Part #9 : Why It’s Happen ?

Tok tok tok

“Riiss, Haris, bangun Riisss…”

Tok tok tok

“Hariiisss…”

“Yank, bangun yank. Ayaank, bangun…”

Lidya yang terbangun karena suara berisik dari pintu oleh Viona mencoba membangunkan Haris. Dia menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu, hingga tak lama kemudian Haris menggeliat, membuka matanya.

“Hemm, ada apa yank?” tanya Haris masih malas bangun.

“Itu mbak Viona gedor-gedor, ada yang penting kali,” jawab Lidya.

Tok tok tok

“Hariiss.. Lidyaaa.. bangun dong…” kembali terdengar teriakan Viona dari luar.

“Iya mbaaak…” jawab Haris.

Dia segera bangkit menuju pintu, diikuti oleh Lidya. Dia sempat melihat jam dinding, belum ada jam 7 pagi. Harispun segera membuka pintu dan terlihat wajah Viona yang panik. Hal itu tentu saja membuat Haris dan Lidya ikutan panik.

“Ada apa mbak?”

“Ris, anterin mbak ke kantor polisi dong.”

“Hah, kantor polisi? Ada apa emangnya?”

“Mbak barusan terima telpon dari kantor polisi, masmu ditahan disana.”

“Apa? Ditahan? Kenapa mbak?”

“Katanya dia semalem kena gerebek, lagi pesta narkoba sama temen-temennya. Ayo Ris anterin mbak.”

“Eh iya iya mbak. Tapi itu beneran? Bukan telpon ngerjain gitu?”

“Bukan Ris, polisi yang nelpon tadi udah mbak tanya macem-macem, nama, tanggal lahir sampai alamat segala, dan semuanya bener, itu mas Aldomu. Buruan Ris anterin.”

“Iya mbak, aku ganti baju dulu.”

“Ya udah cepet, mbak tunggu.”

Harispun dengan cepat berganti baju, begitupun Lidya. Karena hanya ada mobil Lidya, maka mereka harus pergi dengan mobil itu. Sekalian Lidya pulang ke rumahnya nanti. Setelah berganti baju mereka menemui Viona yang terlihat masih panik di ruang tamu. Viona terlihat belum berganti baju, masih memakai piyama tidurnya yang semalam.

“Mbak, nggak ganti baju dulu? Masak mau ke kantor polisi kayak gitu?”

“Udah entar aja. Yuk cepetan aku khawatir sama mas Aldo.”

Tak lagi membantah, Haris dan Lidyapun segera berangkat bersama Viona. Haris yang menyetir mobil, dia sudah cukup hapal jalanan menuju ke kantor polisi yang dimaksud oleh Viona. Lidya duduk di belakang dengan Viona, mencoba menenangkannya. Beruntung pagi itu jalanan belum terlalu macet, sehingga setengah jam kemudian mereka sudah sampai di kantor polisi.

Viona bergegas turun dengan Lidya, sementara Haris memarkirkan dulu mobilnya. Viona langsung menuju ke bagian informasi, menanyakan dimana suaminya.

“Selamat pagi pak.”

“Iya mbak selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?”

“Saya mau lihat suami saya pak, namanya Aldo Hermansyah, semalam dia kena gerebek narkoba.”

“Sebentar bu.”

Petugas piket di bagian informasi itu terlihat membuka sebuah buku. Viona tak tahu apa yang dia lakukan, karena saking paniknya, ingin segera melihat kondisi suaminya. Tak lama kemudian polisi itu segera berdiri dan meminta Viona dan Lidya mengikutinya. Haris yang sudah memarkirkan mobil agak berlari menyusul mereka.

Viona dan Lidya serta Haris dibawa masuk ke dalam gedung itu, dan diminta menunggu beberapa saat. Petugas polisi itu melaporkan kepada temannya, dan meminta untuk membawa Aldo ke ruang yang dipakai untuk menjenguk para tahanan. Setelah menunggu sekitar 5 menit, Vionapun dipersilahkan menemui Aldo. Haris dan Lidya mengikutinya.

“Ya ampun yank, kamu gimana sih kok bisa sampai kayak gini?” tanya Viona yang langsung memeluk Aldo. Aldo terlihat wajahnya kusut, matanya juga terlihat merah, mungkin kurang istirahat.

“Duduk dulu yank, aku jelasin semuanya.”

Mereka berempat kemudian duduk. Selain mereka ada 1 orang petugas yang berjaga disitu, duduk tak jauh dari mereka.

“Aku nggak make drugs yank, aku cuma kejebak aja disana. Temen-temenku yang pake. Pas kebetulan aku mau pulang, petugas datang ngegerebek tempat itu. Banyak yang ditangkep semalam.”

“Lho kalau kamu nggak make, kenapa jadi kebawa kesini juga?”

“Karena pas diperiksa, ternyata ada paket shabu di kantong celanaku. Aku nggak tau dari kapan paket itu ada disitu, aku nggak pernah pegang sama sekali padahal. Jadi aku ditangkep bukan karena make, tapi karena dianggap pengedar.”

“Tapi kan kamu bukan pengedar yank?”

“Iya yank, tapi gimana lagi, pas diperiksa paket itu ada di kantongku, ya aku nggak bisa nyangkal. Semalem HP sama dompetku juga disita, jadi nggak bisa hubungin kamu atau siapapun. Yank, tolong, cariin pengacara buat bebasin aku.”

“Iya yank, pasti, aku pasti ngeluarin kamu dari sini, secepatnya.”

Mereka masih terus bicara disitu. Intinya, Aldo menceritakan dengan detail kejadian semalam sampai dia ikut tertangkap. Semalam, dia bersama dengan teman-temannya yang reunian berada di sebuah tempat billiard. Disana, sambil bermain mereka memang memesan cukup banyak minuman keras. Aldo sendiri ikut minum, tapi mengingat pesan dari istrinya, dia menjaga diri agar tak sampai mabuk, agar masih bisa menyetir mobil untuk pulang.

Saking asyiknya acara kumpul-kumpul mereka, Aldo sampai tak menyadari kalau ada diantara teman-temannya yang kemudian memakai narkoba. Saat Aldo menyadarinya, dia merasa kalau pertemuan mereka sudah mulai berubah arah, sehingga dia memutuskan untuk pamit. Tapi teman-temannya menahan, dan mengatakan kalau tidak akan memaksanya, ataupun orang lain yang memang tidak memakai narkoba. Akhirnya Aldo menurut. Tapi setelah setengah jam, Aldo semakin merasa tak nyaman, dia akhirnya beranjak tanpa pamit pada teman-temannya.

Tapi sialnya, sebelum sempat Aldo keluar dari tempat itu, puluhan polisi sudah datang. Mereka yang memakai narkoba langsung kelabakan, tapi tak satupun yang bisa melarikan diri karena ternyata tempat itu sudah dikepung dari berbagai arah. Akhirnya mereka tetap disitu dan diperiksa satu persatu.

Aldo awalnya tenang saja karena memang dia tidak memakai narkoba, apalagi dia lihat beberapa orang yang memang tidak bersalah dipersilahkan untuk pulang. Tapi begitu giliran dia diperiksa, ditemukan sebungkus plastik kecil shabu-shabu di kantong belakang celananya. Polisi menanyainya tapi dia sama sekali tak bisa menjawab. Dia sudah berusaha mengelak dan mengatakan kalau barang itu bukan miliknya, tapi tentu saja pembelaannya kalah telak karena barang itu benar-benar ada di kantongnya. Akhirnya dia dengan beberapa orang yang terbukti memiliki dan menggunakan narkoba di gelandang ke kantor polisi.

Semalam Aldo dan yang lainnya juga sudah di tes urine untuk mengetahui kebenaran mereka memakai atau tidak, dan saat ini hasilnya belum diketahui. Aldo menyudahi ceritanya. Haris dan Lidya sedari tadi ikut mendengarkan hanya diam saja, sementara itu Viona terlihat menangis.

“Mas, mobil mas Aldo sekarang dimana?”

“Masih di tempat semalam Ris, nanti tolong kamu ambilkan ya?”

“Iya mas, kuncinya?”

“Bentar Ris. Hmm maaf pak, kalau barang-barang saya yang disita, ada dimana ya? Bisa saya ambil kunci mobil dan STNKnya? Biar diambil sama adik saya?” tanya Aldo ke petugas yang berjaga.

“Barang-barang yang semalam masih kami simpan mas. Kalau mau diambil, nanti lapor dulu ke atasan, mungkin nanti ada yang ikut kesana, diperiksa dulu mobilnya sebelum dibawa pulang,” jawab petugas itu.

“Baik pak, terima kasih.”

“Ris, nanti tolong kamu uruskan ya? Kalau memang harus diantar sama polisi, ikut saja, mereka pasti mau geledah mobilku buat nyari barang bukti lagi. Entar kalau udah beres, kamu bawa pulang mobilnya,” ucap Aldo.

“Iya mas, biar aku urus nanti.”

Setelah satu jam berada di ruangan itu, petugas jaga itu memberi tahu kalau waktu berkunjung sudah cukup. Dengan berat hati Viona terpaksa meninggalkan suaminya.

“Mbak, mbak Viona sama Lidya tunggu disini dulu ya, biar aku coba urus kunci dan STNK mobil,” ucap Haris.

“Iya Ris.”

Setelah Haris melangkah pergi, Viona dan Lidya duduk di deretan kursi yang disediakan disitu.

“Lid, bisa bantuin mbak nggak?”

“Iya mbak, bentar ya, aku hubungin kakak dulu.”

Viona mengangguk. Untuk kedua kalinya dia harus meminta bantuan Lidya dengan kasus yang sama, tapi orang yang berbeda. Beberapa saat Lidya menghubungi kakaknya, kemudian kembali duduk di samping Viona.

“Gimana Lid?”

“Iya mbak, aku udah bilang sama kakakku. Dia mau ngurus masalah ini, tapi bukan dia langsung karena kan nggak tugas disini. Dia ada temen disini, dan katanya mau minta bantuan temennya itu. Kita tunggu dulu aja sampai temennya itu dateng.”

“Makasih ya Lid, mbak udah banyak banget ngerepotin kamu. Mbak bener-bener hutang budi sama kamu.”

“Ih udah ah mbak nggak usah gitu, aku sama kakak tulus kok nolong mbak Viona. Kalau emang mas Aldo bener-bener nggak salah, dia pasti bakal cepet dikeluarin, mbak tenang aja ya.”

Kembali Viona mengangguk. Dia masih belum bisa berpikir apa yang mau dilakukan selanjutnya karena pikirannya masih kalut dengan adanya Aldo di tahanan. Dia tahu Aldo, tidak mungkin suaminya itu bersalah. Aldo memang dulunya suka minum, tapi tak pernah sekalipun dia memakai narkoba. Apalagi setelah kenal dan dekat dengan Viona, apalagi setelah menikah, kebiasaan minum Aldo benar-benar berkurang drastis, belum tentu sebulan sekali dia minum alkohol.

Tak berapa lama kemudian Haris sudah kembali. Dia mengatakan sudah mendapatkan ijin untuk mengambil mobil Aldo, tapi akan diantar oleh beberapa polisi, yang sekalian akan melakukan penggeledahan di mobil itu. Dia akan pergi sendiri, dan meminta agar Lidya mengantarkan Viona pulang, tapi Viona menolak karena masih menunggu seseorang, yaitu teman dari kakaknya Lidya, untuk mengurus masalah Aldo. Akhirnya Harispun berangkat ke tempat dimana semalam Aldo berkumpul dengan teman-temannya, naik mobil polisi.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pria yang usianya sekitar 30an, sebaya dengan kakak Lidya. Lidya mengenalinya dan langsung menyapanya.

“Mas Andi,” sapa Lidya.

“Hei Lid, apa kabar? Udah dari tadi?” balas pria itu menghampiri Lidya dan Viona.

“Kabar baik mas. Iya udah sejam lebih. Kakak tadi udah hubungin mas Andi?” tanya Lidya.

“Iya, makanya ini aku kesini, harusnya sih libur, tapi Jordi minta tolong, ya aku langsung kesini. Ada apa sih?” tanya Andi.

“Gini mas, oh iya, kenalin dulu, ini mbak Viona, senior aku di kantor.”

“Andi.”

“Viona.”

“Jadi gini mas Andi, suaminya mbak Viona semalem ikut kegerebek pas lagi kumpul sama temen-temennya…”

Lidya kemudian menceritakan duduk permasalahannya kepada Andi. Andipun akhirnya mengajak mereka masuk ke sebuah ruangan, ke mejanya, agar bisa lebih enak ngobrolnya. Dia banyak bertanya kepada Lidya dan terutama Viona. Setelah mendapat penjelasan dari Viona dan Lidya, Andi berjanji akan berusaha sebaik mungkin membantu mereka. Selama Aldo memang tidak bersalah, dia pastikan akan mengeluarkan Aldo secepatnya, tapi memang untuk sementara Aldo harus menginap dulu di tahanan sampai bukti-bukti untuk membebaskan Aldo terkumpul.

“Saya bener-bener minta bantuanya ya mas Andi, saya yakin suami saya nggak salah sama sekali, dia dijebak,” ucap Viona.

“Iya mbak, tenang aja. Pokoknya kalau bener-bener terbukti mas Aldo nggak bersalah, kami pasti langsung bebaskan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin,” jawab Andi.

“Terima kasih mas.”

“Ya sudah, sebaiknya kalian pulang dulu saja, nanti saya akan kabari perkembangannya. Oh iya, saya minta nomer kalian ya.”

Setelah bertukar nomer telpon, Lidya dan Viona pun meninggalkan kantor polisi, pulang. Lidya sempat mengabari papanya, menceritakan apa yang sedang terjadi, sekaligus minta ijin pulang terlambat karena ingin menemani Viona dulu. Papanya memberinya ijin.

Sesampainya di rumah, mereka masih menunggu kedatangan Haris. Sudah cukup lama, tapi Haris belum datang juga. Akhirnya Lidya berinisiatif untuk menghubungi Haris, tapi tak diangkat. Dia pikir Haris mungkin sedang di jalan menuju arah pulang. Tapi tak lama kemudian, Haris menelpon balik Lidya.

“Iya Ris, kamu dimana? Udah jalan pulang?”

“Lid, ada masalah.”

“Masalah apa?”

“Tadi waktu mobilnya mas Aldo diperiksa, ternyata di dalam bagasi ditemuin paketan besar. Isinya ada shabu sama ganja. Lumayan banyak Lid. Ini aku harus ikut mereka lagi ke kantor polisi.”

“Hah? Serius kamu Ris?”

“Iya. Ya udah ya, ini udah mau nyampai kantor polisi, nanti aku hubungi lagi.”

“Eh Ris tunggu, nanti sampai disana kamu temuin mas Andi.”

“Mas Andi siapa?”

“Dia polisi dari bagian narkoba, tanya aja nanti. Kamu bilang aja kamu adiknya mas Aldo, temenku gitu.”

“Oke, ya udah kalau gitu.”

Haris memutuskan sambungan telponnya. Sementara Viona yang dari tadi di samping Lidya tampak mencium gelagat kurang baik dari pembicaraan Lidya dan Haris tadi.

“Ada apa Lid?”

“Hmm, mbak, ada sedikit masalah.”

“Masalah apa? Haris kenapa?”

“Bukan Haris mbak, tapi mobil mbak Viona.”

“Kenapa mobilnya?”

“Tadi Haris bilang, waktu diperiksa, di bagasi mobil ditemukan paketan shabu dan ganja yang lumayan banyak. Dan mobil itu sekarang dibawa ke kantor polisi, Haris juga ikut kesana lagi.”

“Apa? Kok bisa?”

“Nggak tau mbak. Tadi aku udah bilang sama Haris buat nemuin mas Andi. Kita tunggu kabarnya aja mbak.”

Viona menjadi semakin panik mendengar kabar itu. Dia tak tahu lagi harus bagaimana. Entah bagaimana caranya ada barang-barang haram itu di mobilnya, padahal dia ingat sekali, kemarin sebelum Aldo berangkat, Viona sempat membuka bagasi untuk mengambil barangnya yang tertinggal disitu, dan setelah mengambil barangnya itu, dia yakin sekali kalau bagasi tertutup dalam kondisi kosong, tidak ada apapun. Tapi bagaimana bisa ada barang seperti itu? Siapa yang menaruhnya? Apakah Aldo sendiri? Atau ada yang sengaja menjebak Aldo?

Hampir 2 jam lamanya Viona dan Lidya menunggu, sampai kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah mereka. Lidya bergegas membukakan pintu, ternyata itu adalah Haris yang diantar oleh Andi. Andi ikut turun dan masuk ke rumah bersama Haris. Dia kemudian dipersilahkan duduk di ruang tamu. Lidya dan Viona juga segera duduk disana.

“Mbak Viona, sebelumnya saya minta maaf sekali, tapi sepertinya proses untuk membebaskan mas Aldo akan butuh waktu sedikit lama. Mungkin tadi Haris sudah memberitahukannya kan?” tanya Andi membuka pembicaraan.

“Iya mas. Tapi, saya yakin itu bukan punya suami saya. Itu pasti ada yang ngejebak dia mas. Tolong saya mas, bebasin suami saya,” ucap Viona, mulai terisak.

“Iya mbak, tadi kan saya udah janji. Saya bakal berusaha sebisanya untuk membebaskan mas Aldo. Cuma memang ini akan jadi lebih sulit, karena barang yang ditemukan di mobil itu, jumlahnya cukup banyak, yang kalau kita nggak bisa membuktikan kalau itu bukan milik mas Aldo, bisa bikin dia dipenjara cukup lama, paling nggak 10-20 tahun.”

Tangis Viona pecah seketika, membayangkan hal buruk itu terjadi pada suaminya. Dia percaya suaminya tidak bersalah, tapi bagaimana cara membuktikan sementara jelas-jelas barang itu ada di mobilnya.

“Tapi, masih bisa diusahakan kan mas?” tanya Lidya, yang sedang memeluk Viona untuk menenangkannya. Andi tersenyum.

“Aku akan coba Lid. Aku udah nyuruh anak buahku buat nyari sidik jari di barang itu. Kalau ada sidik jari orang lain, apalagi orang itu semalam ikut tertangkap, itu yang akan kita coba pakai buat ngebebasin mas Aldo. Intinya, kalau barang itu bukan punya mas Aldo, pasti tidak ada sidik jarinya disana kan?”

“Iya mas. Pokoknya tolongin ya mas, lakuin apapun deh, please,” mohon Lidya.

“Kamu nggak usah segitunya, aku pasti bantu kok. Aku punya utang budi sama kakakmu, jadi pasti aku bakal lakuin apapun buat bebasin Aldo, tenang aja.”

“Makasih mas.”

“Iya, sama-sama. Tapi untuk sementara, mobilnya belum bisa dibawa pulang dulu ya, karena termasuk barang bukti. Sekalian mau aku periksa, siapa tau ada sidik jari lain disana.”

“Iya mas, nggak masalah, yang penting mas Aldo bisa cepet bebas,” sahut Haris menimpali.

“Ya udah kalau gitu aku permisi dulu. Aku mau balik ke kantor, biar semua bisa cepet diberesin. Nanti ada perkembangan apapun, aku kabarin ke kalian.”

Andi beranjak dari rumah, diantar oleh Haris sampai di pagar. Setelah Andi pergi, Haris kembali masuk ke rumah. Dia masih membiarkan Lidya menenangkan Viona yang terus menangis. Dia juga bingung apa yang harus dilakukan, karena tak pernah berurusan dengan hal-hal seperti ini sebelumnya.

Lidya kemudian meminta Haris untuk pesan makanan, delivery saja. Haris baru menyadari kalau sedari pagi tadi mereka belum makan. Dia sebenarnya lebih ingin makan masakan Lidya, tapi kondisi Viona saat ini tidak memungkinkan untuk ditinggal, akhirnya diapun menuruti perintah Lidya.

Viona hanya bisa makan sedikit saja, karena pikirannya sedang kalut. Perkataan Andi tadi masih membekas di benaknya. Dia tak bisa membayangkan kalau ternyata suaminya divonis bersalah dan harus dipenjara selama 20 tahun. Bukan apa kata orang, atau apa kata keluarga yang dia khawatirkan, tapi bagaimana dia harus menjalani hidup selama 20 tahun dengan kesendirian, karena suaminya harus dipenjara.

Bayangan-bayangan buruk itu yang membuat pikiran Viona semakin kalut, hingga akhirnya karena saking tak kuatnya, dia tak sadarkan diri. Haris sempat panik, tapi Lidya menenangkannya. Haris membopong tubuh Viona ke kamar dan menidurkannya di ranjangnya.

“Ris, aku balik dulu aja ya. Entar sore aku kesini lagi, tapi mungkin nggak nginep. Besok berangkat kerja biar aku jemput, kan mobil kalian masih di kantor polisi.”

“Iya Lid, makasih banyak. Maaf banget udah ngerepotin kamu ya?”

“Udah, jangan gitu. Nggak usah terlalu dipikirin. Kamu jagain mbak Viona. Kalau ada apa-apa buruan telpon aku.”

“Iya.”

“Ya udah aku pulang dulu ya.”

“Iya, hati-hati dijalan.”

Haris mengecup bibir Lidya kemudian mengantarkannya sampai ke depan. Setelah Lidya pulang, dia kembali ke kamar Viona. Terlihat wajah pucat Viona yang masih tak sadarkan diri. Dia kasihan melihatnya. Ingin dia menghubungi keluarga Viona ataupun keluarga Aldo, tapi diurungkannya. Biar nanti saja Viona sendiri yang menghubungi, atau minimal Viona yang memintanya untuk menghubungi mereka. Dia tidak ingin nanti buru-buru memutuskan, tapi Viona justru marah kepadanya.

 

+++
===
+++​

Haris yang sedang berada di kamar Viona untuk menungguinya sambil memainkan handphonenya, dikejutkan oleh handphone Viona yang berdering. Dilihatnya di layar, tidak ada nama yang tertera disana, hanya nomer. Dia lihat kembali ke arah Viona, masih belum sadar juga, akhirnya diapun berinisiatif untuk mengangkatnya, karena siapa tahu itu dari Andi, dan ada kabar pending tentang Aldo.

“Halo mbak Viona, ini saya Andi.”

“Halo mas, ini Haris, mbak Vionanya masih istirahat.”

“Oh kamu Ris. Ya udah nggak papa, sama kamu aja.”

“Ada kabar apa mas?”

“Gini Ris, kondisinya makin ruwet sekarang.”

“Makin ruwet? Makin ruwet gimana mas?”

“Kami udah periksa barang yang ada di mobil, dan yang kami temukan cuma sidik jari Aldo, nggak ada sidik jari orang lain disitu.”

“Hah, yang bener mas?”

“Iya Ris. Dan, ada satu hal lagi yang bikin semuanya bakal tambah sulit.”

“Ada apa lagi mas?”

“Hasil tes urine Aldo, dia positif pake narkoba.”

“Apa? Mas, ini nggak salah?”

“Nggak Ris, ini nggak salah. Semua orang yang ditangkap semalam, semuanya positif pake narkoba, termasuk Aldo.”

“Haduuh, gimana terusnya mas?”

“Aku juga bingung Ris, masalahnya semua bukti justru menguatkan kalau Aldo bersalah. Ini bener-bener sulit Ris. Aku udah ngomong sama Aldo tadi, dan dia tetep bersikukuh kalau dia nggak bersalah. Aku sih percaya sama dia, tapi dengan semua bukti itu, aku nggak bisa apa-apa.”

“Haduuh, gimana ya mas? Apa nggak ada cara lain gitu buat ngebebasin mas Aldo?”

“Sulit Ris. Nanti biar aku coba omongin sama atasanku dan kakaknya Lidya. Kamu coba kasih tau Viona pelan-pelan ya.”

“Nah itu dia yang aku bingung mas.”

“Bingung gimana maksudnya?”

“Mbak Viona tuh, sebenarnya nggak lagi istirahat. Dia tadi pingsan, mungkin kepikiran mas Aldo yang lagi dipenjara. Lha kalau sekarang dengar kabar itu, gimana jadinya nanti.”

“Hmm, aku juga nggak tau Ris. Tapi gimanapun juga dia pasti bakal tau kan. Yaa gimana kamu sama Lidya lah ngasih taunya, pelan-pelan aja. Nanti aku juga akan coba bantu, setelah aku bicarain sama atasanku dan kakaknya Lidya.”

“Iya deh mas, makasih ya. Aku coba omongin sama Lidya dulu.”

“Ya udah kalau gitu, cuma mau kasih tau itu Ris. Nanti kalau ada kabar aku hubungin.”

“Eh mas, entar hubunginnya ke nomerku dulu aja ya, takutnya mbak Viona nanti nggak bisa denger kabar yang kurang baik gini.”

“Ya udah kamu sms aku aja pake nomermu, biar nanti aku simpan.”

“Oke mas, makasih ya.”

Haris menutup telpon, dan meletakkan kembali handphone itu di meja samping ranjang Viona. Dia menatap Viona yang masih belum bangun. Sekarang, dia yang bingung, bagaimana caranya mengatakan hal ini kepada Viona.

Ah, aku harus ngomong sama Lidya dulu ini, biar dia bantuin ngomong.’

Bersambung

Pembantu hot
Menikmati pantat montok pembantu ibuku yang manis
Foto Memek Mulus Tembem Masih Perawan Asli
Dasar… Baby Maker!
Melayani Janda Muda Sange Berat
pembantu hot
Selingkuh dengan pembantu untuk balas dendam kepada istriku
super sexy
Cerita hot bertemu cewek super sexy di tempat fitnes
Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
bokep teller bca
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Dua
Cerita Panas Menjadi Pemuas Nafsu Tante Girang
Cerita Dewasa ABG Sekolah Ingin Merasakan Enak-Enak
cantik sange
I Love You Rini
ibu guru mandi
Gairah Sex Bu Firdha, Guru Biologi Berjilbab Yang Alim
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
melayani Nafsu Bejat ipar
Melayani Nafsu Bejat Ketiga Ipar Ku Sendiri
Dua Cewek Jilbab Kurus Show Memek Pengen Ngentot
ibu kost hot
Cerita sex pelampiasan nafsu ibu kost yang kesepian