Part #30 : Stressed

Hari pertama Haris menggantikan posisi Eva benar-benar membuatnya pusing. Kalau sebelumnya dia masih bisa sediki bersantai, hari ini tidak bisa seperti itu. Sejak pagi dia sudah langsung disibukkan untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri dan juga pekerjaan Tommy. Sore hari pekerjaan itu baru saja selesai, dan baru dia mengerjakan yang menjadi pekerjaan Eva. Saking sibuknya dia sampai harus makan siang di kantor. Dia meminta OB untuk membelikannya makan. Beruntung OB itu mau menemaninya makan disitu.

Haris melirik jam dinding di ruangan itu, sudah jam 8 malam, dan dia masih belum selesai dengan pekerjaannya. Dia tidak ingin menundanya sampai besok, karena besok pasti akan ada pekerjaan lain lagi. Dia juga tak mau membawa pulang pekerjaan itu, karena kalau sudah di rumah pasti bawaannya pengen tidur.

Lidya

Hari ini dia juga hanya beberapa kali memberi kabar pada Anin. Tapi calon istrinya itu ternyata cukup pengertian dengan kesibukan Haris, apalagi ini baru hari pertama Haris seperti itu. Anin tak ingin terlalu menganggu Haris agar pekerjaannya cepat selesai. Dia hanya mengingatkan Haris untuk tak lupa makan saja.

“Fiuuuh, kelar jugaaa…”

Haris menyandarkan punggungnya di kursi, melemaskan otot-ototnya. Kembali dia lirik jam dinding, sudah hampir jam 9 malam. Baru terasa perutnya keroncongan, karena memang terakhir dia makan tadi siang bersama dengan OB kantor di ruangan ini. Tak mau menunggu lebih lama lagi, diapun merapikan mejanya, lalu bergegas keluar dari ruangannya. Kantor ini sudah sepi, meskipun beberapa lampu masih menyala, tapi hanya tinggal dirinya yang ada di kantor ini.

Dilihatnya di parkiran, hanya ada 3 motor. Salah satu adalah miliknya, sedangkan 2 motor lagi dia tahu milik satpam yang berjaga. Haris segera menuju motornya, menyalakan lalu beranjak dari tempat parkir. Dia berhenti sejenak di pos satpam untuk menyapa mereka, sekalian memberi tahu kalau mereka sudah bisa mengunci pintu kantor.

“Malam pak.”

“Eh pak Haris, udah selesai pak?”

“Iya nih, baru selesai. Maaf lho pak, gara-gara saya bapak berdua harus ikutan lembur.”

“Wah kalau kita sih nggak masalah pak, kan malah seneng dapet uang lemburan. Jarang-jarang soalnya kayak gini pak, hehe.”

“Tapi emang nggak papa pak pulang malem gini? Nggak dicariin?”

“Ya dicariin pasti lah pak, tapi kan kami kerja, orang rumah juga tau kok. Oh iya, pak Haris ni lemburnya hari ini aja apa besok-besok juga pak?”

“Wah, kayaknya selama 2 minggu ini saya bakalan lembur terus pak. Pengennya sih ya nggak sampe selarut ini, tapi gimana kerjaan lagi banyak.”

“Wah, kalau gitu kita berdua ikut ketiban rejeki juga dong pak? Hehe.”

“Hehe iya pak. Tenang aja, nanti bisa diatur soal lemburan, kalau perlu saya tambahin nanti buat beli makan sama rokok.”

“Waah yang bener pak Haris? Kalau gitu sih, tiap hari kudu lembur kami juga mau, haha.”

“Ya udah kalau gitu pak, saya mau pulang dulu.”

“Iya pak Haris, hati-hati.”

Setelah berbasa-basi dengan kedua satpam itu Haris memacu motornya pulang. Kedua satpam itupun menyusul tak lama kemudian setelah memastikan semuanya beres. Kantor ini memang tidak dijaga selama 24 jam, hanya selama jam operasional kantor, atau sampai orang terakhir pulang, seperti saat ini. Haris tersenyum geli juga mengingat obrolannya dengan satpam itu. Dibalik kerepotan dan kesibukannya yang bertambah, ternyata ada orang lain yang ikut kecipratan rejeki juga.

Haris tak langsung pulang, dia mampir dulu ke sebuah warung untuk membeli makan. Dia sempat menghubungi Rani menanyakan minta dibelikan makanan sekalian atau tidak, ternyata Rani sudah makan malam dengan Gavin tadi.

Sesampainya di rumah Haris langsung menyantap makanan yang dia beli tadi. Rani menemaninya sambil menonton TV.

“Ran, tadi kontak-kontakan sama mbak Anin nggak?”

“Iya mas, kenapa?”

“Hari ini nggak ada ngurus-ngurus buat persiapan?”

“Nggak ada kok, emang mbak Anin nggak ngomong sama mas Haris?”

“Nggak sih, dia cuma ngeWA beberapa kali, ngingetin makan doang. Takut ngeganggu kali.”

“Oh gitu. Emang mas Haris ngerjain apaan sih mas kok pulangnya aja sampai jam segini?”

“Kan aku udah bilang Ran, yang aku kerjain itu kerjaannya 3 orang sekaligus. Ya mungkin karena masih hari pertama, jadi masih serba bingung.”

“Emang nggak ada yang bantuin mas?”

“Hari ini nggak ada, kebetulan lagi pada sibuk semua, termasuk pak Eko, bossku.”

“Ya moga-moga aja besok udah ada yang bantuin mas, biar pulangnya nggak semalem ini. Tapi ada yang nemenin tadi?”

“Ya nggak ada, cuma satpam aja tapi kan mereka di pos depan.”

“Hmm. Tapi, kalau gitu uang lemburannya banyak dong mas? Hehe.”

“Haha, nggak tau juga sih. Kemarin pak Eko bilang katanya banyak, tapi berapa jumlahnya belum tau. Tapi bukan itu sih yang aku pikirin Ran.”

“Lha terus apa mas?”

“Yaa waktunya. Kalau tiap hari pulangnya jam segini, ya bisa tepar aku lama-lama.”

“Haha iya. Padahal kan disuruh jaga berat badan ya? Entar jangan-jangan pas hari H kamu malah makin kurus mas? Haha.”

“Haha, jangan sampai lah. Kan sebelum hari H aku udah cuti beberapa hari, jadi buat balas dendam, makan tidur gitu, haha.”

“Haha dasar.”

“Ya udah, aku mau mandi dulu, terus istirahat. Kamu kalau udah nggak ada yang dikerjain jangan tidur malem-malem ya.”

“Iya mas.”

Setelah itu Haris kemudian mandi dan berganti pakaian. Dia lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Sambil tiduran, dia berchating ria dengan Anin. Tapi tak lama, karena dia sudah sangat mengantuk. Anin bisa memakluminya dan malah menyuruh Haris untuk segera istirahat saja. Tak lama kemudian, Harispun terlelap.

 

+++
===
+++​

Hari-hari selanjutnya yang dijalani Haris ternyata tidak seperti yang diharapkan. Bukannya semakin sedikit, pekerjaan yang harus dia lakukan malah semakin banyak. Itupun sudah ada yang membantunya, meskipun hanya sedikit-sedikit. Harispun masih sama seperti hari pertama, baru bisa pulang jam 9 malam, bahkan pernah lebih.

Beberapa hari menghadapi kondisi seperti itu membuatnya capek dan stress juga. Malah pada akhirnya, weekend kemarin dia terpaksa membawa pulang pekerjaannya yang belum selesai. Untungnya ada Anin yang mau membantunya. Dan lebih untungnya lagi, karena Anin termasuk orang yang cerdas, baru diajari sebentar saja sudah mengerti, sehingga pekerjaan yang tertunda itu bisa cepat rampung.

Tapi akibatnya, setelah seminggu penuh dihajar dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, setelah membereskan pekerjaan yang dibawa ke rumah, Haris lebih memilih untuk tidur. Sebenarnya dia merasa tak enak dengan Anin, tapi Anin juga yang menyuruhnya istirahat. Selagi Haris tidur, Anin dan Rani bersama-sama beres-beres rumah. Itupun tak lama karena Rani kemudian pergi. Alasannya pergi ke tempat teman kuliahnya, padahal tujuannya adalah ke rumah Gavin.

Hari-hari berikutnya juga masih harus dihadapi Haris dengan tingkat stres yang tinggi. Semua perhatiannya benar-benar teralihkan dengan pekerjaannya. Dia sama sekali tak mengurus tentang persiapan pernikahannya lagi, tapi dia masih terus mendapat kabar dari Anin maupun Rani, dan semua masih berjalan dengan lancar. Bahkan dia juga tak sempat mengantarkan Anin untuk mengambil gaun kebaya yang akan dipakai untuk acara wisuda dan lamaran yang akan dilangsungkan di akhir pekan ini.

Beruntungnya wisuda Anin dilangsungkan di hari sabtu, sehingga Haris bisa menghadirinya tanpa harus ijin ke kantor. Apalagi malamnya dia juga akan pergi ke rumah Anin bersama dengan keluarganya untuk acara lamaran. Pak Eko sebenarnya sudah memberi tahunya kalau di hari jumat nanti dia tidak perlu lembur, karena pak Eko sudah tahu agenda Haris, bahkan pak Eko sebagai saudara jauh dari Anin juga akan datang ke acara lamaran itu. Namun karena merasa tak enak maka Haris berupaya untuk menyicil pekerjaannya sehingga di hari jumat nanti dia bisa pulang lebih awal. Akibatnya, saat ini dia terpaksa pulang lebih larut daripada biasanya.

Anin sendiri saat ini tidak banyak protes kepada Haris karena dia sangat mengerti dengan kesibukan calon suaminya. Tak hanya dari Haris, tapi Anin juga diberitahu oleh pak Eko sendiri tentang kenapa Haris harus bekerja seperti itu. Kedua orang tua Anin juga sudah mengetahuinya, dan mereka bisa memaklumi hal itu. Apalagi selama Haris sibuk dengan pekerjaannya, Rani sering sekali datang untuk membantunya, atau sekedar mengantar kemana tujuan Anin. Tak hanya Rani sendiri, karena kadang dia juga mengajak Gavin untuk ikut membantu persiapan pernikahan mereka. Dari situlah Gavin semakin dikenal oleh Anin dan keluarganya.

Masih sama dengan sikapnya waktu bertemu Haris, sikap Gavin pada keluarga Anin juga cukup baik, sehingga dengan mudah mereka bisa cepat akrab. Haris sudah mendengar itu dari Anin, dan dia ikut senang karena ternyata Gavin bisa berbaur dengan seluruh keluarganya. Hanya tinggal dengan kedua orang tuanya saja Gavin belum bertemu. Itupun mereka akan segera bertemu saat hari lamaran Haris kepada Anin.

Hari kamis sore, Haris masih terlihat sibuk di meja kerjanya. Hari ini dia berniat untuk bisa menyelesaikan sebanyak mungkin pekerjaan yang bisa dia kerjakan, supaya besok tidak perlu lembur. Malah kalau bisa besok dia ingin bisa pulang lebih awal agar punya lebih banyak waktu untuk istirahat, karena acara hari sabtu akan cukup padat mulai dari pagi sampai malam. Dia yakin kalau pak Eko akan memberinya ijin kalau pekerjaannya sudah beres semua. Sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba handphonenya berdering, Eva menelponnya.

“Halo mbak Eva.”

“Halo Ris, masih di kantor?”

“Iya mbak, masih. Biasalah lembur, hehe.”

“Haha, iya aku tau kok, udah sejak aku pindah kan kamu pulangnya malem-malem terus?”

“Hehe iya mbak, kok tau? Pak Eko cerita ya?”

“Iyalah, emang siapa lagi.”

“Ya begitulah mbak, hehe. Ngomong-ngomong, ada apa mbak?”

“Gini Ris, aku mau ngasih kabar buat kamu.”

“Soal?”

“Soal rekruitmen karyawan baru.”

“Oh, jadi udah ada rekruitmen mbak? Wah bisa cepet dikirim kesini dong buat bantuin aku?”

“Nah itu dia masalahnya Ris. Sepertinya, kamu harus siapin waktumu lebih lama buat lembur deh.”

“Hah? Maksudnya?”

“Iya. Jadi gini, kemarin udah ada rapat sama pimpinan disini, terutama membahas soal kekurangan karyawan kita di bagian personalia. Tapi untuk bulan ini kita belum bisa ngadain rekruitmen. Paling cepat baru bisa ya bulan depan.”

“Waduh, paling cepet bulan depan?”

“Iya, dan kamu tau kan, kalau karyawan baru itu harus training dulu di kantor pusat?”

“Iya mbak. Berarti, kalau bulan depan baru rekrut, terus training disana 3 bulan, berarti 4 bulan lagi doang aku baru dapat tambahan personel?”

“Nggak kok Ris, nggak sampai 4 bulan. Tadinya emang kayak gitu, tapi aku sama pak Doni udah nego karena memang kita sangat butuh secepatnya.”

“Oh gitu, terus keputusannya gimana mbak?”

“Pimpinan ngasih kebijakan, kalau khusus bagian personalia nanti bisa aja training disini cuma sebulan, terus langsung di kirim ke cabang-cabang yang membutuhkan, tapi dengan catatan, selama sebulan itu mereka nunjukin progres yang baik. Ya kamu berdoa aja, semoga orang-orang yang kita rekrut nantinya bisa memenuhi ekspektasi itu.”

“Hmm, jadi belum pasti juga dong mbak?”

“Iya Ris, tapi kita sih juga berharap semuanya lancar. Makanya kemarin udah dipesenin sama pak Doni supaya aku dan Lidya bener-bener serius ngasih trainingnya.”

“Hmm, iya semoga aja deh mbak. Tapi, apa nggak bisa dicarikan solusi lain gitu? Maksudnya, bisa kan narik paling nggak 1 orang dari cabang lain buat dipindahin kesini?”

“Susah Ris, masalahnya hampir di semua cabang kasusnya sama, kurang orang. Kalau dipaksain, sama aja kayak mindahin masalah doang.”

“Iya juga sih. Duh mana mas Tommy udah pasti pindah juga ya mbak?”

“Iya Ris. Sebenarnya permintaan dari cabang sana, Tommy diminta pindah secepatnya. Tapi sama pak Doni masih dipending, karena tau kamu mau cuti nikah. Jadi nanti, begitu kamu masuk lagi Tommy baru pindah.”

“Yaah, jadi single fighter beneran dong aku nanti mbak?”

“Ya mau nggak mau Ris. Tapi, ada sedikit kabar baik nih buat kamu.”

“Kabar baik apa mbak?”

“Pak Doni lagi ngusahain promosi kamu dipercepat.”

“Oh ya?”

“Iya. Tapi waktunya kapan belum bisa dipastiin. Sekarang udah dibuat pengajuannya sama pak Doni, tinggal nunggu persetujuan dari pimpinan aja. Kamu berdoa aja, waktu kamu masuk lagi setelah cuti nanti, status jabatan kamu udah baru.”

“Amiiin… makasih banyak ya mbak, hehe.”

“Ya sana makasih sama pak Doni, beliau kok yang ngusahain semua.”

“Hehe iya mbak, nanti aku hubungi pak Doninya langsung.”

“Eh tapi Ris, kok pak Doni bisa segitunya ya sama kamu?”

“Maksudnya mbak? Segitunya gimana?”

“Ya segitunya. Mulai dari kamu pindah ke Jogja aja, masa training kamu kan nggak kayak yang lainnya. Sekarang, malah udah mau dipromosiin aja. Kamu ngasih apa sih sama pak Doni?”

“Haha ya mana aku tau mbak? Tanya pak Doni dong.”

“Atau, jangan-jangan kamu ada apa-apanya sama Lidya ya? Kan Lidya anaknya pak Doni tuh.”

“Haha, mbak Eva kok bisa aja sih mikirnya ke arah sana. Ya aku nggak tau mbak, hehe.”

Haris sebenarnya deg-degan juga karena Eva mulai membahas hal itu. Memang dia dan Lidya pernah ada hubungan yang dekat. Tapi tentu saja dia merahasiakan ini dari orang lain. Hanya Vionalah orang kantor yang tahu. Sekarang Viona sudah tidak ada di kantor lagi, jadi tidak ada orang lain yang tahu. Haris takut kalau Lidya cerita, atau paling tidak keceplosan cerita kepada Eva. Bisa gawat, karena Eva masih ada hubungan saudara dengan Anin, sementara Haris sama sekali tidak menceritakan hubungannya dengan Lidya kepada Anin.

Haris pastinya takut jika akhirnya Anin tahu tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Lidya. Apalagi saat ini hubungannya dengan Anin sudah mulai masuk ke tahap yang lebih jauh lagi. 2 hari lagi, dia akan secara resmi melamar Anin, dan hanya dalam hitungan hari mereka akan menikah. Jika semua yang terjadi antara dirinya dan Lidya sampai ketahuan, entah oleh siapapun, dia takut rencananya itu akan menjadi berantakan.

“Haha ya kan siapa tau aja Ris. Tapi kalau dari cerita Lidya sih, kayaknya semua murni karena kamu sendiri deh.”

“Eh, emang Lidya cerita apa mbak?”

Haris semakin deg-degan setelah Eva bilang kalau Lidya sudah cerita, tapi entah cerita apa. Semoga bukan yang menjadi rahasia antar mereka.

“Iya, Lidya bilang sih, kamu selama disini emang nunjukin kinerja yang bagus, dan kebetulan kamu itu tipe orang yang disukai dan dicari sama pak Doni. Makanya pak Doni ngasih perhatian khusus ke kamu. Apalagi sampai sekarang, tiap kamu dikasih tantangan kamu bisa menyelesaikan dengan baik, makanya pak Doni nggak ragu buat ngusulin promosi jabatan kamu, meskipun belum setahun bekerja.”

“Ooh gitu tho? Hehe kalau soal itu aku sendiri juga nggak tau mbak, Lidya nggak pernah cerita sih soalnya.”

Plong. Itulah yang dirasakan oleh Haris. Entah benar atau tidak yang dikatakan Lidya kepada Eva tentang pandangan pak Doni terhadapnya, tapi paling tidak dia bisa lega karena Lidya tidak sampai menceritakan apa yang dia takutkan.

“Ya udah kalau gitu Ris, aku cuma mau ngabarin itu aja kok. Tadi aku juga udah sempet telpon pak Eko buat ngasih tau ini, tapi aku disuruh langsung hubungin kamu aja.”

“Oh iya mbak, sekali lagi makasih buat infonya.”

“Iya. Ya udah, selamat melanjutkan lemburnya ya, hehe.”

“Hehe iya mbak.”

Haris menutup telpon dan meletakkan lagi handphonenya di meja. Dia sedikit tersenyum. Meskipun kabar yang diberikan Eva kepadanya lebih banyak kabar buruk, karena berarti selama minimal 2 bulan kedepan dia harus bekerja di bagiannya seorang diri, tapi ada secercah kabar baik yaitu soal promosi jabatannya.

Dia memang tidak pernah berharap akan mendapatkan promosi secepat ini. Dia sendiri sebenarnya juga belum terlalu siap. Tapi jika sudah menjadi keputusan dari perusahaan, maka dia harus menerima tanggung jawab yang diberikan itu, dan berusaha menjawab dengan mengemban amanah itu sebaik mungkin. Tapi untuk saat ini, Haris belum ingin memberi tahu siapapun soal promosi itu. Lebih baik nanti saja, kalau memang sudah benar-benar dirinya dipromosikan. Kalau disebarkan kabarnya sekarang, takutnya malah tidak terjadi.

 

+++
===
+++​

Tok… Tok… Tok…

“Iya masuk,” terdengar suara pak Eko dari dalam ruangannya. Harispun membuka pintu dan ssegera masuk.

“Oh kamu Ris, duduk dulu. Bentar ya aku kerjakan ini, dikit lagi,” ucap pak Eko mempersilahkan Haris duduk.

“Iya pak.”

Beberapa saat pak Eko berkutat dengan laptopnya, hingga akhirnya dia menggeser laptopnya dan menatap Haris.

“Ada apa Ris?”

“Hmm gini pak, kalau boleh saya mau ijin pulang duluan,” ucap Haris menyampaikan maksudnya.

Pak Eko melirik ke jam dinding, hampir jam 3 sore.

“Kerjaan udah beres semua?”

“Udah kok pak, kebetulan kemarin saya cicil sampai malam, jadi buat yang hari ini semua udah beres.”

“Haha, kamu sengaja banget lembur sampai jam 11 malem Ris kemarin? Biar hari ini bisa istirahat ya?”

“Loh pak Eko kok tau?” tanya Haris terkejut karena ternyata pak Eko tahu dia baru pulang jam 11 malam, padahal dia tak memberi tahu siapapun.

“Ya dari satpam-satpam itu lah, mereka kan laporan sama aku.”

“Ooh, hehe. Iya sih pak.”

“Ya udah nggak papa kalau mau pulang duluan silahkan. Tapi sebelumnya nanti kamu tinggalin catetan buat Tommy ya, biar besok senin waktu dia masuk tau mulai dari mana yang harus dikerjain.”

“Iya pak, kebetulan udah saya buat juga kok tadi.”

“Ya baguslah kalau kayak gitu. Jadi, besok acaranya jam berapa Ris?”

“Acara lamaran? Kalau saya sama keluarga sih berangkat dari rumah jam 7 malem pak, nggak tau nanti di tempat Anin mau dimulainya jam berapa.”

“Ooh gitu. Ya udah aku juga bakal berangkat lebih awal aja kalau gitu. Gimana rasanya Ris? Hehe.”

“Haha, rasanya apa pak? Biasa aja sih, yang masih kerasa sih capeknya pak, sama ngantuk, hehe.”

“Yaa wajar, kamu tiap hari lembur gitu, haha. Yaa mungkin sekarang belum kerasa sih, tapi nggak tau besok Ris, apalagi pas udah di rumah Anin, haha.”

“Hmm, emang dulu pak Eko rasanya gimana waktu mau ngelamar ibu pak?”

“Wah kalau aku sih dulu deg-degan banget Ris, soalnya beda kayak kamu sama Anin sekarang.”

“Loh emang bedanya dimana pak?” Haris yang tadinya pengen cepat pulang malah jadi tertarik untuk mendengarkan cerita dari pak Eko.

“Ya beda. Kalau kamu sama Anin kan lancar-lancar aja, udah dapet restu juga dari Aziz. Kalau aku dulu, bukannya belum dapet restu, tapi yang mau ngelamar ibu dulu selain aku ada 2 orang lagi.”

“Wuiih, jadi 3 orang saingan buat dapetin ibu dong pak?”

“Hmm, dibilang saingan tapi nggak juga sih, soalnya kami bertiga itu sama-sama nggak tau.”

“Maksudnya gimana pak? Kok saya jadi bingung?”

“Gini, dulu itu aku sama istriku kan nggak pacaran. Kami cuma kenal aja, temenan biasa tapi aku suka sama dia. Nah pas aku nyatain ke dia, dia bilang kalau emang mau serius, dateng ke rumah bawa orang tuaku, langsung lamar. Ternyata, selain aku ada 2 orang lagi yang kayak gitu.”

“Waah, terus terus, gimana pak?”

“Yaa jadinya kita bertiga itu sama orang tua masing-masing, dateng di hari yang sama. Untungnya aku dateng duluan, jadi aku yang diterima, haha.”

“Wahaha, beruntung banget dong pak?”

“Ya bisa dibilang begitu. Tapi sih kayaknya, kalaupun kami datang bertiga barengan, mungkin tetep aku yang diterima, karena posisinya waktu itu aku yang udah punya kerjaan mapan, mereka belum.”

“Ooh gitu.”

“Iya. Jadi kalau aku dulu kan datang ke rumah orang tua istriku tanpa ada jaminan bakal diterima atau enggak, beda kayak kamu yang udah pasti diterima. Acara besok itu kan sebenarnya cuma formalitas aja.”

“Hehe iya juga sih pak.”

Tak terasa hampir 1 jam mereka malah ngobrol di ruangan pak Eko, bercerita soal pengalaman pak Eko dulu waktu melamar istrinya. Haris cukup tertarik, karena selama ini dia tak pernah mendengar cerita soal seperti itu dari orang lain. Setelah dirasa cukup akhirnya Haris berpamitan pada pak Eko. Tak lupa juga dia berpamitan kepada teman-temannya, karena memang ini hari terakhirnya bekerja sebelum senin depan dia mulai cuti. Teman-teman kantornya juga memberikan selamat dan doa kepada Haris, beberapa dari mereka juga berjanji akan menghadiri acara lamaran besok.

 

+++
===
+++​

Hari ini adalah hari wisuda Anin. Haris sudah berada di luar gedung aula kampus tempat dilangsungkannya wisuda itu bersama dengan Rani. Anin di dalam gedung bersama dengan orang tuanya. Sedangkan orang tua Haris dan Rani masih berada di rumah, nanti Haris akan menjemput mereka untuk makan siang bersama, merayakan wisuda Anin.

“Si Gavin beneran nggak mau ikut nanti Ran?”

“Enggak mas. Dia siang ini ada acara juga katanya, tapi dia bilang kalau entar malem bakal dateng kok.”

“Oh ya udah deh, emang acara entar malem sih yang lebih penting.”

“Mas, apa entar aku sekalian kenalin mas Gavin sama bapak ibu?”

“Ya iya dong, sekalian aja. Suruh aja entar dia dateng ke rumah sebelum kita berangkat ke tempat Anin, jadi biar kenalan dulu sama bapak ibu, baru kita berangkat bareng.”

“Iya mas, entar biar aku bilangin sama dia.”

Hari ini sebenarnya Gavin memang diajak sekalian makan siang oleh Haris dan Anin, tapi dia menolak dengan alasan sedang ada acara dan baru malam nanti saat acara lamaran Haris dia akan datang. Tadinya Gavin sudah bilang ke Rani kalau akan langsung berangkat ke rumah Anin, tapi ternyata Haris memintanya untuk datang ke rumahnya terlebih dahulu.

Cukup lama Haris dan Rani menunggu sampai akhirnya para wisudawan dan keluarga mereka keluar dari aula. Haris yang pernah diwisuda di gedung ini juga pastinya sudah tahu apa saja yang terjadi di dalam, dan betapa membosankannya bagi para wisudawan untuk melalui rangkaian acara demi acara, karena itulah dia terlihat lebih santai menunggu, tidak seperti Rani yang sudah nampak bosan sekali berada disini.

“Tuh Ran mereka ada disana,” ucap Haris sambil menunjuk ke arah Anin dan kedua orang tuanya yang terlihat baru keluar dari pintu aula.

“Yuk kesana mas.”

Haris dan Rani segera menuju ke tempat Anin berada. Rani tampak lebih bersemangat, berlari kecil menghampiri Anin, sedangkan Haris lebih santai tapi senyuman tak lepas dari wajahnya. Tangannya dia taruh di belakang punggungnya, membawa sesuatu untuk diberikan kepada calon istrinya itu.

“Mbak Aniiin selamat yaaa.. Wah mbak Anin cantik banget..” Rani langsung memeluk Anin saat mereka bertemu.

“Hehe makasih ya sayang, kamu juga cantik kok.”

“Ibu, selamat ya bu, hehe,” Rani menyalami ibu Anin, yang tak lain adalah dosennya di kampus.

“Iya nak Rani. Kamu kapan wisudanya?” tanya ibunda Anin yang sebenarnya hanya basa-basi saja, karena dia juga tahu masih cukup lama Rani untuk wisuda.

“Waduh, saya kan masih lama bu, tapi ya doain aja moga-moga nggak molor, moga bisa tepat waktu, hehe.”

“Iya, amin..”

Tak lama kemudian Haris datang dan memberikan sebucket bunga mawar merah dan putih yang disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk hati.

“Selamat ya sayang..” ucap Haris agak malu-malu karena baru kali ini mengucapkan kata-kata itu di depan kedua orang tua Anin.

“Makasih ya sayang..” Anin tiba-tiba saja menghambur kearah Haris dan memeluknya. Haris agak kaget dan canggung juga, masalahnya kedua orang tua Anin disitu. Tapi setelah melihat kearah ayah dan ibu Anin, dan mereka mengangguk, Harispun membalas pelukan Anin.

“Iya, sama-sama. Semoga gelarnya menjadi berkah buat kamu ya.”

“Iya mas. Pokoknya makasih, makasih banget.”

“Iya iya. Udah ah lepasin dulu pelukannya, nggak enak sama ayah ibu.”

“Hehe iya mas.”

Aninpun melepas pelukannya. Haris juga menyalami kedua orang tua Anin. Tapi mereka tak bisa berlama-lama disitu karena Anin dan kedua orang tuanya masih ada acara di fakultas. Merekapun berpisah. Rani ikut dengan Anin dan orang tuanya karena memang masih ada sedikit urusan, dan sekalian menunggu disana. Sedangkan Haris pulang dulu untuk menjemput kedua orang tuanya.

Acara di fakultas Anin tidak terlalu lama, hanya sekitar 1 jam saja. Disana sebenarnya sudah disiapkan makan siang, tapi kebanyakan wisudawan dan keluarganya sudah memiliki acara, jadi hanya sedikit saja yang makan siang disana. Anin mengabari Haris untuk langsung menuju ke tempat yang sudah mereka booking untuk makan siang. Dia sendiri berangkat dari kampus ini bersama dengan kedua orang tuanya dan juga Rani yang sudah menunggunya.

Tempat yang sudah dibooking untuk makan siang itu rupanya sudah cukup ramai kondisinya, dan sebagian besar tamunya sama seperti Anin, yaitu mereka yang diwisuda hari ini beserta keluarganya. Acara makan siang itu berlangsung cukup hangat, diisi dengan obrolan-obrolan ringa saja. Mereka sama sekali tak membahas tentang acara lamaran nanti malam karena memang semuanya sudah disiapkan, jadi Haris dan keluarganya tinggal datang saja.

Selesai makan siang, selanjutnya mereka menuju ke tempat bu Rahmi untuk foto. Seno yang menjadi fotografernya sudah menunggu disana. Setelah acara foto-foto selesai, mereka masih berbasa-basi dengan bu Rahmi tentang acara nanti malam. Gaun kebaya yang akan dipakai oleh Anin memang sudah dibawa pulang, jadi nanti tinggal bu Rahmi dengan beberapa orang anak buahnya datang kesana untuk merias Anin. Seno yang juga bertugas untuk mendokumentasikan momen itu nanti malam juga akan datang lebih awal.

Setelah selesai urusannya dengan bu Rahmi, Anin dan Haris langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara nanti malam. Anin dan keluarganya yang kembali memeriksa semua persiapan acara. Sedangkan Haris dan keluarganya mempersiapkan apa-apa saja yang akan mereka bawa untuk seserahan nanti malam.

 

+++
===
+++​

Suasana acara lamaran malam itu berlangsung dengan khidmat dan penuh dengan nuansa kekeluargaan. Selain keluarga inti dari Haris dan Anin, ada juga beberapa saudara Anin yang datang, seperti pak Eko bersama istrinya. Selain itu beberapa tetangga sekitar juga ikut hadir dalam acara malam itu.

“Yank, kamu kok bengong aja dari tadi?” tanya Gavin mengagetkan Rani yang duduk di sebelahnya.

“Eh, enggak kok yank,” jawab Rani berbisik lirih, karena acara memang masih berlangsung.

“Kenapa sih? Ada apa?” tanya Gavin lagi, yang juga bersuara lirih, tak ingin mengganggu jalannya acara.

“Hmm, itu yank, liat mas Haris sama mbak Anin. Kapan ya kita bisa gitu?”

“Oalah, mikirin itu tho? Ya nanti kan ada waktunya juga yank. Kamu aja belum lulus kuliah kan, entar lah kalau kamu udah lulus, langsung aku lamar yank.”

“Beneran?”

“Iya, makanya kuliah yang bener, jangan bolos mulu.”

“Ih, bolos kan gara-gara kamu juga yank.”

“Hehe.”

Memang sejak malam itu menyerahkan mahkotanya untuk Gavin, Rani makin sering mengunjungi Gavin. Dia bahkan beberapa kali membolos kuliah untuk bisa berduaan dengan Gavin. Tentu saja Rani baru berani membolos kalau hari itu tidak ada jadwal kuliah yang diajar oleh ibunya Anin.

Kembali mereka memperhatikan acara demi acara yang berlangsung. Acara malam ini sebenarnya sama sekali tidak membuat Gavin tidak tertarik. Kalau saja dia tidak ingin mendekati kedua orang tua Rani dan menampilkan kesan yang baik pada mereka, dia tidak akan mau datang kesini. Meskipun sudah cukup banyak mengumpulkan informasi tentang keluarga Haris dan Rani, tapi Gavin merasa perlu untuk mendekati kedua orang tua mereka. Itupun juga termasuk perintah dari bossnya, Titus.

Sampai saat ini, semua yang direncanakan oleh Titus melalui Gavin berjalan dengan lancar. Apalagi Rani yang dengan polosnya mempercayai Gavin, dan begitu saja dengan mudahnya dijerumuskan oleh Gavin ke kehidupan yang tidak seharusnya dia jalani. Perlahan, Gavin sudah mulai merubah Rani tanpa gadis itu sendiri sadari.

Setelah 2 jam yang menurut Gavin membosankan, acara itupun selesai juga. Tapi dia tidak langsung pulang, masih berada disana untuk memberikan selamat kepada Haris dan Anin, juga orang tua mereka. Sedangkan tamu yang lain satu persatu sudah mulai meninggalkan rumah ini.

“Mas, mbak, selamat ya, semoga dilancarkan sampai hari H nanti,” ucap Gavin saat menyalami Haris dan Anin.

“Iya Vin, makasih ya,” balas Anin.

“Makasih Vin. Oh iya, nantinya kan aku bakal lebih jagain Anin kalau kami udah nikah, jadi aku minta tolong kamu juga ikut jagain Rani ya.”

“Oh tenang aja mas, Rani aman kok sama aku, hehe.”

“Ih mas Haris ngapain sih pake ngomong kayak gitu?” Rani yang ada di sebelah Gavin langsung saja memprotes.

“Haha, ya kan dia calonmu Ran, siapa lagi dong yang mau jagain kamu kalau bukan dia? Iya nggak?”

“Yaa tapi kan nggak harus gitu juga kali mas.”

Rani yang masih memprotes justru membuat Haris, Anin dan Gavin tertawa. Haris dan Anin tertawa karena melihat ekspresi Rani yang tersipu malu. Sedangkan Gavin tertawa karena merasa geli. Jangankan menjaganya, dia bahkan sudah merusak kesucian Rani, dan ini baru langkah awal saja. Dia merasa semakin senang karena keluarga Rani semua percaya kepadanya. Bola sekarang sudah bergulir di kakinya, tinggal bagaimana dia saja memainkannya dengan cantik.

Beberapa saat kemudian orang tua Anin dan orang tua Haris menghampiri mereka. Rupanya mereka sudah berpamitan, dan mengajak Haris untuk pulang.

“Gavin nggak mampir ke rumah dulu?” tanya ayah Haris.

“Wah udah malem om. Kapan-kapan aja saya main kesana lagi.”

“Ya udah kalau gitu, ditunggu ya.”

Haris, Rani dan kedua orang tuanya bersalaman dengan Gavin sebelum mereka pulang ke rumahnya. Sedangkan Gavin rupanya tidak langsung pulang. Dia mengarahkan mobilnya ke rumah Titus. Bukan untuk memberi laporan, tapi karena Titus yang mengundangnya. Gavin sendiri belum tahu untuk apa Titus memintanya kesana.

Sampai di rumah Titus terlihat ada beberapa mobil yang terparkir disana. Gavinpun melangkahkan kakinya masuk ke rumah itu, yang ternyata sudah ada belasan orang baik itu laki-laki atau perempuan di rumah itu. Pemadangan erotis tersaji di depannya, dimana orang-orang itu sedang asyik berpesta tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka. puluhan botol minuman keras dan beberapa bungkusan serbuk putih juga tersaji di meja. Meskipun begitu Gavin tak terlalu tertarik, karena tujuan utamanya adalah untuk menemui Titus.

“Hei, boss dimana?”

“Ada di belakang Vin. Tadi boss bilang kalau kamu dateng langsung kesana aja,” jawab salah seorang diantara mereka yang sedang berpesta.

“Oke.”

Gavinpun melangkahkan kakinya ke bagian belakang rumah ini. Dia sudah tahu kebiasaan bossnya. Kalau di depan sedang ada pesta semacam itu, berarti Titus di belakang juga sama saja. Titus memang tak pernah mau berbaur dengan para anak buahnya jika sedang melakukan pesta seks dan narkoba, dia lebih suka melakukannya sendiri-sendiri. Kalaupun dengan orang lain, hanya orang-orang tertentu saja yang akan diajak, dan Gavin adalah salah satunya.

Dari situ Gavin sudah menduga kalau bossnya itu juga ingin mengajaknya pesta. Sebenarnya Gavin sedang tidak berhasrat malam ini, tapi dia tak bisa menolak keinginan bossnya itu. Apalagi selama ini wanita yang dibawa bossnya untuk menemani pesta tidak pernah mengecewakan.

Saat baru saja akan sampai di sebuah kamar yang digunakan oleh bossnya untuk berpesta, pintu kamar itu terbuka dan keluarlah seorang pria yang hanya memakai celana pendek saja. Gavin agak terkejut melihat pria itu. Pria yang dikenalnya cukup baik, hanya saja sudah lumayan lama tidak bertemu.

“Hei Vin, baru dateng lu?”

“Gua yang harusnya nanya gitu Do, lu baru dateng kesini?”

Bersambung

tante hot
Ngentot Tante Ku Sendiri Yang Sedang Asyik Masak Di Dapur
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
hamil muda
Cerita dewasa menikmati tubuh wanita yang sedang hamil muda
Cerita sex sepupuku sexy
Tubuh Sexy Sepupuku Tersayang
dukun cabul
Cerita dukun cabul yang menikmati tubuh pasien nya bagian satu
Foto hot jepang Kana Tsuruta bening men
Pembantu sebelah rumah yang menggoda birahiku
abg nakal
Wisata unik di jogja, mencoba three some dengan tiga gadis abg
Cerita sexs anak SMA nakal ngentot di dalam kelas
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
Foto bugil ayam kampus cewek kuliahan tubuh sexy
Foto melihat belahan memek sempit anak sma
berbagi kasih sayang
Berbagi kehangatan dengan wanita lain
pembantu
Menikmati pemerkosaan ini yang membuat ku ketagihan
Foto Ayane Sakurai artis JAV ngewe sampai banjir
Mandi Bareng Dengan Tante Dewi