal remaja promosi di facebook
Cerita hot merawanin baby sitter
masturbasi
Cerita sex menikmati puncak gairah di warnet