Part #12 : Free, Although Not Completly

Sebulan berlalu sejak Andi datang ke rumah Viona dan membuat perjanjian itu, dan sekarang Viona bersama Haris sedang berada di kantor polisi untuk menjemput Aldo. Andi benar-benar menepati janjinya untuk membebaskan Aldo. Entah bagaimana caranya, Viona tak menanyakan itu, yang penting Aldo bisa benar-benar bebas. Dan selama sebulan itu, dia juga tetap melayani Andi seminggu sekali, kecuali minggu ini yang Andi meminta sampai 2 kali, dan Viona tak bisa menolaknya.

Tapi Aldo tidak sepenuhnya bebas. Perkara kepemilikan barang bukti itu sudah berhasil diatasi dengan baik oleh Andi, tapi perkara tes urine Aldo yang positif memakai narkoba tidak bisa dibereskan, sehingga Aldo harus menjalani terapi di panti rehabilitasi. Pihak kepolisian menetapkan waktu minimal sebulan Aldo harus berada disana, dan jika dari pihak panti rehab sudah memberikan rekomendasi, maka Aldo bebas sepenuhnya.

Adlo nampak keluar dari sel dengan wajah gembira, meskipun tak bisa dipungkiri penampilannya sekarang agak lusuh. Viona menyambutnya dengan suka cita, dia langsung memeluk erat saat bertemu Aldo. Dia sangat senang akhirnya Aldo bebas dari penjara.

Viona merahasiakan kesepakatannya dengan Andi dari orang lain. Andi juga sudah berjanji untuk tidak meminta yang macam-macam lagi pada Viona, dan Viona juga sudah menghapus rekaman suara Andi waktu itu. Dia lega karena ternyata Andi benar-benar memegang janjinya, meskipun terlambat 2 hari dari waktu yang dijanjikan.

Setelah berterima kasih dan berpamitan dengan Andi, merekapun pulang. Haris yang mengemudi mobil, Aldo dan Viona duduk di belakang. Jalanan minggu siang itu cukup macet, tapi sama sekali tak membuat mereka penat karena sedang merasa bahagia.

Sesampainya di rumah, Aldo langsung mandi, membersihkan badannya. Sementara Viona menyiapkan makanan spesial untuk menyambut kepulangan Aldo. Haris hanya menunggunya sambil menonton TV. Dia ikut senang dengan kebahagiaan Viona saat ini.

Haris sendiri sudah beberapa minggu ini hanya menghabiskan waktunya, terutama saat weekend, di rumah saja. Pacar Lidya sudah datang, dan Lidya sekarang terus bersama pacarnya. Ada rasa cemburu yang timbul di hati Haris, tapi dia cepat-cepat menepisnya karena dia tahu itu salah. Lagipula, setiap malam mereka masih sering chating, meskipun tidak semesra sebelumnya.

“Haris, ayo makan,” ucap Viona membuyarkan lamunan Haris. Terlihat juga Aldo sudah keluar dari kamarnya, sudah terlihat sangat segar.

“Waaah makan besar ini,” ucap Haris kegirangan.

“Iya dong, kan menyambut mas Aldo pulang,” jawab Viona.

“Tapi yank, besok aku harus masuk panti,” ucap Aldo lirih.

“Yaa nggak papa yank, mau gimana lagi, daripada harus di penjara, mungkin disana kondisinya jauh lebih baik kan?”

Viona bisa berkata seperti itu karena dulu dia pernah mengalaminya.

“Iya mas, nggak papa lah, pasti disana lebih baik kondisinya, dan cuma sebulan kan? Syukur-syukur pihak panti bisa dibujuk, biar bisa ngeluarin rekomendasi lebih cepet,” Haris menambahkan.

“Iya Ris, moga-moga aja. Ya udah yuk, kita makan dulu.”

Mereka makan siang bersama. Haris bisa melihat ada perubahan di wajah Viona. Selama Aldo dipenjara, Viona memang terlihat sering pucat wajahnya. Tidak sakit, tapi hanya kebanyakan beban pikiran saja. Sebelumnya, Viona juga biasanya makannya sedikit sekali, tapi siang ini selera makannya seperti sudah kembali. Haris turut senang melihat itu.

Ada satu pertanyaan di kepala Haris, yang sebenarnya ingin dia tanyakan, tapi masih merasa tak enak dengan Aldo. Apakah Aldo benar-benar memakai narkoba? Atau dia memang hanya dijebak saja?

 

+++
===
+++​

Hari ini kembali Haris dan Viona ijin dari kantornya untuk mengantarkan Aldo ke panti rehabilitasi narkoba. Sebenarnya Haris sudah mau masuk kantor, tapi Viona memaksanya ikut karena takut nanti drop lagi kalau harus pulang setelah mengantar Aldo.

Waktu menunjukkan jam 9 pagi saat mereka sampai di panti itu, tempat yang dulu pernah ditempati Viona selama hampir setahun. Viona ingin memilih tempat lain, tapi tak bisa karena mereka harus mengikuti instruksi dari kepolisian yang meminta Aldo dimasukkan kesitu, karena memang sudah menjadi mitra kepolisian untuk menangani hal-hal seperti ini.

Aldo terlihat agak heran waktu mereka sampai. Beberapa orang perawat terlihat cukup kenal dan akrab dengan Viona.

“Ooh cuma temen main aja kok dulu,” ucap Viona saat ditanya Aldo bagaimana para perawat itu bisa kenal dengannya.

Aldo hanya mengangguk, seperrtinya tak terlalu perduli dengan hal itu. Setelah melakukan registrasi, mereka diantar ke ruangan tempat Aldo akan tinggal selama minimal untuk sebulan ke depan. Setelah beberapa jam di kamar itu, Viona dan Haris minta ijin untuk pulang, dan berjanji akan sering-sering mengunjungi Aldo.

“Kita langsung pulang mbak?” tanya Haris setelah mereka keluar dari kamar Aldo.

“Nggak Ris, kita temui dulu kepala panti.”

“Mau ngapain?”

“Yaa ngobrol-ngobrol aja, sekalian tanya, bisa nggak proses rehab untuk mas Aldo dipercepat, nggak harus nunggu sebulan.”

“Oh gitu. Iya juga ya, ayo deh kalau gitu.”

Mereka berdua kemudian menuju ke ruangan kepala panti. Setelah menemui petugas yang ada di depan, mereka kemudian dipersilahkan masuk. Di dalam ruangan itu, terlihat seorang wanita paruh baya yang tampak anggun dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, ditambah dengan jubah dokter yang dipakainya. Tertera nama Regina di name tag jas dokter itu.

“Selamat siang dok,” sapa Viona.

“Hei Vi, siang. Apa kabar kamu? Udah lama nggak ketemu ya?”

Dokter Regina langsung bangkit dan memeluk Viona. Mereka sudah saling kenal, karena dulunya dokter Reginalah yang bertanggung jawab selama Viona berada di panti ini.

“Baik dok. Iya, udah beberapa tahun nggak ketemu, dokter masih cantik aja, hehe.”

“Halah kamu bisa aja. Yang ada kamu tuh yang kelihatan makin cantik, makin dewasa. Kalau aku kan udah tua. Oh iya, ini siapa?” tanyanya melihat adanya Haris.

“Ini adik ipar saya dok, namanya Haris.”

“Haris.”

“Regina. Mari silahkan duduk.”

Dokter Regina mempersilahkan mereka duduk setelah dia berkenalan dengan Haris.

“Jadi, ada perlu apa kalian nemuin aku? Apa ini soal suami kamu?” tanya Regina.

“Iya benar dok. Dokter udah baca laporannya ya?”

“Iya, aku udah baca. Dia harus ada disini minimal selama sebulan kan. Jadi, apa yang bisa kubantu?” tanya Regina, sepertinya dia sudah tahu apa yang menjadi tujuan Viona.

“Gini dok, saya mau minta maaf sebelumnya, karena datang-datang mau ngerepotin dokter. Saya yakin suami saya nggak salah, dia cuma dijebak aja. Saya juga yakin dia bukan pemakai, mungkin waktu itu dia dicekokin sama temennya. Hmm, bisa nggak dok, nantinya dokter ngasih rekomendasi ke polisi, biar suami saya nggak perlu sampai harus sebulan disini?” ucap Viona panjang lebar.

“Hmm soal itu aku nggak bisa janji sih Vi, tapi akan aku usahakan. Semua tergantung dari suami kamu juga. Nanti setelah ini, biar aku nemuin suamimu, sekalian biar aku cek ulang, apa dia bener-bener make apa nggak.”

“Makasih banyak dok, maaf lho kalau kami ngerepotin dokter Regina.”

“Halah, udah jangan gitu. Lagian kan belum tentu juga berhasil. Aku cuma bakal coba dulu. Tapi Vi, misalnya suamimu ternyata positif pake, berarti dia nggak bisa keluar cepet-cepet lho.”

“Iya dok nggak papa. Tapi, hmm, kemarin kan udah ada laporan dari polisi seperti itu?”

“Emang, tapi itu kan cuma tes urine, aku mau ambil sampel darah sama rambutnya, biar lebih valid.”

“Maaf dok menyela. Apa maksudnya dengan begitu, dokter meragukan hasil pemeriksaan kepolisian?” sahut Haris.

“Bukan meragukan. Cuma kan yang dites kemarin itu banyak. Yaa, siapa tahu ada kesalahan. Nah kalau ini kan cuma Aldo aja yang diperiksa, jadi hasilnya akan lebih valid kan? Yaah bisa dibilang untuk lebih memastikan aja. Bisa juga dipake buat ngeluarin rekomendasi kan?”

“Hmm, iya juga sih.”

“Ya udah, kalian tenang aja. Aku akan bantu sebisanya, tapi aku nggak janji lho ya, nanti kalian nagih nagih lagi ke aku.”

“Hehe nggak akan kok dok, dokter udah mau bantu aja kami udah makasih banget.”

Haris dan Viona masih menghabiskan waktu beberapa saat disana. Haris lebih banyak diam, karena obrolan lebih banyak diisi oleh pertanyaan Regina seputar kehidupan Viona setelah keluar dari panti rehab ini. Viona terlihat sekali sangat menghormati Regina, karena dokter itulah yang dulu membantunya agar benar-benar bisa lepas dari jeratan barang haram yang hampir merusak masa depannya.

“Mbak, mau cari makan atau langsung pulang?” tanya Haris. Mereka sudah di mobil, sedang terjebak kemacetan ibukota.

“Aku lagi malas masak sih Ris, kita cari makan dulu aja ya.”

“Oke, mau makan dimana?”

“Hmm, terserah aja deh, tapi yang deket-deket rumah aja.”

“Siap boss.”

Haris melajutkan mobilnya ke arah jalan pulang. Dia membelokkan mobil itu ke sebuah rumah makan yang tak jauh dari rumah mereka. Suasana sudah tidak begitu ramai karena memang sudah lewat dari jam makan siang, karena itu mereka bisa mendapat tempat dengan mudah. Saat sedang duduk menunggu pesanan, tiba-tiba Haris melihat wajah Viona mendadak menjadi pucat.

“Mbak, kenapa kok jadi pucat gitu?”

“Eh Ris, kita makan di rumah aja. Kamu bilang sama pelayan suruh bungkusin ya, ini uangnya. Aku tunggu di mobil.”

Begitu memberikan uang kepada Haris, Viona langsung mengambil kunci mobil yang Haris taruh di meja, dan segera pergi begitu saja. Haris melongo melihat tingkah Viona, sama sekali tak tahu kenapa kakak iparnya itu berbuat seperti itu.

“Maaf mas sudah menunggu, ini pesanannya.”

Haris dikagetkan oleh seorang pelayan yang mengantar pesanan mereka.

“Eh maaf mbak, ini semua bisa dibungkus nggak? Kami nggak jadi makan disini.”

“Oh bisa kok mas.”

“Tolong ya mbak, dibungkus semuanya.”

“Baik mas, mohon ditunggu sebentar.”

Pelayan itu berbalik dengan wajah tetap tersenyum, meskipun dalam hatinya jengkel juga. Tak berapa lama kemudian pelayan itu kembali membawa makanan yang sudah dibungkus, beserta notanya. Haris langsung menerima makanan itu dan menyerahkan uangnya kepada pelayan.

“Kembaliannya buat mbak aja.”

Tanpa menunggu jawaban pelayan itu, Haris buru-buru melangkah ke mobil mengikuti Viona. Pelayan itu hanya melongo, tapi kemudian tersenyum karena uang kembalian makanan Haris itu cukup banyak.

“Ayo Ris, langsung pulang,” ucap Viona saat Haris sudah masuk ke mobil.

“Mbak Viona kenapa sih?” tanya Haris, tapi Viona diam saja.

Haris tak lagi bertanya apa-apa, dia merasa ada yang disembunyikan oleh Viona, dan belum mau menceritakan sekarang. Pulang memang pilihan yang lebih baik saat ini. Sepanjang perjalanan Viona hanya diam saja. Sampai di rumahpun begitu. Dia bahkan makan di dalam kamarnya. Haris semakin heran dengan sikap Viona, tapi masih belum berani untuk bertanya macam-macam.

Apa ada hubungannya sama mas Aldo? Tapi kayaknya nggak sih, tadi pulang dari panti mbak Viona biasa-biasa aja. Terus kenapa ya? Ah semoga nggak ada apa-apa deh.’

 

+++
===
+++​

Haris duduk terdiam di kursinya. Jari-jarinya berada di keyboard laptopnya, tapi tak melakukan apapun, karena pekerjaan yang diberikan sudah beres. Tadi dia sudah bertanya, apa ada lagi yang bisa dikerjakan, tapi Viona hanya menggelengkan kepala. Haris merasa hari ini suasananya benar-benar tidak enak. Bukan hanya hari ini, tapi dari kemarin juga. Viona dan Lidya lebih banyak diam, hanya beberapa kali bersuara kalau Haris bertanya, itupun hanya dijawab seperlunya.

Dari sisi Lidya, Haris tidak tahu kenapa gadis itu bersikap seperti itu, dan dia belum menanyakannya. Sedangkan dari sisi Viona, Haris mengira sikap Viona saat ini masih ada hubungannya dengan kejadian 3 hari yang lalu di rumah makan sepulang mereka dari mengantar Aldo. Sejak saat itu, bahkan di rumahpun, Viona menjadi sangat pendiam. Selain pekerjaan, dan ajakan untuk menengok Aldo, tidak ada lagi yang dia bicarakan dengan Haris.

Suasana seperti ini tentunya sangat berbeda dengan sebelumnya, dimana ruangan ini terasa hangat dengan candaan dari mereka, atau diskusi ringan tentang pekerjaan. Sudah 2 hari ini hal itu menghilang, dan membuat Haris merasa tak nyaman. Ingin sekali dia bertanya, tapi masih sungkan. Dengan Viona, melihat sikapnya yang seperti itu, jangankan untuk bertanya, jika sedang di rumah, ingin mengajak makan saja rasanya sungkan. Dengan Lidya, sudah beberapa hari ini hubungan mereka seperti menjauh. Tidak ada lagi chating mesra setiap malam, sama sekali hilang.

Dan yang bisa dilakukan Haris saat ini hanya diam saja. Dia tak tahu harus cerita ke siapa, karena selama disini, hanya mereka berdualah tempatnya berkeluh kesah. Dia kurang begitu dekat dengan yang lainnya. Interaksinya dengan rekan-rekan kerja yang lain hanya sekedar basa-basi, saling kenal dan saling sapa, sudah seperti itu saja. Sekarang dia bingung, apakah harus nekat menanyakannya, atau menunggu saja sampai kedua orang itu kembali seperti biasanya. Masalahnya adalah entah sampai kapan suasana itu akan bertahan terus, karena dia hanya punya waktu 2 minggu lagi berada disini. 2 minggu lagi, dia akan pindah ke kantor cabang, ke tempat kerja yang baru.

“Aku mau rapat sama pak Doni, kalian lanjutin kerjaannya ya. Kalau mau makan siang duluan aja, mungkin aku agak lama,” ucap Viona tiba-tiba, yang langsung berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban dari Haris dan Lidya.

Setelah Viona keluar, kembali Haris dan Lidya hanya diam saja. Suasana yang benar-benar awkward, canggung. Beberapa kali Haris melirik ke arah Lidya, gadis cantik yang sudah beberapa kali tidur dengannya, benar-benar tidur ataupun baru tidur setelah melakukan hal yang melelahkan. Tapi Lidya tetap seperti tadi, hanya diam, dan sesekali bermain dengan handphonenya, tanpa ekspresi. Lama-lama Haris tak tahan juga dengan kondisi itu.

“Lid.”

“Hem? Kenapa?”

“Kamu kenapa sih?”

“Apanya yang kenapa?”

“Hmm, kok dari tadi diem mulu? Nggak kayak biasanya?”

“Bukannya dari kemarin juga kayak gini.”

“Iya, maksudnya dari kemarin juga. Aku ngerasa agak aneh aja, kamu dan mbak Viona, akhir-akhir ini aneh.”

“Maksudmu aneh?”

“Maaf, bukannya bermaksud apa-apa. Cuma, kalian nggak kayak yang dulu, asyik buat ngobrol, enak buat diskusi. Tapi udah beberapa hari ini lebih banyak diemnya.”

“Aku lagi nggak mood aja. Nggak tau kalau mbak Viona, harusnya kamu yang lebih tau.”

Kembali terdiam. Haris jadi bingung mau ngomong apa lagi. Tanggapan Lidya masih seperti itu. Apalagi, dia bilang sedang nggak mood, diajak ngobrolpun juga percuma sepertinya. Kembali Haris menyibukkan diri dengan apapun yang ada di laptopnya. Membuka file-file tentang pekerjaannya, juga SOP yang dia baca-baca lagi, sekedar untuk pengingat saja.

Saat jam makan siang, Viona memang tak kembali untuk mengajak mereka makan bareng seperti biasanya. Lidya juga langsung keluar tanpa berkata apapun pada Haris. Harispun membereskan laptopnya dan menuju kantin. Tadinya dia ingin mengajak Lidya makan siang bareng, tapi dia sudah terlanjur pergi duluan, mungkin makan siang dengan pacarnya.

“Hai Ris, sendirian aja?”

Haris menengok, ternyata yang menyapanya adalah Ryan, temannya sesama anak training yang berada di bagian legal. Ryan juga terlihat sendiri, dan langsung duduk di depan Haris.

“Iya nih Yan, sendiri aja.”

“Kok tumben, Lidya sama bu Viona mana? Biasanya kalian bareng?”

“Bu Viona lagi rapat sama pak Doni tadi. Kalau Lidya udah keluar, ada janji kayaknya.”

“Ooh gitu. Oh iya, gua denger lu bakal pindah ke Jogja ya?”

“Iya Yan, 2 minggu lagi pindah. Kamu sendiri gimana? Tetep disini apa pindah juga?”

“Gua tetep disini sih, padahal gua pengen banget pindah ke cabang, kalau bisa yang di luar jawa.”

“Lho kok gitu? Kamu kan asli sini, lebih enak kan kalau disini?”

“Iya emang, tapi gua kan juga pengen cari pengalaman kali Ris. Dari lahir ampe sekarang gua di Jakarta mulu, pengen tau gua tempat-tempat lain.”

“Halah, kayak nggak pernah liburan kemana gitu.”

“Yee beda kali bro. Liburan kan cuma berapa hari doang. Gua pengen ngerasain tinggal di tempat lain. Lu tau kan, di Jakarta, semuanya serba ada, serba gampang buat dapet apa yang kita mau, asal lu ada duit. Nah, gua pengen tuh ngerasain tinggal di tempat lain, kayak gimana rasanya.”

“Haha kamu ini aneh Yan, orang lain pada pengen ke Jakarta, kamu malah pengen ke daerah.”

“Karena gua udah bosen di Jakarta Ris. Lu sih belum ngerasain, karena belum ada 3 bulan tinggal disini. Gua udah hampir 25 taun, dari brojol ampe sekarang. Lagian nih ya, hidup di Jakarta itu nggak cuma harus pinter Ris, tapi pinter-pinter.”

“Hah, maksudnya?”

“Iya. Emang nggak semua sih, tapi disini banyak orang yang saling sikut, saling makan, bahkan saling bunuh. Buat apa? Cuma buat bertahan hidup. Nggak semua orang yang keliatan baik itu bener-bener baik. Orang yang keliatan lugu, bisa jadi yang paling licik diantara yang lain, makanya kita harus pinter-pinter. Hidup disini kejam mamen.”

“Hmm, sampe segitunya?”

“Yup. Dan orang juga bisa ngelakuin apapun buat dapetin apa yang dia mau. Lu harus bersyukur ada disini sekarang. Yang gua tau, orang-orang di kantor ini baik-baik, beneran baik maksud gua. Lu juga tinggal sama bu Viona kan, nggak banyak gaul juga sama orang lain, jadi lu lebih terjaga.”

Haris hanya mengangguk-ngangguk. Dia memang tak tahu persis kondisi yang sebenarnya dari kota ini. Dia juga tak tahu apa harus percaya dengan kata-kata Ryan. Tapi paling tidak, cerita Ryan itu bisa membuatnya lebih waspada lagi. Apalagi dia teringat cerita Lidya tentang masa lalu Viona, yang dimanfaatkan oleh sahabat-sahabatnya. Sahabat saja bisa seperti itu, apalagi orang lain.

Obrolan dengan Ryan masih berlangsung sampai jam makan siang habis. Ryan ternyata cukup asyik orangnya, banyak yang bisa didapat oleh Haris siang ini. Sekarang mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Dan ternyata Lidya belum juga kembali, Viona juga. Haris jadi bingung apa yang harus dikerjakan, karena tadi Viona tak memberinya tugas lagi setelah tugas pertama dia bereskan.

Setengah jam lamanya Haris hanya duduk bengong tanpa mengerjakan apapun. Tak lama kemudian Lidya datang membawakan sebuah plastik. Wajahnya terlihat berbeda, kali ini senyumnya terkembang, tidak seperti tadi, atau 2 hari terakhir.

“Nih Ris buat kamu,” ucap Lidya menyerahkan plastik itu.

“Apaan nih?”

“Cuma cemilan sama jus aja sih.”

“Waah makasih yaa. Tumben nih, ada apaan? Kayaknya lagi seneng?”

“Hehe nggak kok, anggep aja itu permintaan maaf dari aku.”

“Permintaan maaf? Permintaan maaf buat apa?”

“Yaa kan dari kemarin nyuekin kamu. Kayak yang kamu bilang tadi, pasti suasana jadi nggak enak kan? Apalagi mbak Viona juga kayak gitu.”

“Hmm. Emang kalau boleh tau, kamu kenapa sih dari kemarin?”

“Ada deh, kepo aja kamu, haha.”

Haris tak mau bertanya lebih jauh lagi, karena yang penting Lidya sudah seperti biasanya. Merekapun juga sudah kembali ngobrol seperti sebelum-sebelumnya.

“Oh iya Ris, itu mbak Viona kenapa sih?”

“Aku juga nggak tau Lid. Hari senin kemarin, waktu abis nganterin mas Aldo ke panti rehab, kami pulangnya kan mampir rumah makan gitu. Nah pas disitu tiba-tiba aja mbak Viona berubah, jadi kayak pucat gitu mukanya. Terus, dia minta makanan yang dipesen dibungkus aja, padahal belum datang juga makanannya.”

“Lah, kok gitu? Terus, pas di rumah, dia nggak cerita gitu?”

“Enggak. Pas di mobil aku sempet nanya, tapi dia diem aja. Di rumah mau aku tanya lagi, tapi nggak enak, dianya di dalem kamar terus. Sampe sekarang juga banyakan diemnya. Kan aku jadi takut mau nanya, takut salah aja.”

“Hmm, kenapa ya kira-kira?”

“Entahlah, mungkin ada sesuatu, atau mungkin dia liat seseorang, jadinya kayak gitu.”

“Emang di rumah makan itu ada sesuatu atau orang yang mencurigakan gitu?”

“Yaa aku nggak tau. Kayaknya sih nggak ada, semua normal-normal aja. Entahlah Lid, paling nanti dia juga bakal cerita sendiri sih.”

“Hmm, ya udah, nggak usah dipaksain. Kalau dia emang ada masalah biar diselesain sendiri. Kalau butuh bantuan pasti ngomong kok, tenang aja.”

“Iya deh.”

“Oh iya Ris, 2 minggu lagi kan kamu udah pindah ke Jogja. Minggu depan aku mau ngajakin kamu pergi.”

“Pergi kemana?”

“Hmm, belum tau sih, entar aku kabarin lagi.”

“Emang kapan Lid?”

“Entar weekend aja.”

“Loh weekend? Kamu nggak kencan apa?”

“Yaa kencan, sama kamu tapinya.”

“Lha pacarmu?”

“Udah deh, pokoknya weekend ini aku sama kamu. Weekend depan kan kamu udah nggak disini lagi. Pokoknya harus nurut, aku nggak mau tau.”

“Iy,, iyaa deh, terserah kamu aja. Yang penting, jangan ada masalah lho ya, aku nggak mau entar kita pergi, pacarmu malah ngamuk ke aku.”

“Beres.”

Bersambung

spg penjual susu
Perjalanan kisah sexs ku dengan SPG penjual susu
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
Cewek cantik perawan sexy
Teman Kampusku Pemuas Nafsuku
Dari Download Jadi Ngentot
pembantu polos
Menikmati orgasme dengan pembantu yang polos
pacar horny
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 1
Foto Bugil Ngentot Memek Tembem Gif Bergerak
Pengalaman sex Anggi
anak ibu kost
Menjadi Guru Yang Baik Untuk Anak Ibu Kost Ku Yang Cantik
buruh pabrik cantik
Menikmati Tubuh Buruh Pabrik Yang Cantik Dan Montok
tante hot
Tante Sexy Yang Merenggut Keperjakaan Ku
Ceria Dewasa Enak-Enak Dengan Istri Teman
cewek perawan bugil
Melly, Pacarku Yang Masih Perawan
Foto Bugilin Tante Sedang Tidur Ngangkang dan Dientot
bu guru cantik
Memuaskan hasrat ibu guru ku yang cantik