Part #24 : Plan and Plan

“Mas, apa nggak sebaiknya mobil mas Haris yang di Solo kita bawa kesini aja?”

“Lha emang kenapa Ran?”

“Yaa kan kasihan kalau kayak gini terus. Masak mbak Anin yang jemput kita, yang ada kan kita yang jemput dia.”

“Iya juga sih ya, padahal yang mau punya acara kita ya, malah dia yang jemput.”

“Nah makanya itu mas, mending mobilnya dibawa kesini aja. Kalau kerja tetep bawa motor nggak papa, kalau mau keluar sama mbak Anin, ya masak dia duluan yang kesini?”

“Hehe, iya deh Ran, besok aku pulang ambil mobil kalau gitu.”

Haris dan Rani sedang berada di teras rumah mereka, menunggu kedatangan Anin. Malam ini seperti yang sudah dijanjikan Haris sebelumnya, dia dan Anin akan menemui orang yang ingin dikenalkan Rani kepadanya. Apa yang dibahas oleh Rani tadi jadi pikiran Haris sekarang. Memang benar, beberapa kali keluar, entah itu hanya berdua atau bertiga dengan Rani, selalu Anin yang menjemput kesini karena Haris belum ada mobil.

Sebenarnya dia punya mobil, tapi ditinggal di rumah orang tuanya, karena merasa belum perlu untuk dibawa kesini. Lagipula di kantornya, selain pak Eko dan beberapa kepala divisi, yang lain mengendarai motor semua. Tapi usul Rani tadi ada benarnya juga. Ke kantor masih bisa bawa motor, tapi untuk acara-acara seperti ini, seharusnya dialah yang menjemput Anin, bukan sebaliknya. Karena itulah dia memutuskan besok akan pulang mengambil mobilnya, tanpa memberi tahu Anin terlebih dahulu. Biar besok saja dia memberi tahu Anin.

Tak lama kemudian Anin sampai di depan rumah mereka. Tanpa menunggu lebih lama Haris dan Rani menghampiri mobil itu. Haris mengambil alih kemudi, Anin duduk di sampingnya dan Rani di belakang. Mereka akan menuju ke sebuah rumah makan di kawasan atas, tempat mereka janjian dengan Gavin.

“Ran, kita jemput temenmu dulu apa langsung kesana?”

“Langsung aja mas, dia udah berangkat kok.”

“Oh ya udah kalau gitu.”

Dalam perjalanan mereka sedikit bersenda gurau. Cuaca dari sore tadi mendung, tapi suasana jalan masih cukup ramai, maklum saja karena ini adalah malam minggu. Karena itulah untuk menghindari kemacetan di kawasan kota, mereka memilih untuk lewat ring road saja, yang hanya macet di beberapa titik lampu merah.

Sekitar setengah jam kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dimaksud. Dan disini juga sudah cukup ramai, bahkan mereka sempat kesulitan mencari tempat parkir sebelum akhirnya dibantu oleh seorang petugas parkir. Tapi untungnya Gavin sudah memesan tempat untuk mereka berempat, dan dia juga sudah datang, jadi tak perlu takut kehabisan tempat.

“Ayo mas, dia udah nungguin di dalem.”

“Udah pesen tempat ya? Rame banget ini.”

“Udah kok, kalau nggak gitu ya susah dapet tempat. Disini kan penuh terus kalau malem minggu.”

“Bagus deh. Ayo kalau gitu.”

Rani berjalan duluan, Haris dan Anin mengikutinya. Disini tempatnya cukup bagus dengan arsitektur klasik. Udara yang sejuk juga menambah kesan menyenangkan di tempat ini, ditambah sajian dari live band yang sedang memainkan musik jazz. Mereka menuju ke sebuah meja, dimana seorang pemuda seusia Haris sudah menunggu disana.

“Hai Vin, udah lama?”

“Belum kok Ran. Ayo mas, mbak, silahkan duduk. Oh iya, saya Gavin.”

“Haris.”

“Anin.”

“Ayo ayo, silahkan duduk.”

Haris dan Anin duduk berdampingan, begitu juga dengan Rani dan Gavin di depan mereka. Haris menangkap kesan yang baik dari perkenalan awalnya dengan Gavin. Anaknya terlihat sopan, dandanannya juga rapi. Jabat tangannya tadi terasa mantap, tegas dan hangat. ‘Sepertinya dia orang yang baik,’ batin Haris.

“Kita mau langsung pesan atau gimana nih mas?”

“Langsung pesan aja nggak papa Vin, udah laper juga ini, hehe.”

Gavin kemudian memanggil seorang pelayan. Mereka memesan menu pilihan mereka masing-masing. Setelah mencatat, pelayan itupun pergi lagi. Mereka mengisi waktu dengan obrolan hangat yang bersifat umum, layaknya orang berkenalan saat baru pertama kali bertemu.

“Oh iya Vin, kata Rani kamu udah kerja ya?”

“Iya mas, aku kerja di PT Garputala cabang Jogja.”

“Hmm, itu bergerak di bidang apa ya?”

“Haha nggak pernah denger ya mas? Di bidang produksi alat musik mas. Tapi yang disini buat pemasaran aja, kalau produksinya sih di Tangerang. Emang termasuk perusahaan baru sih, jadi kalau nggak terjun di dunia musik kebanyakan nggak tau.”

“Oh gitu. Udah lama kerja disana?”

“Belum mas, baru setahunan ini lah. Ya kebetulan pas abis lulus kuliah langsung kerja disana. Sebenarnya, agak sedikit KKN sih, hehe.”

“Loh KKN gimana?”

“Iya, kebetulan yang punya perusahaan itu temen baiknya orang tuaku mas, jadi ya abis lulus aku langsung ditarik kesana, karena kebetulan aku juga suka musik. Pas minta ditempatin disini aja, langsung dikasih, hehe.”

“Oalah, ya enak kalau gitu, haha.”

“Yaa begitulah mas. Kalau mas Haris di PT Dwiputra ya mas?”

“Iya Vin. Belum lama juga kok, baru juga lulus training. Aku cukup lama nganggur soalnya sebelum kerja.”

“Ah nggak masalah mas, yang penting kan udah diangkat jadi pegawai tetap, udah terjamin itu. Setauku kan PT Dwiputra itu termasuk perusahaan yang besar. Dulu aku juga pengen masuk kesana sebenarnya, tapi udah keburu ditarik, ya udah, daripada susah-susah, hehe.”

“Haha, iya sih. Kemarin tes masuknya juga susah banget. Kebetulan aja aku bisa diterima. Temenku yang pengen banget kesana, malah gagal.”

“Ya namanya nasib orang mas, siapa yang tau, haha.”

Setelah obrolan singkat inipun pandangan Haris kepada Gavin juga semakin baik. Enak diajak ngobrol, dan sepertinya punya wawasan yang luas. Sepertinya adiknya tak salah pilih, dan sepertinya Haris akan dengan mudah memberikan restunya.

Tak lama kemudian obrolan mereka terhenti sejenak saat makanan yang mereka pesan sudah datang. Mereka kemudian menyantap makan malam itu, sambil sedikit-sedikit ngobrol. Obrolan saat itu lebih banyak didominasi oleh Haris dan Gavin, yang sepertinya Haris ingin mengorek banyak hal tentang Gavin, dan Gavin terlihat begitu terbuka kepada Haris. Setelah selesai makanpun, mereka masih melanjutkan obrolan.

“Eh ini nggak papa kita lama-lamaan disini?”

“Nggak papa mas, santai aja. Meja ini udah kupesan kok, jadi nggak akan ada yang nungguin.”

“Hmm, ya bagus deh, bisa santai, nggak keburu-buru, hehe.”

“Iya mas, santai aja. Oh iya, denger-denger, mas Haris sama mbak Anin udah mau nikah ya?”

“Siapa yang bilang?”

“Tuh,” jawab Gavin sambil menunjuk Rani yang tersenyum garing.

“Haha, belum dalam waktu dekat ini kok Vin, masih nunggu Anin lulus S2nya.”

“Oh, mbak Anin lanjut S2 ya? Dimana mbak?”

“Di kampus biru Vin, di jurusan yang sama dengan S1ku. Sekampus kok sama Rani, emang Rani nggak pernah cerita ya?”

Rani dan Gavin kompak menggeleng. “Oh gitu. Berarti mau lanjut jadi dosen ya mbak?”

“Iya, doain aja. Ini juga udah jadi asdos, tinggal nunggu lulus S2 aja baru diangkat jadi dosen.”

“Wah hebat ya. Jadi dosen di kampus biru kan bukan main-main mbak.”

“Yaa begitulah, hehe.”

“Dia mau nerusin seperti ibunya soalnya Vin,” sahut Haris.

“Oh ibunya mbak Anin dosen? Disitu juga?”

“Iya. Di fakultas yang sama, cuma beda jurusan aja. Ibuku ngajar Rani juga kok.”

“Iya Ran?”

“Iya mas, hehe.”

“Wah pantesan ya, ada darah mengajar dari orang tuanya, haha. Ayahnya dosen juga mbak?”

“Bukan, ayahku polisi.”

“Wuih, enak dong? Kalau ada apa-apa bisa minta bantuan nih, haha.”

“Lha emangnya mau ada apaan coba?”

“Yaa siapa tau kan kapan-kapan kena tilang gitu mbak, daripada repot kan minta tolong sama ayahnya mbak Anin, haha.”

“Haha janganlah. Entar kalau ayahku yang bantu apa kata anak buahnya?”

“Ooh, berarti posisinya udah tinggi dong mbak?”

“Ya lumayan, kan kapolsek.”

“Nah, malah kapolsek kan, makin gampang dong mbak kalau buat bantuin? Haha.”

“Haha, yaa terserah aja deh. Tapi kalau bisa jangan sampai kenapa-napa ya.”

“Siap mbak.”

Obrolan mereka malam itu berjalan dengan hangat. Gavin tampaknya mudah bergaul dan cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya, yaitu Haris dan Anin. Haris merasa, mungkin saja Gavin bersikap seperti itu karena ingin mengambil hatinya, agar mendapatkan restu untuk memacari Rani. Tapi sejauh ini, Haris bisa melihat kalau sikap Gavin ini terkesan jujur, ada adanya, bukan dibuat-buat.

Acara makan malampun selesai malam itu. Mereka kembali berpisah. Gavin pulang sendiri dengan mobilnya, sedangkan Rani ikut Haris dan Anin. Di dalam perjalanan pulang Haris sedikit membahas soal Gavin dengan Anin dan Rani. Dia merasa kalau Gavin ini orangnya cukup baik. Aninpun setuju dengan pendapat Haris, karena diam-diam dia juga mengamati dan menilai Gavin. Dia melakukan itu karena sebelumnya Haris bilang tentang alasan pertemuan dan makan malam hari ini. Dan dia juga setuju saat Haris bilang kepada Rani kalau dia setuju-setuju saja dia berpacaran dengan Gavin.

Mendengar itu tentu saja Rani girang, karena memang dia hanya tinggal menunggu restu dari kakaknya. Kali ini dia malah mendapat restu juga dari Anin. Rani merasa kalau dengan adanya Haris dan Anin sudah cukup untuk mewakili kedua orang tuanya. Apalagi selama ini, pendapat Haris selalu didengar oleh ayah ibunya. Jadi kalau Haris sudah memberikan restunya, maka kemungkinan kedua orang tuanyapun juga akan memberi restu.

 

+++
===
+++​

“Kamu beneran nggak ikut Ran?”

“Nggak mas, aku di rumah aja deh. Salam aja ya buat bapak ibu.”

“Ya udah kalau gitu, kamu hati-hati ya di rumah. Kalau mau keluar jangan lupa kunciin semua pintu.”

“Iya. Mas Haris juga hati-hati.”

Rani sedang mengantarkan Haris ke pool bus antar kota. Pagi ini dia akan pulang untuk mengambil mobilnya. Semalam dia sudah mengabari kedua orang tuanya. Dan karena rumahnya berada di jalur yang dilewati oleh bus, maka kedua orang tuanya tak perlu repot-repot menjemputnya. Haris tadi juga sudah pamit pada Anin, dan bilang kalau hanya untuk mengambil mobil dan sore ini sudah kembali lagi.

Setelah Haris naik bus, Ranipun pergi meninggalkan tempat itu. Tapi tujuannya bukan kembali ke rumah, melainkan menuju ke rumah Gavin. Dia sudah mengabari Gavin tadi, dan bilang akan kesana. Kebetulan Gavin juga tidak ada acara, dan sedang menunggunya di rumahya. Sesampainya di rumah Gavin, Rani memarkirkan motornya di garasi. Gavin terlihat menunggunya di teras, sambil bermain dengan handphonenya.

“Mas Haris udah berangkat Ran?”

“Udah mas. Dia berangkat aku langsung kesini.”

“Ya udah yuk masuk, di dalem aja.”

“Iya mas.”

Sampai di dalam mereka langsung masuk ke ruang tengah, tidak seperti sebelumnya yang selalu di ruang tamu. Rani tak keberatan saat Gavin mengajaknya, karena toh sudah beberapa kali kesini. Seperti biasa, Gavin menyuguhkan minuman kepada Rani, yang saat ini minuman itu menjadi minuman kesukaan Rani. Dia tidak tahu saja, meskipun sirup ini memang benar seperti yang dibilang Gavin, tapi dia juga memberi sedikit campuran obat-obatan tertentu, yang membuat Rani ketagihan dengan minuman itu.

Mereka ngobrol sambil menonton TV. Sebenarnya mereka tak terlalu memperhatikan acara di TV itu, hanya untuk menemani obrolan mereka saja. Sampai tak terasa hampir satu jam Rani berada disana, dan dia sudah menghabiskan 2 gelas minuman kesukaannya itu. Selama itu pula, Gavin tak menyinggung soal pernyataan cintanya kemarin. Dia terlihat tidak terlalu memaksakan, itulah yang membuat Rani semakin yakin dengan jawabannya.

“Hmm, mas Gavin..”

“Iya, kenapa Ran?”

“Soal yang kemarin mas.”

“Yang kemarin? Apaan?”

“Itu, soal yang belum aku jawab itu.”

“Ooh, soal jawaban kamu? Jadi gimana? Mas Haris udah kasih lampu hijau? Kalau belum ya jangan dipaksain Ran. Aku bakal sabar kok. Nggak mungkin juga kan baru sekali ketemu masmu langsung kasih restu. Paling nggak kan harus ada beberapa kali pertemuan lagi.”

“Enggak mas, nggak perlu kok.”

“Loh, jadi?”

“Yaa, mas Haris udah kasih restu. Dia sama mbak Anin malah, udah setuju sama kamu.”

“Jadi?”

“Jadi, yaa, aku mau mas.”

“Serius Ran?”

Rani hanya mengangguk. Tapi tiba-tiba dia dikagetkan dengan tingkah Gavin yang meloncat kegirangan seperti baru saja menang undian satu juta dollar. Rani cekikikan melihat reaksi Gavin itu, dia tak menyangka lelaki itu bakal sampai lompat seperti itu. Dia merasa senang melihat reaksi Gavin, itu artinya dia memang sangat mengharapkannya, meskipun tak terlalu ditunjukkan di depannya.

“Makasih ya Rani sayang..”

“Eh mas…”

Kembali Rani terkejut karena tiba-tiba Gavin menghambur ke arahnya dan memeluknya. Bahkan Gavin langsung mengecup kening Rani, cukup lama untuk membuat Rani terbengong. Pertama kalinya ada lelaki selain keluarganya yang melakukan itu padanya.

“Ran, kok bengong?” tanya Gavin yang sudah melepaskan pelukannya dari Rani, dan kini duduk di sampingnya.

“Hmm, itu mas, yang tadi itu…” Rani tak melanjutkan ucapannya, tapi sepertinya Gavin menyadarinya.

“Eh maaf, aku terlalu berlebihan ya? Maaf banget Ran, bukan maksudku seperti itu, aku hanya terlalu bahagia aja.”

Rani kemudian tersenyum. “Iya mas, nggak papa. Aku tau kok. Tapi, itu tadi, yang pertama buatku lho.”

“Duh maaf banget ya Ran, kalau yang pertama buatmu momennya malah kayak gini.”

“Iya mas, nggak papa.”

Wajah Rani bersemu merah, terlihat semakin menggemaskan bagi Gavin, tapi dia tahu harus menahan dirinya, karena harus pelan-pelan mengambil hati Rani. Yang penting sekarang, rencananya sudah selangkah lebih maju.

Untuk beberapa saat mereka terdiam, karena Rani tampak canggung sekali. Gavinpun berpura-pura canggung, padahal dalam hati dia menertawakan kepolosan seorang Rani. Akhirnya Gavin melangkah ke belakang karena dilihatnya gelas minuman Rani sudah habis. Dia mengambilnya dan ingin mengisinya lagi.

“Nih Ran, diminum lagi. Stok terakhir ini, hehe.”

“Waduh, terakhir mas? Duh jadi nggak enak, jangan-jangan cepet habis gara-gara aku ya?”

“Haha ya nggak papa kan? Malah bagus bisa cepet abis, daripada nggak abis-abis, yang ada malah aku buang. Lagian, kayaknya minggu depan bakal dapet lagi kok, aku udah pesen juga sama temenku, suruh bawain yang agak banyakan, hehe.”

“Wah mas, kok jadi ngerepotin gini sih?”

“Halah, ngerepotin apaan sih? Yang penting kamu seneng, aku juga ikut seneng kok.”

“Hehe, makasih ya mas.”

Kembali raut wajah Rani merona. Dia tersanjung dengan kata-kata Gavin barusan, dan juga sikapnya.

“Oh iya, kita ini kan udah resmi pacaran? Masak manggilnya masih biasa aja?”

“Lha terus? Emang harusnya gimana mas? Aku kan belum pernah, pacaran.”

“Hmm, gimana ya? Ya udah senyamannya kita aja gimana? Aku panggil kamu sayang deh, terserah kamu mau manggil aku gimana?”

“Hmm, aku jadi bingung.”

“Udah nggak usah bingung gitu. Yang penting kita jalani aja dulu, entar juga ketemu sendiri mana panggilan yang nyaman, iya nggak?”

“Iya deh mas, aku ngikut aja. Oh iya mas, hmm ada yang mau aku omongin lagi.”

“Soal apa sayang?”

Dada Rani sedikit berdesir mendengar Gavin memanggilnya dengan sebutan sayang. Dia belum terbiasa, tapi seperti harus membiasakannya mulai hari ini.

“Hmm, soal hubungan kita.”

“Loh, kita kan baru aja jadian. Emang kenapa dengan hubungan kita?”

“Gini mas, ini kan baru pertama kalinya aku pacaran, tapi aku udah banyak denger dari temen-temenku, apa aja yang mereka lakuin selama pacaran. Aku, hmm, aku nggak mau terlalu jauh mas.”

“Oalah, masalah itu tho? Haha.”

“Lho kok malah ketawa sih mas, aku serius nih.”

“Eh maaf maaf, bukan gitu. Gini ya Rani sayang, aku macarin kamu bukan untuk kayak gitu. Kita udah sama-sama dewasa, dan aku nggak mau pacaran ini cuma buat main-main. Mulai dari sekarang, aku mau serius sama kamu, jadi kamu jangan takut aku bakal macem-macem, aku bakal jagain kamu, sampai nanti kamu resmi jadi milikku seutuhnya.”

Rani begitu gembira mendengar kata-kata Gavin tadi. Dia masih terlalu polos di usianya yang sekarang, apalagi dia memang belum pernah pacaran. Dia belum memiliki banyak pengalaman bergaul dengan laki-laki, sehingga apa yang diucapkan oleh Gavin, semuanya dia percayai begitu saja.

“Bener ya mas?”

“Iya sayang, aku janji. Kalau emang aku punya niat yang nggak baik sama kamu, udah dari pertama kamu main kesini, mungkin aku udah berbuat macam-macam. Kalau aku punya niat jelek sama kamu, buat apa juga aku harus nunggu restu dari mas Haris, iya kan?”

Rani kembali mengangguk. Lagi-lagi dia percaya dengan kata-kata yang diucapkan oleh Gavin.

“Kamu percaya sama aku kan yank?”

“Iya, masku sayang,” saat menjawab seperti itu, wajah Rani benar-benar sudah memerah.

Gavinpun tersenyum mendengarnya. Rani terdengar masih kagok mengucapkannya, tapi dia bisa maklum karena ini baru pertama kalinya Rani seperti itu. Tapi tetap saja, dalam hatinya dia menertawakan kepolosan Rani. Diapun kemudian merentangkan kedua tangannya, pertanda ingin memeluk Rani lagi.

“Boleh?”

Rani tak menjawab, hanya mengangguk saja, karena dia sudah begitu percaya kepada Gavin. Dia bahkan mendekat, lalu membiarkan tubuhnya dipeluk oleh pacar barunya itu. Gavin memeluknya erat, membuat Rani merasa sangat nyaman. Kenyamanan yang beda, yang baru kali ini dia rasakan. Bahkan ketika Gavin dengan hangat mencium kepalanya, Rani memejamkan mata, meresapi pesan sayang yang disampaikan Gavin kepadanya.

Cukup lama mereka menghabiskan hari itu di ruang tengah rumah Gavin. Sambil menonton TV, mereka terus duduk sambil berpelukan. Berkali-kali Gavin mencium Rani, baik di kepala, di kening maupun sudah merambat ke pipi, tapi Rani membiarkannya saja, karena dia percaya Gavin tak akan berbuat lebih jauh daripada itu. Dia percaya Gavin akan memegang kata-katanya.

Setelah cukup siang, Ranipun pamit pulang. Tadinya Gavin menawari untuk makan siang dulu, tapi Rani menolak karena dia harus segera pulang untuk sedikit merapikan rumah, agar ketika Haris pulang dia tahunya Rani sejak tadi berada di rumah. Gavin memakluminya, dan membiarkan Rani pulang. Tapi saat baru sampai di depan pintu rumah, Gavin meraih tangan Rani, hingga tubuh Rani berbalik menghadapnya. Tiba-tiba saja Gavin memeluk Rani, dan Ranipun membalasnya.

Mereka saling tatap, awalnya sama-sama tersenyum. Lalu senyum itu sama-sama menghilang, menjadi tatapan yang begitu dalam dari Gavin. Rani seolah terhiptonis oleh tatapan Gavin yang begitu dalam di matanya, hingga tanpa disadarinya, bibirnya telah bersentuhan dengan bibir Gavin. Mereka berciuman. Dan ini menjadi ciuman pertama bagi Rani.

Rani sempat terdiam. Dia terlalu kaget dengan kondisi ini. Dia belum siap untuk berciuman, tapi ini sudah terjadi. Tidak ada penolakan darinya, tapi tidak juga sepenuhnya menerima, karena bibirnya masih terkatup erat. Gavin menarik wajahnya hingga ciuman mereka terlepas. Rani masih terdiam, tak bisa bicara apa-apa, sementara Gavin tersenyum menatapnya.

“Mas, ini…”

“Aku tahu, ini ciuman pertama buat kamu. Maaf aku udah mengambilnya, tapi aku bener-benar sayang sama kamu, aku cinta sama kamu Rani.”

“Aku…”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, bibir Gavin kembali mencium bibir Rani. Kali ini Rani sedikit membalas. Dia tak pernah tahu caranya berciuman, hanya pernah melihatnya saja di film. Dan baginya, ini rasanya aneh. Tapi dia terus membalasnya, hingga perlahan mereka saling melumat dengan lembut. Rani mulai menikmatinya, bahkan sampai menutup matanya. Ciuman itu bertahan hampir semenit lamanya, hingga Gavin yang berinisiatif untuk mengakhirinya.

“Udah ya sayang, kalau kelamaan bisa gawat nanti, hehe.”

Rani tak bisa menjawab, dia hanya tersenyum tersipu. Pengalaman ciuman pertama yang cukup indah baginya. Akhirnya Rani pamit dan kali ini benar-benar pulang. Dalam perjalanan dia tak henti-hentinya tersenyum mengingat ciuman pertamanya dengan Gavin tadi. Saat berciuman tadi, dia merasa getaran aneh yang merambat di sekujur tubuhnya. Dia tak tahu itu apa, karena memang baru pertama kali merasakannya. Tapi yang jelas, dia menyukainya, dan berkeinginan untuk mengulanginya lagi lain waktu, kalau bisa, secepatnya.

 

+++
===
+++​

Malam ini, Haris sedang berada di rumah Anin. Kali ini dia diterima di ruang tamu, tidak seperti biasanya yang selalu di teras. Malam ini juga tidak hanya Anin yang bersamanya, tapi juga dengan kedua orang tua Anin. Haris ingin menyampaikan maksud baiknya, yaitu tentang rencana yang sudah dia buat dengan Anin sebelumnya. Apalagi saat tadi pulang ke rumah orang tuanya, dia juga mengatakan hal ini kepada mereka, dan mereka sangat setuju dengan rencana Haris.

“Jadi, maksud kedatangan saya malem ini, selain untuk silaturahmi, juga ingin menyampaikan maksud baik saya kepada bapak dan ibu.”

“Apa ini tentang hubungan nak Haris dengan Anin?”

“Betul sekali pak. Kemarin lusa saya dan Anin sudah membahasnya, hanya saja saya merasa perlu untuk menyampaikan ini kepada bapak dan ibu, orang tua dari Anin.”

“Baiklah kalau begitu. Jadi gimana nak Haris?”

“Sebelumnya, hari ini tadi saya udah ketemu sama orang tua saya, intinya memohon doa restu mereka, dan mereka merestui pak. Jadi, sekarang saya ingin meminta ijin kepada bapak dan ibu, untuk meminang Anin setelah dia nanti lulus S2nya.”

“Loh, emang harus nunggu lulus ya?”

“Ehm, itu permintaan dari Anin sendiri pak.”

“Iya nduk? Emang gitu?”

“Iya yah. Anin dan mas Haris kemarin udah bahas ini, dan sepakat kalau kami baru akan nikah setelah Anin lulus.”

“Emangnya harus nunggu selama itu? Jujur aja, kalau ayah sama ibu sih setuju aja, malah kalau bisa sih secepatnya aja. Gimana Nin?”

“Gini yah, Anin kan udah mulai penelitian buat tesis, jadi biar fokus dulu aja. Nanti setelah semuanya beres, baru kami nikah.”

“Hmm gitu ya. Yaa kalau emang kesepakatan kalian seperti itu sih, ayah setuju. Ibu gimana?”

“Ibu juga setuju yah. Terus nak Haris, kapan orang tuanya mau main kesini?”

“Kalau soal itu belum dibicarain sih bu, soalnya kan masih lama juga.”

“Kalau gitu gini aja Ris, coba ajak kedua orang tua kamu kesini, kita atur waktu buat ketemuan. Yaa, ketemu aja, belum acara-acara secara resmi. Tapi bapak pengen ngobrol sama orang tua kamu, yaa sekalin nyari-nyari tanggal lah. Jadi nanti biar cepet prosesnya, dari lamaran sampai nikahannya.”

“Baik kalau gitu pak, nanti saya sampaikan sama orang tua saya. Saya juga pengennya setelah Anin lulus, segera aja pak, hehe.”

“Haha, kayaknya kamu udah nggak sabar ya Ris? Yowes ditunggu aja, tuh calon istrimu yang udah mutusin gitu kan? Haha.”

“Ih ayah apaan sih.”

“Hahaha.”

Obrolan mereka pun kian hangat malam ini. Haris dan Anin sudah semakin lega, karena orang tua mereka sama-sama sudah benar-benar memberi restu. Hanya tinggal bertemu secara resmi, lalu dilanjutkan dengan berbagai acara yang harus mereka jalani nantinya. Tapi yang jelas untuk saat ini, semua ini sudah cukup bagi mereka. Jalan sudah terbuka lebar, tinggal bagaimana mereka menjalaninya saja.

Haris dan Anin berharap, rencana mereka akan berjalan dengan lancar sampai pada saat mereka benar-benar resmi menikah nantinya. Kebahagiaan kini tengah menyelimuti mereka. Mereka tidak tahu, jalan yang akan mereka hadapi nanti mungkin tidaklah semulus yang direncanakan. Manusia berencana, tapi kedepannya, siapa yang tahu?

Bersambung

Foto Tante Memek Tembem Ngangkang Jembut Tipis
gadis kost
Permainan Sexs Liar Dua Gadis Teman Kost Ku
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
Ceria Dewasa Enak-Enak Dengan Istri Teman
Cerita Seks Anuku Di Kocok Mbak Irma
Bercinta Dengan Anak Pak RT
tante kesepian
Ngintipin tante kesepian yang lagi masturbasi
ABG montok sange colmek di kamar
Terima kasih Amanda putriku tersayang
Wanita Panggilan Pelanggan Setia Ku Bagian Dua
sepupu sexy
Tak bisa menahan nafsu birahi gara-gara tidur sekamar dengan sepupu ku
Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
tkw polos
Ngentot dengan TKW yang masih perawan dan polos
onani nikmat
Cerita ngocok waktu di rumah sendirian
Cewek cantik perawan sexy
Teman Kampusku Pemuas Nafsuku
rintih kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Sang Juwita Hati