Part #5 : Aku ga bisa tidur Kak

Tanpa membuang waktu langsung ku tancapkan motorku menuju sekolah Nissa. Kekesalanku yang sempat timbul akibat telepon yang muncul di waktu yang salah tadi lenyap semua. Kini pikiranku hanya dipenuhi rasa khawatir jika ada hal yang buruk menimpa satu-satunya saudaraku itu.

Tak sampai 10 menit Aku sudah tiba di depan sekolah. Nissa sudah berdiri di depan siap menungguku. Tangisannya sudah berhenti, namun jelas matanya terlihat sembab. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Ia naik ke motorku.

Sepanjang perjalanan Nissa memelukku erat, entah apakah Ia sedang menangis lagi atau tidak. Meski payudaranya benar-benar menempel ketat di punggungku namun kali ini Aku tak lagi merasa nafsu. Saat ini Aku hanya mengkhawatirkan Nissa. Akan ku cari tahu di rumah nanti.

Begitu sampai di rumah, Kak Sasha sudah menunggu di kursi teras. Namun Nissa seakan tak peduli, Ia langsung berjalan masuk begitu saja menuju kamarnya. Aku pun mencoba mengejarnya sebelum tangan Kak Sasha meraihku.

“Udah, biarin dia sedih dulu.” Aku pun patuh dan langsung mengambil duduk di kursi yang satu.

“Tapi Kak…”

“Sudah biasa remaja cewek galau kayak gitu, nanti kalau udah reda sedihnya baru kita tanyain. Paling juga ga akan lama sedihnya. Aku juga dulu kayak gitu kok, semoga penyebab sedihnya bukan hal yang besar,” ucapnya. Kak Sasha makin terlihat cantik saat bersikap dewasa seperti ini.

“Kak Sasha tentang tadi,” kataku, berniat melanjutkan pembahasan yang terhenti sore tadi.

“Lupain aja ya Yo,” Ia memotong kalimatku yang belum selesai. “Aku mau siapin makan malam dulu,” ucapnya, seraya berjalan masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku dengan perasaan yang turut retak. Bibirku bahkan belum sempat terkatup, masih menganga bersama isi hati yang belum tuntas diuraikan.

 

Kak Sasha

Makan malam berjalan aneh hari ini. Hanya ada Aku sendiri di meja makan. Padahal nasi, telur, dan sayur asem yang Kak Sasha masak cukup banyak untuk dimakan bertiga. Nissa belum mau keluar kamar, sedangkan Kak Sasha mengaku sudah langsung makan saat baru masak tadi. Sehari saja Mama keluar kota dan Kami sudah berpencar seperti ini.

Setelah makan Aku duduk di sofa, berharap salah satu dari mereka keluar kamar. Meski senang sendiri, entah mengapa malam ini Aku sedang ingin ditemani duduk oleh seseorang. Akhirnya setelah setengah jam duduk sambil bermain ponsel, Kak Sasha pun keluar dari kamar.
“Eh Kak Sasha,” tegurku sambil tersenyum, memberanikan diri untuk berinteraksi dengannya. Kak Sasha hanya melihatku sebentar sebelum akhirnya lanjut berjalan ke toilet. Begitu Ia keluar dari toilet Aku pun menyapanya sekali lagi.
“Kak Sasha mau teh?” tanyaku, berharap Ia mau mampir duduk menemaniku malam ini.
“Aku ngantuk Yo, lain kali ya,” jawabnya sebelum akhirnya memasuki kamar.
Kak Sasha sepertinya kembali bersifat dingin padaku seperti hari-hari lalu. Segala sentuhan yang terjadi tadi sore mungkin hanyalah mimpi yang tak Aku sadari. Pada akhirnya hubungan kami memang selalu kaku.

Dalam keadaan galau Aku pun tidur lebih cepat malam ini.

DOR!!! DOR!!! DOR!!!

Suara gedoran pintu membangunkanku.

“Kak? Kak Dio?!” Teriak sosok itu kencang.

Nissa yang membangunkanku. Apa yang terjadi? Dengan secepat kilat Aku terbangun dan langsung menuju pintu.

Nissa telah berdiri di depan pintu. Di hadapanku, Ia sudah berdiri manis mengenakan setelan olahraga, lengkap dengan kaos dan legging olahraga setinggi 3/4 ketat bermerek apparel asal Jerman. Ia juga mengenakan bandana berwarna pink di kepalanya. Ku lihat masih ada sisa sembab di matanya. Bajunya begitu ketat, pasti asal ngambil dari lemari Mama, pikirku.

“Kenapa ya Nis?” Aku yang belum sepenuhnya sadar merasa kebingungan.

“Kok kenapa? Kan katanya kemarin mau lari bareng.”

“Hah?” ku tengok jam dinding di kamarku yang masih menunjukkan pukul 3:45 pagi. “Emang Kamu setan apa mau lari jam segini? Masih gelap total loh Nis. Nunggu sejam lagi deh.”

“Aku ga bisa tidur Kak.”

“Iya tapi ga jam segini juga. Kamu ga tau aja sih kalau daerah dekat rumah nih sepi banget kalau subuh.”

“Ih Kakak ga mau nemenin Nissa ya,” ucapnya cemberut, sambil berjalan lunglai kembali ke arah kamarnya.

“Errrr… yaudah deh, tunggu Kakak gantian dulu,” ucapku. Memang ya nih anak paling jago buat Kakaknya merasa bersalah.

“Hore! Gitu dong Kak, masa jam segini masih ngantuk sih.” ucapnya sambil melompat heboh. Aku hanya bisa tersenyum saja melihat tingkah adikku ini. Setidaknya Ia tak bersedih lagi.

“Satu lagi Kak!” panggilnya, sesaat Aku akan menutup pintu.

“Apaan lagi?”

“Jangan bilang Mama ya kalau Nissa ga pakai jilbab,” ucapnya sambil mengedipkan satu mata padaku. Oh, ada-ada saja anak ini.

Nissa

Pukul 3:50 Kami sudah mulai berjalan cepat sebagai pemanasan meninggalkan rumah. Nissa benar-benar tak sabaran, selagi gantian saja pintuku terus-terusan digedor. “Kalau telat ku tinggal nih,” begitu katanya, meski tahu Ia tak mungkin berani jogging sendiri namun tetap saja suara gedoran pintu begitu menggangguku, alhasil Aku benar-benar mempercepat persiapanku bahkan sampai lupa untuk cuci muka.

Area rumah Kami masih dipenuhi oleh kawasan sawah yang hijau dan permai. Karena itu pulalah yang membuat Aku hobi sekali berlari hampir setiap hari. Pemandangan sekitar memang selalu membuatku damai, seakan menjadi terapi tersendiri bagi diriku yang tidak terlalu suka keramaian ini. Tapi apa yang mau dilihat pukul 3:50 pagi? Bahkan Planet Venus pun masih bersinar terang, boro-boro ada matahari. Apalagi dinginnya angin dini hari yang menimpa kulit kami membuat lari pagi ini terasa agak menyiksa.

Sepuluh menit berlari Nissa pun mulai ngos-ngosan.

“Huh, Kak, berhenti dulu Kak,” ucapnya, dengan nafas tak teratur. Padahal keringatku baru saja mulai menetes. Demi menepati janji kemarin Aku pun ikut berhenti. Kami memilih pos ronda kecil di dekat sawah. Sayangnya tak ada siapa pun di pos ronda yang gelap itu. Tak ada pula sinar lampu sedikit pun. Jujur saja, Aku agak bergidik ngeri untuk berhenti di sana, takut ada roh-roh asing yang kami ganggu istirahatnya. Namun mau apa lagi, Nissa benar-benar kelelahan. Jika dipaksa berjalan lebih jauh lagi kayaknya Ia bisa pingsan.

Di sana, Kami meminum air dari botol minum yang ku bawa. Saking lelahnya Nissa bahkan langsung terbaring di pos ronda yang terbuat dari papan itu. Aku mencoba mencari hal yang bisa ku jadikan sumber cahaya. Untungnya, tepat di pojok pos terdapat lilin, piring, dan korek kayu. Sepertinya masih ada warga yang menggunakan pos ronda ini dan menyalakan lilin saat malam.

“Kak, mau tahu gak kenapa kemarin Nissa nangis?” ucapnya, tepat setelah lilinnya berhasil ku nyalakan. Di tengah redupnya cahaya nampak bulir keringat masih menetes dari wajah Nissa.

“Emang kenapa?”

Dengan kesenduan yang kembali pada raut wajahnya, Nissa pun mulai bercerita.

“Jadi sebenarnya setahun terakhir ini Nissa sudah punya pacar Kak, namanya Ramli. Dia yang dikenal anak bandel di sekolah tiba-tiba ngedeketin Nissa. Berbulan-bulan Nissa tolak tapi dia gigih banget ngebuktiin ke Nissa kalau dia udah berubah. Sampai akhirnya Nissa ngasih dia kesempatan dan kita pun pacaran, huhuhu,” kini tangisnya mulai pecah lagi.

Aku hanya mengelus kepalanya pelan. Berharap suara tangisnya tidak terlalu kencang, bakal runyam kalau ada warga yang dengar suara tangisan perempuan subuh kayak gini.

“Ta—tapi Kak, kemarin harusnya dia yang nganterin Nissa pulang. Hanya saja jam pulang sekolah pas Aku nyamperin dia di parkiran sepi, ternyata dia malah lagi peluk-pelukan sama Desy di atas motor, huhuhu, Nissa dikhianatin Kak. Apalagi Desy itu teman Nissa juga, huhuhu.” Air matanya semakin tak terbendung. Demi meredakan kesedihannya, Aku pun merangkul tubuh adikku.

Ternyata benar kata Kak Sasha, hanya galau remaja cewek pada umumnya saja. Perasaan lega sedikit menghampiri diriku, setidaknya tidak ada hal yang benar-benar buruk menimpanya. Karena jika begitu maka Aku sebagai Kakak yang bertanggung jawab atas dirinya tidak akan sanggup memaafkan diri sendiri. Namun di sisi lain diriku juga turut merasa geram Adikku disakiti seperti ini. Aku sadar kalau keluargaku punya trauma atas pengkhianatan Papa di masa lalu, Ku harap peristiwa yang dialami Nissa tidak sampai meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya.

Nissa turut membalas pelukanku, Ia memeluk tubuhku begitu kencang. Jadilah Kami berpelukan erat di tengah kegelapan. Payudara Nissa yang hanya dibalut baju olahraga bahan nilon ketat benar-benar menempel di tubuhku, bahkan meninggalkan perasaan hangat. Tangannya begitu licin tanda keringatnya saat lari barusan mengucur begitu deras. Kini Aku mencium rambutnya.

“Jangan khawatir Nis, Kakak akan selalu ngejaga Kamu.”

“Makasih Kak, memang itu yang ku harapkan dari Kakak. Cuma Kakak yang selalu bisa ngejaga Aku.” ucapnya dengan sedikit gemetar.

Nissa melepaskan pelukannya dari tubuhku, Aku pun menurutinya dengan ikut melepaskan pelukanku. Namun ternyata Ia tidak melepas pelukan semata untuk menjauhkan diri. Tiba-tiba saja Nissa menempatkan kedua tangannya di pipiku, lalu menarik bibirku ke bibirnya. Aku yang tak menyangka tidak tahu harus berbuat apa. Ku rasakan Ia memainkan bibirnya memagut bibirku yang masih tertutup kaku. Namun ciumannya yang hangat membuatku terangsang, sehingga Aku pun balas memagut bibirnya. Kini lidah kami saling bertukar, saling berbagi air liur yang hangat di tengah dinginnya cuaca ini. Kini tangannya mulai menyentuh leherku. “Sialan, hebat juga ciumannya,” batinku. Jauh lebih lihai dibanding diriku, bahkan dibanding Elma sekali pun.

Aku mulai menyentuh pinggang adikku. Dia perlahan membaringkan dirinya ke papan, membuatku ikut menurunkan tubuh, setengah menindih tubuhnya. Kami terus berciuman selama perubahan gaya itu. Akal sehat Kami sepertinya sudah hilang, kini nafsu yang menggebu sudah menguasai diri Kami. Kakinya mulai mengangkang membiarkan tubuhku masuk lewat kedua belah pahanya. Aku pun mendekatkan penis kerasku yang masih berbalut celana pendek ke leggingnya. Seketika Aku lupa jika Ia adalah saudara kandungku.

Dengan kedua tangan, ku lebarkan lagi kangkangan kakinya. Bahan leggingnya begitu lembut membuat tekstur paha dan betisnya nampak begitu terbentuk. Ku dekatkan pinggangku ke arah vaginanya.

“Ahhhh,” keluar dari mulutnya begitu penisku menyentuh vaginanya meski masih terbungkus pakaian Kami. Kini Aku telah sepenuhnya menindih tubuh adik kandungku.

Aku mulai menggesek-gesekan dua kelamin Kami. Naik turun ke atas dengan tekanan sampai benar-benar terasa nikmat di kelaminku. Tanganku mulai meremas payudaranya yang terlihat begitu ketat, saking besarnya seakan hendak merobek kaos olahraga milik Mama itu. Besar sekali payudara Nissa, tanganku sampai tidak cukup untuk menggenggamnya secara utuh. Sungguh, lelaki bodoh macam apa Ramli itu? Batinku.

“Nissa, Kamu gapapa kan?” Yang langsung dijawabnya dengan menarik kembali bibirku agar terus menciumnya. Ciuman Kami pun semakin hebat. Penisku makin kencang ku gerakkan di vaginanya.

“G-gapapa Kak, Nissa keenakan kayak gini.”

“Payudara Kamu besar banget Nis.”

“”K—Kak, Ahhh bikin Nissa puas ya,” ucapnya dengan desahan yang penuh nafsu.

“Iya Sayang, Kamu mau penis Kakak?”

“Ahhhh, Aku udah basah Kak. M–mau kontol Kakak.” Ucapnya, sambil meremas bokongku dengan kedua tangannya.

“Ahhh, Kamu mau kasihin Kakak vaginamu?”

“Ahhh iya Kak, mainin memek Aku. Aku sayang sama Kakak.”

Gesekan penisku ku percepat, begitu juga Nissa, Ia mulai menggerakkan pinggangnya naik turun. Ku rasakan jemarinya kini sudah dimasukkan ke dalam celanaku, meremas kulit bokongku secara langsung. Jemarinya yang dingin menimbulkan sensasi ngilu di bokongku.

“Ahhhh Aku mau nikmatin tubuh Kakak,” ucapannya membuat nafsuku mencapai ubun-ubun, kini Aku mendorong kedua tangannya ke atas. Dari posisi di atas Aku memandangi tubuhnya yang terbentuk oleh pakaian ketat, payudaranya yang naik turun seiring nafsunya yang memburu, juga sisi vagina legging-nya yang mulai basah, wajahnya yang penuh keringat. Aroma keringat yang keluar dari tubuhnya menguarkan aura yang menggairahkan. Figurnya sungguh seksi bahkan di tengah remangnya cahaya lilin sekalipun. Oh Aku tak peduli lagi meski dia adikku.

DUK! DUK!

 

Oh tidak, jangan lagi!

DUK!

 

Namun yang ku khawatirkan sungguh terjadi. Suara itu berasal dari beduk masjid yang dipukul kencang. Tepat setelahnya adzan subuh pun berbunyi. Sialan, Kami bisa ketahuan warga kalau begini. Kami pun dengan spontan langsung memperbaiki posisi dan kembali duduk berdampingan.

Nampak Nissa tertunduk malu di sampingku. Dada Kami berdua masih berdebar kencang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun ternyata kekhawatiran Kami terjadi, tak lama kemudian muncul rombongan Bapak-Bapak yang sedang mengenakan baju muslim melewati Kami untuk berangkat ke masjid. Beruntung Kami tidak terpergok sedang saling bertindihan.

“Mari Pak,” sapaku ramah.

“Mari.” jawab mereka serempak lalu kembali fokus mengobrol satu sama lain. Begitu mereka menghilang, Aku mematikan lilin dan Kami pun berangkat pulang ke rumah.

Nissa berjalan lebih cepat di depanku. Entah apalagi yang Ia pikirkan. Namun dalam batin Aku tak mau hal seperti ini terus berulang, sudah berkali-kali dalam tiga hari ini Aku hampir saja bercinta namun harus dihentikan di saat yang tidak tepat. Bahkan lebih naas, ujungnya baik Elma, Mama, Kak Sasha, dan kini Nissa, mereka meninggalkanku dalam keheningan yang canggung. Meninggalkanku dalam keadaan yang menggantung.

Tak ingin hal yang sama terulang, Aku mengejar Nissa dan berjalan di sampingnya. Di tengah kegelapan itu ku raih telapak tangannya. Ku susuri jemarinya dengan jariku sebelum akhirnya ku genggam dengan erat. Tangan Nissa yang awalnya sedikit gemetar kini perlahan melembut. Ia menatapku sejenak sebelum akhirnya memberikan senyuman. Subuh itu Kami bergandengan tangan menuju rumah.

Bersambung

Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
Dua Cewek Jilbab Kurus Show Memek Pengen Ngentot
foto manis bugil
Kenikmatan Gara-Gara Melihat Foto Mesum
Ngentot baby sitter
Mbak Marni, Baby Sitter Yang Merawatku Dari Kecil
Foto memek basah tante cantik lagi horny
Bermain Dengan Kak Ipar Yang Semok
tante hot
Tante Ratna Sang Rentenir Cantik
pacar anak kampung
Cerita ML dengan pacar baru ku yang masih perawan waktu rumah nya sepi
Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
Tetangga Kos Yang Cantik Based True Story
Kenangan indah dengan bu guru bawel ketika mendaki gunung bersama
500 foto chika bandung pakai celana pendek dan di bugilin pacar
cantik selingkuh
Hukuman untuk istri tercinta karena ketahuan selingkuh
tante anak hyper
Menikmati tubuh tante hyper dan anak nya yang sexy
Diajarin Ngewe Sama Bibi Ahirnya Ketagihan
gadis telanjang
Menikmati keindahan tubuh mulus yang telanjang di sampingku