Part #21 : This is My Past, Can you Accept it ?

Hubungan Haris dan Anin semakin lama semakin dekat. Anin perlahan semakin membuka dirinya kepada Haris, dalam artian, komunikasi yang mereka lakukan sudah mulai intens. Anin juga tak lagi membalas pesan dari Haris sekedarnya. Dia juga mulai menunjukkan perhatiannya kepada Haris, mulai dari menanyakan kegiatannya, sampai mengingatkan agar tak lupa makan. Tentu saja semua itu membuat Haris semakin senang, dan sepertinya apa yang menjadi keinginannya bakal bisa terwujud.

Tapi masih tetap Anin belum mau diajak keluar, walau sekedar nonton di bioskop ataupun makan malam. Bukan masalah untuk Haris, karena dia masih bisa main ke rumah Anin. Haris juga sudah semakin dekat dengan kedua orang tua Anin, yang tidak menunjukkan sedikitpun penolakan kepadanya. Haris juga sudah mulai mengenal beberapa orang polisi yang bertugas di kantor samping rumah Anin karena saat ngapel dia dan Anin mulai sering digoda oleh para polisi itu.

Namun sampai ini, Haris masih belum mau untuk menceritakan tentang masa lalunya kepada Anin. Dia merasa belum waktunya. Dia sudah yakin dengan Anin, tapi dia belum bisa memastikan apakah Anin juga yakin dengannya atau belum. Berkat saran dari Eva juga, Haris masih menunggu waktu yang tepat untuk bisa menceritakan hal itu kepada Anin.

Di kantornya, hubungan yang semakin dekat dengan Anin membuat Haris semakin semangat dalam bekerja. Yang jelas teman-temannya ikut senang melihat Haris seperti itu. Saat ini, di kantor hanya tinggal 2 orang yang statusnya masih lajang, yaitu Haris dan Marwan. Itupun setahu Haris, Marwan akan menikah tak lama lagi. Dan kalau itu terjadi, hanya tinggal dialah yang akan menjadi bahan bullyan teman-teman kantornya.

Namun cerita tentang Haris yang sedang dekat dengan seorang wanita itu kini sudah menyebar di kantor. Entah siapa yang menyebarkannya, tapi sekarang hampir semua orang sudah tahu. Meskipun mereka belum tahu siapa wanita itu, tapi yang jelas mereka mendukung saja. Bahkan kemarin tiba-tiba ada seorang temannya, yang tahu tentang apa yang membuat Haris begitu semangat, memberikan selembar pamflet yang ternyata isinya adalah promosi sebuah perumahan.

“Untuk apa ini mas?” tanya Haris.

“Ya kan bentar lagi kamu nikah, emang nggak pengen punya rumah sendiri?”

“Haha, tapi kan masih lama mas?”

“Ya buat persiapan lah Ris. Cepat atau lambat kamu pasti bakal ditanya masalah itu. Apalagi setauku cewekmu itu anaknya kapolsek yang tinggal di rumah dinas kan? Masak iya abis nikah kamu mau ikut tinggal disana?”

“Yaa, tapi aku kan masih kost.”

“Daripada uangmu buat bayar kost, mending buat nyicil rumah kan?”

“Hmm, iya juga sih mas. Ya udah deh, makasih ya mas.”

Untuk saat ini Haris membenarkan apa yang dikatakan teman kantornya itu. Memang kalau dipikir-pikir, dia lebih baik segera membeli rumah saja, walaupun harus kredit. Apalagi yang dia tahu, dia akan berada di kota ini untuk waktu yang cukup lama. Perusahaan tempatnya bekerja memang jarang melakukan mutasi karyawan. Contohnya saja pak Eko, yang sudah belasan tahun berada disini sampai akhirnya jadi kepala cabang.

Orang yang mutasipun biasanya selain kepentingan kebutuhan perusahaan, ada juga yang karena faktor keluarga. Contohnya Eva. Sebelumnya dia ditempatkan di kantor cabang mereka di luar jawa, tapi setelah menikah dia ikut suaminya ke kota ini, dan dari kantor pusat juga sudah memberikan jaminan kepada Eva kalau dia akan bertahan di cabang ini untuk waktu yang sangat lama, bahkan bisa jadi sampai pensiun nanti, kecuali memang ada hal yang benar-benar urgent.

Mengingat sudah hampir pasti dia akan tinggal di kota ini seterusnya, maka Haris berpikir memang lebih baik beli rumah saja daripada harus kost. Kalaupun dia belum menikah, rumah itu bisa ditempati bersama dengan Rani, sampai dia lulus kuliah.

Akhirnya, pada malam harinya Haris menghubungi orang tuanya. Dia menceritakan tentang keinginannya untuk membeli rumah saja. Dia juga menceritakan tentang Anin dan niat baiknya kepada Anin. Ternyata orang tuanya sangat menyetujui keinginan Haris itu. Sebelumnya mereka memang memberi Haris kebebasan, karena dia sendiri yang mencari uang, jadi dia bisa memakainya untuk apapun yang dia inginkan. Orang tuanya hanya sekedar mengarahkan dan mengingatkan saja. Dan kini malah sudah ada niatan seperti itu dari Haris, tentu saja kedua orang tuanya sangat mendukung.

“Nin, menurutmu gimana kalau aku beli rumah aja?” tanya Haris. Malam ini seperti biasa dia sedang ngapel ke rumah Anin.

“Loh kok tiba-tiba ngomong gitu mas? Emang ada apa?”

“Gini lho, aku kan udah hampir pasti bakal menetap di kota ini, jadi daripada ngekost terus, kayaknya lebih baik beli rumah aja, iya nggak?”

“Emang gitu ya mas? Beneran udah hampir pasti?”

“Iya Nin, di kantorku, jarang ada mutasi-mutasian gitu. Temenku banyak kok yang dari mulai masuk kerja sampai sekarang nggak pindah-pindah.”

“Yaa kalau emang udah pasti gitu sih, emang lebih baik beli rumah aja mas. Kan kostan mas Haris mahal banget tuh, lumayan buat nyicil rumah mas.”

“Iya Nin, aku juga mikirnya kesana. Kemarin ada yang ngasih selebaran promosi perumahan gitu, pas aku baca, terus aku coba itung-itung, dari biaya ngekostku sekarang tinggal tambah dikit aja bisa nyicil rumah itu. Apalagi kalau aku udah punya rumah, dan kalau belum nikah, kan Rani juga bisa tinggal disana sampai dia lulus, jadi bisa motong biaya kost untuk 2 orang. Tapi ya emang DP-nya agak gede sih.”

“Kalau soal DP kan bisa pinjem dulu mas kalau nggak punya. Terus, kalaupun udah nikah, Rani juga masih tetep bisa tinggal disana kan, daripada harus ngekost lagi, keluar biaya lagi.”

“Iya Nin. Kalau buat DP sih, aku ada tabungan kok. Nah kalau masalah Rani, itu ya tergantung kamu, hehe.”

“Loh kok aku mas?”

“Yaa kamunya nanti mau nggak kalau Rani tetep tinggal disitu? Hehe.”

“Lha emang aku siapa mas kok pake ditanya mau apa enggak? Aku kan bukan siapa-siapa kamu.”

“Emang nggak mau apa jadi siapa-siapanya aku?”

“Enggak ah.”

“Loh kok enggak?”

“Ya enggaklah, kamu aja belum minta ijin sama orang tuaku.”

“Ooh kalau udah minta ijin berarti kamu mau dong?”

“Ya tergantung gimana jawaban orang tuaku.”

Haris tersenyum senang. Sedikit umpannya telah dimakan dengan baik oleh Anin. Ini kode, dan Haris bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Anin. Sebuah langkah maju dari usahanya kepada Anin.

“Kalau misalnya, aku minta ijinnya sekarang, gimana Nin?”

“Jangan dulu mas.”

“Kenapa emang?”

“Aku mau nyelesain kuliahku dulu, abis itu baru mikirin nikah mas.”

“Oh, pengen nikah tho? Hehe.”

“Mas Haris iih, gitu deh,” Anin sedikit cemberut wajahnya, karena tanpa sadar masuk pancingan Haris. Tapi dalam hatinya dia tertawa, hanya saja terlalu malu untuk diungkapkan ke Haris.

“Hehe, jangan ngambek dong Nin, aku kan nggak bercanda.”

“Loh kok nggak bercanda sih?”

“Ya iyalah, aku kan mau serius sama kamu.”

Anin tak menjawab, tapi kali ini tak mampu menyembunyikan senyumnya. Harispun ikut tersenyum melihatnya.

“Hmm, kalau soal nunggu lulus kuliah dulu, aku sih setuju-setuju aja Nin, biar kamu fokus kelarin kuliah dulu. Tapi kalau minta ijin dari sekarang nggak masalah kan?”

“Yaa, kalau itu sih terserah aja, asal udah siap.”

“Kamunya udah siap belum?”

“Ihh udah dibilangin juga, nunggu aku kelar kuliah dulu.”

“Hehe iya iya, ngerti kok.”

Kembali mereka berdua tersenyum. Ada sedikit rona kemerahan di wajah Anin. Selama ini dia memang belum pernah sedekat ini dengan lelaki manapun. Dan sekalinya dekat, lelaki itu sudah langsung menyatakan niat yang lebih jauh. Niat baik, yang tentunya mendapat sambutan yang baik juga darinya, dan juga kedua orang tuanya.

 

+++
===
+++​

Tok tok tok…

Pintu rumah itu dibuka. Viona melihat Andi sudah berdiri di depannya. Dia juga melirik motor Andi, seperti biasa, sudah dimasukkan dan pagarnya juga ditutup tanpa dikunci.

“Masuk Ndi.”

“Makasih.”

Tidak ada senyuman di wajah Andi seperti biasanya. Viona tahu ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Andi. Tadi Andi sudah memberi tahunya, tapi waktu ditanya soal apa, Andi tak menjawab, hanya bilang akan mengatakannya setelah mereka bertemu.

“Jadi, apa yang mau kamu kasih tau ke aku?”

Panggilan antara Viona dan Andi pun sudah berubah, tak lagi lu-gua, tapi sudah aku-kamu.

“Soal Aldo Vi, aku barusan dapet kabar dari temenku yang jaga disana.”

“Soal Aldo? Ada apa emangnya?”

“Dia kabur dari panti rehab.”

“What? Kabur? Yang bener? Tapi dokter Regina kok nggak ngasih tau aku?”

“Emang kejadiannya belum lama. Begitu aku dikasih tau, langsung aku hubungi kamu tadi terus langsung kesini. Dokter Regina udah pulang, dan mungkin dia juga baru dikasih tau sama anak buahnya.”

“Tapi kok bisa kabur sih Ndi? Bukannya dia disana dijaga sama temenmu?”

“Belum tau juga sih. Yang jelas, tadi temenku keluar bentar buat beli makan, pas balik pintu ruangannya Aldo ketutup terus. Dan baru taunya waktu ada suster yang mau nganterin makanan, Aldo udah nggak ada disana. Udah diubek-ubek seluruh panti sama temenku, dan dia emang udah nggak ada lagi.”

Viona terdiam. Entah kenapa dia sekarang merasa ketakutan, mengingat banyaknya kebohongan Aldo kepadanya selama ini, yang entah kebohongan-kebohongan apalagi yang masih disimpan oleh suaminya itu.

“Terus gimana Ndi?”

“Temen-temenku lagi disebar buat nyari dia. Beberapa juga ada yang berjaga di sekitar perumahan sini, kalau aja dia bakal pulang kesini, meskipun kemungkinannya kecil. Yang jelas, sekarang posisi Aldo semakin rumit, dan semakin berat buat dibebasin.”

“Apa mungkin semua ini ada hubungannya sama Titus?”

“Belum bisa dipastiin juga sih, tapi dengan menghilangnya Aldo sekarang ini, kemungkinan itu makin besar Vi. Dan aku juga udah dapet kabar dari atasanku, kalau sampai nanti Aldo ketangkep, dia nggak akan dimasukin ke panti lagi, tapi langsung diproses.”

“Sesuai bukti-bukti yang kemarin?”

“Iya, kasusnya bakal digelar lagi, dan sepertinya, kalau tidak ada campur tangan dari Titus, dia akan dipenjara untuk waktu yang sangat lama. Persoalan ini udah semakin serius Vi.”

Viona menggelengkan kepalanya, kemudian mengusap keningnya dan merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Dia tak habis pikir, dunia yang sudah dijauhinya, yang sempat dia pikir tak akan lagi mengusik hidupnya, tapi kini malah semakin ruwet, bahkan suaminya pun ikut bermain di dalamnya.

“Aku, aku jadi takut sekarang Ndi.”

“Kamu nggak perlu takut. Aku, hmm, dan juga dari pihak kepolisian akan melindungi kamu. Untuk saat ini, yang lain sedang fokus buat nyari Aldo, sedangkan aku tetep pada tugasku, nyari Titus dan orang-orangnya, dan melindungi kamu.”

“Huft, kenapa semua jadi rumit gini ya? Aku pikir, dengan ditangkapnya Titus dulu, semua udah beres, hidupku akan kembali normal. Tapi sekarang, semua itu malah ngusik aku.”

“Hmm, sepertinya, dia nggak mau ngelepasin kamu Vi.”

“Maksudmu?”

“Ya itu hanya perkiraanku aja sih. Entah apapun yang pernah terjadi diantara kalian, tapi sepertinya Titus punya rencana sendiri buat kamu. Aku harap perkiraanku ini salah, tapi kita nggak akan pernah tau kan.”

“Mungkin kamu bener. Dulu aku emang termasuk royal, nggak pake itung-itungan ngeluarin duit buat barang-barang dari dia, meskipun bukan aku doang yang make. Tapi kalau untuk alesan itu, mungkin nggak harus sampai sejauh itu sih Ndi.”

“Atau mungkin, ada yang lain?”

“Iya, emang ada. Dan rasanya, aku nggak perlu kasih tau, kamu udah bisa menebaknya kan?” tanya Viona, menatap kedua mata Andi. Terlihat merah, seperti ada sebuah ketakutan sekaligus rasa dendam.

“Hmm, entahlah. Aku nggak mau berspekulasi, tapi sepertinya aku tau apa yang kamu maksud Vi.”

“Aku, hiks, aku…” tiba-tiba saja Viona mulai menangis. Andi yang terkejut langsung mendekati dan mendekapnya.

“Udah Vi, nggak usah diingat-ingat lagi. Lupain.”

“Aku diperkosa sama dia Ndi. Hiks.. sahabatku yang udah jerumusin aku, dan sejak itu aku jadi budaknya, nggak bisa lari kemana-mana. Sejak itu juga dia meras aku, tubuh dan hartaku, semua Ndi, hiks…”

Tangisan Viona makin menjadi. Dia seperti ingin menumpahkan bebannya kepada Andi saat ini juga. Dulu, dia pernah menceritakan hal ini kepada Lidya, saat Lidya dan kakaknya akan membantunya. Sejak saat itu sebenarnya dia sudah mulai bisa melupakannya. Namun saat ini, saat Titus kembali muncul di hadapannya, dan kenyataan bahwa suaminya ternyata terlibat dengan jaringan Titus, membuat luka lama itu terbuka kembali. Beban yang dulu sudah dia buang jauh-jauh seolah kembali begitu saja, bahkan lebih berat dia rasakan.

Andi tak mengatakan apa-apa, hanya diam saja. Dia tahu, saat ini Viona hanya ingin didengar, hanya ingin menumpahkan apa yang dia rasakan. Andi hanya terus mendekap erat tubuh Viona, membelai rambut dan punggungnya, mencoba memberikan rasa aman dan nyaman kepadanya. Setelah beberapa saat, tangsi Viona akhirnya mereda.

“Udah Vi, jangan dipikirin lagi, jangan diingat-ingat lagi. Inget, sekarang ada aku, kamu nggak sendirian. Yang penting buatku sekarang, mastiin kamu selamat, nggak diganggu lagi sama Titus dan orang-orangnya, dan mungkin juga, termasuk Aldo.”

“Iya Ndi. Awalnya aku berharap Aldo bisa cepet bebas, dan balik lagi sama aku. Tapi sekarang, begitu tau kondisinya kayak gini, aku malah takut ketemu sama dia. Mungkin dia emang udah bener-bener tau masa laluku kayak apa, kalau dia ternyata bener berhubungan dengan Titus.” Viona masih sedikit terisak saat bicara.

“Karena itulah beberapa temenku berjaga di sekitaran sini Vi, buat ngantisipasi kalau dia bener-bener balik kesini. Aku juga bakal sering-sering jagain kamu kok. Dan mulai senin besok, setiap kamu pulang pergi kantor, aku bakal kawal,” ucap Andi.

“Hah? Kawal gimana? Masak mau nganterin sama jemput juga?”

“Kamu maunya gitu?”

“Jangan Ndi. Gimanapun statusku masih istri Aldo. Apa kata tetangga nanti kalau tiap hari kamu antar jemput aku?”

“Ya udah. Nggak perlu pake antar jemput, tapi yang jelas aku bakal terus kawal kamu, jadi kamu tenang aja.”

Viona tersenyum pada Andi, “Makasih ya Ndi.”

Andipun balas tersenyum. Dia masih mendekap tubuh Viona, dan sepertinya Viona masih tak ingin beranjak dari pelukan Andi. Dia merasakan ada kenyamanan disana. Kenyamanan yang lama tidak dia dapatkan. Terakhir dia merasa seperti ini adalah dengan Haris, saat Haris masih disini, saat Aldo baru saja masuk penjara. Tapi kali ini ada yang berbeda, dia merasakan sebuah kenyamanan yang lebih. Tidak ada lagi terlintas dalam benaknya sosok Andi yang dulu mengakali untuk mendapatkan tubuhnya, yang ada sekarang adalah Andi yang menjadi pelindung baginya.

Kembali mengingat Aldo, Viona benar-benar merasa ketakutan sekarang. Dalam benaknya, keinginan untuk berpisah dengan Aldo semakin kuat. Entah bagaimana caranya, itu dipikir nanti, tapi yang jelas, di matanya sudah tidak ada lagi jalan untuk bisa kembali bersatu dengan Aldo. Cepat atau lambat, dia juga akan membahas ini dengan orang tuanya, dan berharap mereka bisa memberi solusi terbaik. Tapi sekali lagi, dalam hatinya, kemarahan kepada Aldo yang ternyata berbohong begitu banyak hal kepadanya, dan juga semua permasalahan yang terjadi saat ini, membuatnya berkeinginan untuk berpisah dari suaminya itu.

 

+++
===
+++​

Waktu berjalan dengan cepat untuk Haris. Hubungannya dengan Anin benar-benar berjalan lancar. Kali ini, sudah beberapa kali Anin mau diajak keluar. Haris merasa sangat senang, hatinya berbunga-bunga tiap hari. Saat ini hubungan mereka memasuki tahap sudah sama-sama saling tahu perasaan masing-masing, dan Haris juga merasa sudah waktunya untuk memberi tahu Anin tentang masa lalunya, hanya tinggal menunggu momen yang tepat saja.

Kedua orang tua Anin juga sudah semakin dekat dengan Haris, bahkan mereka pernah menyinggung tentang hubungan Haris dan Anin, dan Haris sudah memberikan sinyal kalau dia ingin serius menjalani hubungan dengan Anin sampai ke jenjang selanjutnya, hanya tinggal menunggu Anin menyelesaikan S2nya saja. Dan respon dari kedua orang tua Anin tampaknya begitu baik.

Anin sendiri sudah sempat bertemu dengan orang tua Haris yang sempat datang untuk mengunjungi Haris dan Rani. Respon mereka sama saja, terlihat sangat senang dengan sosok Anin, dan mereka juga memberikan persetujuan terhadap pilihan Haris ini.

Haris juga baru saja membeli sebuah rumah di sebuah kawasan perumahan yang terletak di dekat ring road timur. Meskipun dibeli dengan kredit, tapi Haris sangat senang dengan rumah barunya itu. Rumah ini memiliki 2 kamar tidur, sebuah ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar mandi dan garasi. Dan yang membuat Haris lebih senang lagi, rumah ini punya halaman yang meskipun tidak terlalu luas tapi cukup untuk diisi dengan tanaman bunga kesukaan Anin.

Anin juga sudah pernah datang ke rumah itu, termasuk saat membantu Haris dan Rani pindahan. Dia juga merasa cukup senang dengan rumah Haris ini, yang kelak akan menjadi tempat tinggalnya juga, terasa nyaman. Dan saat ini, Anin sedang berada di rumah itu bersama Haris. Rani sedang pergi karena tadi bilang mau ada acara dengan teman-temannya.

“Mas, kamu bilang tadi ada yang mau diomongin, soal apa sih mas?”

“Hmm, soal hubungan kita Nin.”

“Hubungan kita? Maksudnya?”

“Gini, kita kan kita juga udah sangat dekat sekarang. Orang tua kita juga udah sama-sama setuju sama hubungan kita ini. Dan kita udah sama-sama dewasa, kita udah tau hubungan ini mau dibawa kemana.”

“Iya, itu udah pernah kita bahas, dan kita udah sepakat kalau bakal nunggu aku lulus dulu kan? Terus, ada apa lagi mas?”

“Sebelum kita nanti nikah, aku pengen kasih tau sesuatu dulu ke kamu.”

“Tentang?”

“Tentang masa laluku.”

“Masa lalu kamu?”

“Iya.”

“Kenapa sama masa lalumu mas?”

Haris menarik nafas panjang. Sebenarnya dia sudah mempersiapkan kata-kata yang akan disampaikan ke Anin hari ini, tapi saat ini dia malah merasa gugup, bingung. Ada sebuah keraguan yang besar untuk mengatakannya. Ada rasa takut kalau Anin tidak bisa menerimanya, dan bahkan membatalkan rencana-rencana indah mereka. Tapi yang Haris tahu, dia harus bilang hal ini. Dia sudah terlanjur memulainya, dan tak bisa menarik lagi kata-katanya, dia harus mengatakannya.

“Yang kamu tau adalah aku yang sekarang. Tapi aku yang dulu, itu agak berbeda sama yang sekarang.”

Haris diam sebentar, menunggu reaksi dari Anin, yang malah terlihat bingung.

“Aku tau, ini pertama kalinya kamu deket dan menjalin hubungan sama cowok, tapi aku enggak Nin. Dulu, aku beberapa kali berhubungan sama cewek.”

“Ooh, jadi ceritanya mau pamer jumlah mantan ini mas? Hehe. Ya bagus dong kalau gitu.”

“Loh, bukan. Bukannya mau pamer. Lagian dimana bagusnya?”

“Ya baguslah, artinya kan kamu masih normal mas, pacaran sama cewek. Kalau dulunya kamu pacaran sama cowok, ya aku malah nggak bakal mau sama kamu, haha.”

“Haha, sialan. Ya enggaklah, jelas aku ini masih normal.”

“Haha, bercanda mas. Terus, kalau bukan mau pamer mantan, apa dong yang mau dibahas?”

“Hmm, jadi gini. Aku dulu, bukan orang yang baik Nin. Ya sekarang belum bisa dibilang baik juga sih, tapi aku yang dulu lebih parah lagi. Selama aku pacaran dulu, aku dan mantan-mantanku, hmm, udah ngelakuin hal-hal yang udah kelewat batas.”

Kembali Haris terdiam untuk melihat reaksi Anin, yang kali ini terlihat kaget dengan kata-katanya. Tapi Anin masih diam saja, dia ingin Haris melanjutkan ceritanya.

“Kamu udah dewasa, jadi aku yakin kamu ngerti pembicaraanku arahnya kemana.”

“Maksud kamu, kamu udah pernah ngelakuin hal-hal yang belum seharusnya kamu lakuin sama mantan-mantanmu itu?”

“Iya Nin.”

“Semua mantanmu?”

“Iya.”

“Seberapa sering?”

“Hmm, cukup sering.”

“Ooh..”

Anin kembali terdiam, dan kali ini membuang pandangannya ke arah lain. Haris bingung, apa yang harus dia lakukan. Dari reaksi Anin, dia tahu kalau gadis itu kaget dan kecewa dengan pengakuannya. Dan mungkin juga, tidak bisa menerimanya.

“Mungkin kamu kecewa sama pengakuanku ini Nin, dan mungkin juga nggak terima. Aku ngasih tau hal ini sekarang, secara langsung, juga ada tujuannya.”

“Buat apa?”

“Biar kamu bener-bener tau aku itu seperti apa dulunya. Dan aku pengen kamu denger langsung dari aku, bukan orang lain. Jadi apapun yang aku katakan ini bener-bener jujur, apa adanya, nggak ada yang aku sembunyiin. Dan kenapa sekarang, karena kalaupun kamu kecewa, atau bahkan nggak bisa menerimanya, itu sekarang, bukan nanti setelah kita nikah.”

“Aku bisa aja nyembunyiin semua ini dari kamu, tapi mungkin nanti kamu bakal tau juga, dan mungkin dari orang lain. Aku bisa aja ngasih tau setelah kita nikah, dan kalau kamu nggak bisa terima dan pengen pisah, yang penting aku udah dapetin kamu. Tapi aku nggak mau kayak gitu. Aku mau, kalau kamu nerima aku, kamu nerima aku apa adanya, dengan semua kekuranganku, dengan semua masa laluku,” lanjut Haris.

Anin masih terdiam, dan belum mau menatap Haris lagi.

“Kalau kamu nggak bisa terima, dan mau pergi, aku siap Nin. Aku tau kamu gadis yang baik, dan kamu layak dapat pria yang baik juga. Bukan aku nggak mau memperjuangkan kamu, tapi pengakuan ini adalah salah satu caraku untuk memperjuangkan kamu, karena aku sudah berjanji sama diriku sendiri, kalau aku mau berubah.”

Anin terlihat memejamkan matanya dan menunduk. Haris masih terus menatap gadis itu. Dia tak ingin terlalu banyak mengumbar janji untuk merayu, dia hanya ingin Anin benar-benar tahu tentang dirinya. Kalaupun tidak bisa menerima, maka dia bisa pergi untuk mencari pria terbaik untuknya. Kalaupun bisa menerima, berarti Anin bisa menerimanya apa adanya, dengan semua kekurangannya.

“Cuma dengan mantan-mantanmu aja?”

“Enggak Nin.”

“Dengan berapa cewek kamu udah kayak gitu?”

Haris agak terkejut dengan pertanyaan Anin ini, tapi dia harus menjawabnya. Dia sudah terlanjur mengakuinya, tak ada gunanya menutup-nutupi lagi.

“Hmm, banyak Nin.”

“Berapa?” tanya Anin, dengan nada yang sedikit meninggi, dan masih tanpa melihat Haris.

“Entahlah, mungkin…” Haris terdiam sejenak, menunduk. “Lebih dari 10,” lanjut Haris, dengan suara yang lirih, tapi cukup untuk didengar oleh Anin.

Anin menggelengkan kepalanya, lalu memalingkan pandangannya lagi. Nafasnya juga sedikit berubah, seperti menahan isak tangis.

“Maaf, tapi aku harus jujur sama kamu. Aku tau kamu pasti kaget, marah dan kecewa. Aku sendiri juga sebenarnya malu ceritain semua ini. Tapi karena aku bener-bener pengen menjalani hidup berdua sama kamu, aku harus ceritain semua, biar kamu tau seperti apa aku yang dulu. Yang jelas, aku udah punya niat buat berubah, ninggalin itu semua. Tapi apapun jawaban kamu, aku siap mendengarnya. Apapun.”

“Boleh nggak kalau aku nggak jawab sekarang? Boleh nggak kalau aku mau mikirin ini dulu?”

“Boleh Nin, silahkan. Dan memang sebaiknya kamu pikirin ini. Kalaupun ada yang pengen kamu tanyain lagi, aku siap buat jawab, apapun pertanyaanmu, kapanpun kamu mau tanya.”

“Ya udah, aku pulang dulu. Dan, jangan hubungi aku dulu sebelum aku hubungi kamu ya mas?”

“Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ganggu kamu dulu. Kalau kamu udah bener-bener ada jawaban, langsung bilang ya.”

Anin mengangguk, lalu tanpa mengucap salam langsung beranjak ke luar rumah. Haris mengikutinya, mengantarnya, terus melihatnya sampai mobilnya pergi menghilang dari pandangannya. Haris merasa lega, tapi lebih pada perasaan takut. Takut kalau Anin tidak bisa menerima semua pengakuannya, dan memilih untuk pergi darinya. Dan kini dia hanya bisa berdoa, semoga diberikan jalan terbaik untuk hubungan mereka, dan dia berharap, Anin akan kembali menemuinya, dengan senyum tanda mau menerima segala kekurangannya.

 

+++
===
+++​

Sudah beberapa hari ini Anin tidak menghubungi Haris. Harispun juga tidak menghubunginya, tapi dia masih tahu kabar Haris dari Rani. Rani sendiri tak tahu pasti apa yang terjadi dengan kakak dan calon kakak iparnya itu, tapi dia paham kalau Haris tak boleh tahu dia terus berbalas pesan dengan Anin.

“Hei, anak ibu kenapa ini kok murung terus beberapa hari ini? Ada masalah?” Anin yang sedang melamun dikagetkan oleh ibunya.

“Nggak kok bu, nggak ada apa-apa,” jawab Anin sambil tersenyum.

“Halah, kamu itu anak ibu, ibu tau kalau ada apa-apa. Sini cerita sama ibu, ada masalah apa? Sama Haris ya?”

Anin mengangguk. Selama ini, dia memang selalu menceritakan semua kepada ibunya. Baginya, tidak ada tempat curhat yang lebih baik dari ibunya sendiri.

“Emangnya kenapa? Kalian lagi berantem?”

“Enggak sih bu.”

“Lha terus?”

“Hmm, gini bu. Beberapa hari yang lalu, waktu aku diminta datang ke rumah mas Haris, ada sesuatu yang dia omongin ke aku.”

“Soal apa?”

“Soal masa lalunya bu.”

“Masa lalunya? Ada apa sama masa lalunya?”

Anin kemudian dengan gamblang menceritakan pembicaraannya dengan Haris beberapa hari yang lalu. Ibunya mendengarkan dengan baik-baik, tanpa menyelanya sekalipun. Dia ingin anaknya menuntaskan ceritanya, baru memberikan tanggapan.

“Jadi, gimana menurut ibu?” tanya Anin setelah selesai bercerita, dan ibunya hanya tersenyum.

“Gini nak, yang namanya manusia, semua punya masa lalu, sebaik apapun, atau sebaliknya, seburuk apapun. Dan yang paling penting dari semua itu adalah, bagaimana dia mengambil sikap terhadap masa lalunya itu, apakah akan terus menjalaninya, membiarkannya saja, atau menghentikannya dan berubah menjadi orang yang lebih baik lagi.”

“Soal dosa, semua orang pernah berbuat dosa, besar atau kecil. Soal salah, semua orang pernah berbuat salah. Dan bagaimana orang itu menyikapi semua dosa dan kesalahannya, adalah hal yang harus dilihat untuk saat ini.”

“Jadi menurut ibu, masa lalu itu nggak penting?”

“Bukan nggak penting. Bagaimanapun masa lalu tetap menjadi bagian dari hidup kita sebagai manusia. Tapi ya yang namanya masa lalu, itu udah berlalu. Sebaik atau seburuk apapun masa lalu, udah nggak bisa dirubah, ya kayak gitu. Yang bisa dirubah adalah masa sekarang, dan masa depan.”

“Semua orang punya pilihan untuk menyikapi masa lalunya, dan dia berhak untuk memilih mau seperti apa, itulah poin yang paling penting.”

“Tapi dengan masa lalu yang buruk, apa nggak bakal berpengaruh di masa sekarang dan masa depan bu? Maksud Anin, apa nggak bakal kebawa nantinya?”

“Ya balik lagi ke orangnya Nin. Masih mau seperti yang di masa lalu, atau pengen berubah. Kamu mungkin pernah denger kan, kisah orang-orang yang dulunya punya masa lalu yang buruk, tapi kemudian bisa berubah jadi orang baik-baik. Atau sebaliknya, punya masa lalu yang sangat baik, tapi tiba-tiba berubah jadi orang yang nggak bener.”

“Hmm, iya sih bu.”

“Nah ya itu, semua orang berhak buat berubah, termasuk Haris.”

“Jadi menurut ibu, Anin harus terima semua masa lalu mas Haris?”

“Nggak gitu, bukan sebuah keharusan. Semua kembali ke kamu nak, mau terima atau nggak, toh kamu yang akan menjalaninya. Tanya sama hati kamu. Kalau masih bimbang, tanya sama Yang Di Atas. Pikirkan baik-baik. Kamu yang lebih kenal sama Haris daripada ibu, jadi kamu yang lebih tau, seperti apa nantinya Haris akan bersikap.”

Anin terdiam sebentar mendengarkan ucapan ibunya.

“Kamu udah cukup dewasa untuk membuat sebuah keputusan nak, karena itulah ayah sama ibu udah nggak pernah memaksakan suatu hal ke kamu, termasuk jodohmu. Kami hanya bisa ngasih masukan, tapi semua kamu yang memutuskan.”

Anin mengangguk.

“Pikirkan lagi dengan hati dan pikiran yang jernih. Minta petunjuk sama Yang Kuasa. Ibu yakin, kamu akan bisa menentukan pilihan dengan tepat. Dan apapun keputusan kamu, ayah sama ibu akan selalu mendukungnya.”

“Dan satu lagi. Apa yang udah dilakuin Haris dengan mengakui seperti apa masa lalunya, bukanlah hal yang mudah. Nggak semua orang bisa seperti itu. Hanya kepada orang yang benar-benar dipercaya, atau karena benar-benar punya niat baik untuk berubah, yang bisa melakukan hal seperti itu.”

Sang ibu mengakhiri nasehatnya dengan sebuah senyuman yang hangat, yang tak pernah gagal membuat Anin tersenyum dan merasa lega. Sejak dulu seperti itu, meskipun tak pernah memberi keputusan harus ini atau harus itu, tapi ibunya selalu bisa membangkitkan kepercayaan dirinya untuk menentukan pilihan baginya sendiri. Dan kali ini, dia akan kembali mengikuti kata-kata ibunya itu. Dia akan memikirkannya baik-baik, dengan hati dan pikiran yang tenang dan jernih.

Tak dipungkiri, apa yang sudah dikatakan oleh Haris telah membuatnya benar-benar kecewa. Dia tidak masalah jika Haris dulunya punya banyak mantan, tapi sama sekali tak terlintas dibenaknya Haris sampai melakukan sejauh itu. Kalau dengan satu atau dua orang saja, mungkin dia tidak akan sekecewa ini, tapi Haris melakukan itu dengan semua mantannya, dan bahkan wanita yang bukan mantan pacarnya.

Bagi Anin yang tidak pernah mengenal gaya hidup dan gaya berpacaran seperti itu, pengakuan Haris adalah sesuatu yang terlalu mengejutkan. Apalagi itu semua jelas sangat berseberangan dengan prinsipnya selama ini.

Anin menarik nafas panjang. Dia memang harus memikirkan semua ini dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih. Dia tidak ingin salah membuat keputusan, karena ini menyangkut masa depannya. Karena dia hanya ingin melakukannya sekali seumur hidup, jadi harus memilih pendamping yang benar-benar tepat untuknya.

Bersambung

Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dokter Cantik
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
pacar kakak bugil
Mas Andi, Pacar Kakak Ku Tersayang
kenalan baru
Awalnya dari media sosial akhir nya menginap di hotel
Foto tante telanjang colok memek putih bersih
Adik keponakan ku yang centil dan sexy
500 foto chika bandung telanjang bulat cantik pakai baju merah
Foto bugil ayam kampus cewek kuliahan tubuh sexy
Perselingkuhan Yang Hingga Kini Masih Berlanjut
500 foto chika bandung bugil di luar kamar hotel jembut lebat
cewek cantik gak pake bh
Nikmatya Memperkosa Anak Kost Yang Cantik
Foto Bugil Gadis Abg Spa Setelah Ngentot
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
Cerita Dewasa ABG Sekolah Ingin Merasakan Enak-Enak
Cerita Dewasa Berawal Dari Nonton Video Panas
gadis perawan di perkosa
Memperkosa Gadis Perawan Sampai Berak