Part #14 : Thank You

“Gua pulang dulu ya, dan maaf buat yang semalam.”

“Iya nggak papa, ati-ati pulangnya. Dan terima kasih buat semuanya.”

Viona menatap kepergian Andi. Setelah Andi menghilang dari pandangannya, dia kembali masuk ke dalam rumah. Mandi, membersihkan dirinya, dan segera memasak karena dia sudah mendapat kabar kalau Haris dan Lidya sudah di jalan menuju pulang. Hari memang sudah siang, sudah lewat dari jam 12, dan tak lama lagi Haris dan Lidya akan sampai ke rumahnya.

Selesai Viona memasak, dia duduk di ruang tengah, menonton TV. Hari ini dia memutuskan untuk tidak menjenguk dulu suaminya. Dia juga sudah menghubungi salah satu perawat yang hari ini pertugas di panti rehab, yang dulu sempat merawatnya juga. Dia mengatakan kalau hari ini ada pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga tidak bisa kesana, dan memintanya untuk menyampaikan pesan ini kepada Aldo.

Dia tidak menghubungi Aldo secara langsung karena memang Aldo tidak diijinkan untuk membawa alat komunikasi apapun, seperti instruksi dari kepolisian. Viona masih memikirkan apa kata-kata Andi semalam. Dia juga memikirkan apa yang terjadi semalam. Dia sempat pingsan, dan Andi harus membopongnya ke dalam kamar. Tadi pagi saat terbangun, dia terkejut karena mengetahui Andi berada di dalam kamarnya. Tapi dia merasa tidak ada hal yang terjadi padanya, karena dia masih memakai pakaiannya semalam, dan dia tidak merasakan ada yang aneh di tubuhnya.

Tadi pagi Andi sudah mau pulang begitu tahu Viona sudah tersadar, tapi Viona menahannya. Viona ingin ada yang menemani. Jadilah Andi sedari tadi pagi hingga siang hari menemani Viona di rumah ini. Tidak ada hal lain yang terjadi, hanya ngobrol dan sarapan bareng saja. Karena Viona terlihat masih lemas, maka tadi Andi yang memasak untuk mereka. Meskipun hanya membuat telor mata sapi, tapi cukuplah untuk sekedar sarapan.

Sampai sebelum pulang tadi, Andi terus menemani Viona karena kebetulan hari ini dia tidak masuk kerja. Viona terus meminta Andi untuk bercerita apapun yang dia tahu tentang suaminya. Banyak hal yang membuat Viona terkejut, karena ternyata ada sesuatu hal besar yang selama ini disembunyikan Aldo darinya. Viona tak ingin percaya kata-kata Andi, tapi pengalamannya selama ini, termasuk ilmu-ilmu psikologi yang dia dapatkan semasa kuliah dulu, dia bisa tahu kalau Andi tidak sedang berbohong. Meskipun Viona masih belum sepenuhnya yakin, apakah Andi benar-benar jujur, atau dia terlalu pintar untuk menyembunyikan kebohongannya.

Tapi tak bisa dipungkiri, rasa percayanya kepada Andi semakin besar. Bukan tentang ceritanya semalam tentang Aldo. Tapi karena selama Viona tak sadarkan diri, kemudian terbangun dan sampai Andi pulang, lelaki itu tak melakukan apapun yang tak senonoh kepadanya. Malah, Viona yang tadi dengan sadar memeluk dan mencium pipi Andi sebelum lelaki itu pulang.

Andi terkejut, bahkan Viona sendiri juga. Dia terkejut dengan keberaniannya itu, tapi dia pikir itu hanya untuk ucapan terima kasih saja. Entah apa yang dipikirkan oleh Andi, dia tidak tahu dan tidak mau tahu, Viona tidak peduli. Dia bahkan sekarang bingung dengan rencana apa yang akan dia lakukan kedepannya setelah mendapatkan cerita Andi tadi malam dan tadi pagi.

Viona sangat mencintai Aldo, dan sudah berikrar bahwa lelaki itu akan menjadi lelaki terakhir dalam hidupnya. Meskipun dia sempat mengkhianati pernikahannya dengan melakukan perjanjian terlarang dengan Andi, menyerahkan tubuhnya beberapa kali kepada Andi, tapi itu semua dia lakukan untuk bisa membebaskan Aldo secepatnya dari penjara. Tapi dia tak menyangka, pengorbanannya ini seperti sia-sia. Bukan dalam artian gagal membebaskan Aldo, tapi sekarang Viona jadi berpikir, benarkah langkahnya untuk melepaskan Aldo dari penjara?

Semua yang diceritakan oleh Andi memang terkesan tak masuk akal. Dia memang belum cukup lama mengenal Aldo, tapi dia merasa sudah cukup banyak tahu tentang suaminya itu. Dia sudah mempelajari bagaimana sifat Aldo, bagaimana pergaulannya, sampai keluarganya juga. Dia juga tahu masalah yang dialami oleh ayah Aldo dengan keluarga besarnya, terutama kakek mereka. Banyak hal yang sudah dia tahu, tapi ternyata di balik itu semua, ada sebuah rahasia besar yang berhasil disimpan rapat-rapat oleh Aldo darinya.

Viona merasa, selama pacaran singkat dan menikah dengan Aldo, lelaki itu selalu bersamanya. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan berdua. Hanya saat urusan pekerjaan, mereka tidak bersama, atau saat beberapa kali ketika Viona harus ditugaskan ke luar kota, atau sebaliknya. Sejak menikah Aldo juga jarang berkumpul dengan teman-temannya, karena itulah bulan kemarin dia mengijinkannya untuk bertemu teman-temannya, yang berujung pada penangkapannya.

Kini Viona teringat akan percakapannya dengan Lidya dan Haris beberapa waktu lalu di kantor. Saat itu Haris curhat tentang mantan pacarnya yang menghilang begitu saja. Saat itu dia banyak memberinya masukan, Lidya juga. Dan satu hal yang sekarang paling diingat, dan dipikirkan oleh Viona dalah pertanyaan Lidya kepada Haris waktu itu.

“Seberapa kenal kamu sama cewekmu itu? Seberapa dalam kamu tahu dia? Tahu isi hatinya?”

Itu adalah pertanyaan Lidya kepada Haris waktu itu. Dan kini, rasanya pertanyaan itu layak ditanyakan kepada dirinya. Sebenarnya, seberapa jauh dia telah mengenal Aldo? Seberapa jauh dia mengetahui isi hati Aldo yang sebenarnya?

Viona juga teringat jawaban dari Haris, yang mungkin saat ini juga mencerminkan kondisinya terhadap Aldo.

“Dia tahu persis apa aja isi handphone dan laptopku, tapi aku nggak tahu apa-apa punya dia. Aku nggak tahu dia Lid.”

Begitu Haris menjawab pertanyaan Lidya. Dan kini, Viona juga merasa seperti itu, meskipun kasusnya agak berbeda. Kalau Haris tidak tahu tentang isi dari area privasi mantan pacarnya, yaitu isi handphone dan laptopnya, Viona dan Aldo sama-sama tahu, sama-sama terbuka. Viona tahu semua isi handphone dan laptop Aldo. Berapa follower akun media sosial Aldo, situs apa saja yang dikunjungi Aldo di browser handphone dan laptopnya, berapa banyak video bokep yang disimpan Aldo, dimana video-video itu disimpan, Viona tahu semuanya.

Tapi, sekarang dia merasa, hanya mengetahui kulit luarnya saja dari Aldo. Dia merasa sama sekali tak tahu tentang isinya, seperti yang baru dia dapatkan dari cerita Andi semalam. Sekali lagi, dia tidak ingin percaya dengan kata-kata Andi, tapi dia tak bisa melihat kebohongan dari setiap kata yang diucapkan oleh Andi.

Dan satu hal lagi, cerita Andi diperkuat dengan satu hal yang membuatnya panik beberapa waktu yang lalu. Tepatnya ketika dia pulang dari mengantar Aldo ke panti rehab, saat dia mampir ke rumah makan bersama Haris. Satu hal yang dia lihat, yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk segera pergi dari rumah makan itu. Satu hal yang menguatkan bahwa Andi semalam tidak bohong kepadanya.

“Huft, apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku cerita semua ini kepada Haris dan Lidya? Tapi Haris tidak akan bisa membantuku, bahkan mungkin dia tidak akan dengan mudah percaya kata-kataku karena dia adalah sepupu Aldo. Lidya mungkin bisa membantu, tapi haruskah aku terus-terusan meminta bantuan kepadanya? Dan apa kali ini, dia bisa membantuku lagi?”

Viona mengusap keningnya. Dia benar-benar bingung menentukan langkah selanjutnya yang harus dia ambil. Dia ingin membuktikan sendiri kata-kata Andi, tapi dia tak tahu bagaimana harus memulainya. Dia sudah memikirkan resikonya. Membuktikan semua itu, sama saja dengan membongkar aib masa lalunya. Dan yang lebih parah lagi, bisa saja dia terseret lagi ke dalam dunia yang sudah mati-matian dia berusaha untuk meninggalkannya.

Sedang pusing memikirkan semua yang terjadi, Viona mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. ‘Itu pasti Haris dan Lidya.’ Viona bersiap-siap. Dia tidak mau Haris dan Lidya melihat wajah kebingungannya saat ini. Diapun beranjak dari ruang tengah untuk membukakan pintu. Dan saat itu terlihat Haris dan Lidya turun. Mereka bergandengan tangan, wajah mereka terlihat begitu bahagia.

Seandainya aku bisa sebahagia itu sekarang,’ batin Viona.

“Hey hey, duh yang baru pulang honeymoon, pegangan tangan mulu? Kurang ya disana? Haha,” ucap Viona, mencoba menyembunyikan kegalauannya.

“Hehe kalau dibilang kurang sih, yaa pasti mbak, haha,” jawab Haris.

“Diih kurang mulu. Masih nggak puas bikin aku susah jalan gini?” sindir Lidya.

“What? Susah jalan? Wah kamu diapain aja Lid sama adikku ini?”

“Haha, ada deh, masak diceritain sih mbak rahasia kamar kami? Haha.”

“Haha, ya udah ayo masuk. Aku udah masakin buat kalian berdua tuh.”

“Waah asyik, pas banget nih perut laper. Bener kan Lid, untung kita nggak jadi mampir beli makan tadi, kalau nggak kan kasian mbak Viona udah capek-capek masak.”

“Iya, hehe. Ya udah yuk, makan kita.”

Merekapun akhirnya makan siang bersama. Obrolan hangat menghiasi makan siang mereka. Yang lebih banyak adalah sindiran-sindiran Viona kepada Haris dan Lidya, meskipun dalam hari dia iri melihat kemesraan mereka berdua. Setelah makan dan membereskan piring dan meja makan, mereka duduk berkumpul di ruang tengah sambil nonton TV dan melanjutkan obrolan mereka.

“Eh mbak, tadi aku liat mas Andi pas di jalan, kayaknya sih dari arah sini. Dia tadi dari sini?” tanya Haris.

“Andi? Nggak tuh. Dimana kamu liatnya?”

“Di jalan sih, nggak jauh dari sini, perempatan kedua dari sini.”

“Ooh, mungkin lagi tugas kali, patroli. Lagian kok kamu tau kalau itu Andi?”

“Dari motornya mbak, kan aku inget karena pernah dianterin sama dia. Dia juga nggak lagi tugas kok, orang cuma pake kaos sama jeans gitu, iya kan Lid?”

“Iya mbak, kirain tadi dari sini.”

“Ooh. Nggak sih, mungkin abis main aja kali. Lagian ngapain dia kesini, kan urusan mas Aldo udah beres sama polisi, tinggal rehabnya aja.”

“Iya juga sih ya.”

Mereka kemudian mengganti topik pembicaraan. Haris dan Lidya yang sedang bahagia, tak terlalu memperhatikan perubahan mimik wajah Viona. Sebenarnya Haris dan Lidya, terutama Lidya, sama seperti Viona, bisa menganalisa seseorang bohong atau tidak dari perubahan mimik wajah dan gerak bola mata orang itu. Tapi tentu saja karena sudah mengetahuinya, Viona bisa saja mengaturnya agar tak terlihat berbohong. Tapi sebenarnya tadi, mimik wajahnya sempat berubah, yang untungnya tidak terlalu diperhatikan oleh Haris dan Lidya, karena mereka sedang asyik sendiri.

Hari sudah beranjak sore dan Lidya sudah pamit pulang. Sebelum keluar dari rumah, dia sempat memeluk erat dan mencium bibir Haris di depan Viona. Sepertinya Lidya melakukan itu karena merasa tak akan ada lagi kesempatan melakukannya, karena minggu depan Haris sudah akan pindah tempat kerja, dan selama seminggu kedepan pacarnya tidak ada kegiatan dan yang pasti akan dihabiskan waktunya dengan Lidya.

Selepas Lidya pulang, Haris langsung mandi, berganti baju dan kembali ke ruang tengah, menemani Viona yang sedang menonton TV. Awalnya mereka tak banyak bicara, karena tadi sudah ngobrol banyak dengan Lidya juga. Tapi kemudian Haris membahas Aldo, dan Vionapun meladeninya.

“Oh iya mbak, hasil tesnya mas Aldo udah keluar belum sih? Mbak udah dihubungi sama dokter, hmm, siapa itu namanya?”

“Dokter Regina?”

“Iya, dokter Regina. Udah dihubungi mbak? Hasilnya gimana?”

“Belum sih Ris, dia belum ada ngehubungin aku, jadi belum tau juga hasilnya gimana.”

“Ooh gitu yaa..”

“Iya, emang kenapa sih?”

“Nggak. Gini lho mbak, minggu depan kan aku udah pindah ke Jogja. Ya aku kepikiran aja kalau harus ninggalin mbak Viona sendirian. Kalau misalnya hasil tes itu udah keluar dan ternyata hasilnya negatif, mas Aldo kan bisa cepet pulang, jadi mbak Viona nggak kelamaan sendirian di rumah.”

“Ooh gitu. Yaa aku sih berharapnya juga gitu Ris, tapi gimana lagi hasilnya belum keluar juga.”

“Apa nggak sebaiknya mbak aja yang hubungin dia? Biar cepet aja mbak ketauan hasilnya gitu.”

“Yaa nggak enak juga dong Ris, dia kan pasti punya kerjaan lain, nggak cuma ngurus mas Aldo. Dia sekarang udah jadi kepala panti soalnya. Kalau pas kasusku dulu kan dia yang nanganin aku, jadi kalau laporan apa-apa cepet. Eh tunggu, hmm, kamu udah tau ini dari Lidya kan? Soal aku?”

“Iya mbak, udah tau kok. Kan mbak juga udah janji nggak marah sama dia.”

“Iya iya mbak ingat. Mbak juga akan tetep pegang janji kok. Jadi ya gitu deh Ris, sekarang kita cuma bisa nunggu aja, nggak enak kalau nanya-nanya gitu, orang kita aja udah dibantuin sama dia kan.”

“Iya juga sih. Tapi gimana entar kalau mas Aldo harus bener-bener disana selama sebulan? Kalau dihitung-hitung kan, bakalan 2 minggu mbak Viona sendirian di rumah ini?”

“Yaa mau gimana lagi, emang harus kayak gini kan?”

“Apa nanti aku minta sama Lidya aja mbak biar dia sering-sering nginep sini nemenin mbak? Aku yakin sih dia mau, pak Doni juga pasti ngijinin.”

“Nggak perlu lah Ris. Aku tuh udah hutang budi banyak banget sama dia. Masak sekarang mau nambah hutangku lagi?”

“Yaa bukan gitu mbak, tapi kan demi mbak juga.”

“Udah nggak usah. Lidya juga punya kehidupannya sendiri, jangan terlalu jauh kita mencampurinya. Kalau dia mau nemenin aku, ya biar dia datang sendiri tanpa diminta, jangan dia datang kesini karena terpaksa, dan ngorbanin kepentingannya sendiri.”

“Ya udah deh kalau gitu.”

Haris mengiyakan, tapi dalam hati dia berjanji akan secepatnya bicara dengan Lidya, memohon agar gadis itu mau menemani Viona setelah dia pergi. Haris tak tega melihat Viona harus tinggal sendirian menunggu Aldo keluar dari panti rehab. Dia sudah menyayangi Viona, dan sudah menganggapnya seperti kakaknya sendiri. Kebetulan juga Haris adalah anak pertama, tidak pernah merasakan punya kakak. Ada pun hanya kakak sepupu yang jarang ketemu.

Selama tinggal bersama dengan Viona dan Aldo selama hampir 3 bulan ini, dia memang lebih dekat ke Viona. Selain karena urusan pekerjaan, sikap baik Viona juga membuat akhirnya mereka begitu dekat dan saling menyayangi layaknya kakak adik kandung. Itulah mengapa Haris merasa benar-benar tak tega meninggalkan Viona sendirian. Apalagi saat tahu bagaimana rekasi Viona saat mendengar kabar Aldo masuk penjara sebulan lalu. Dia tak bisa membayangkan bagaimana nanti kalau Viona mendengar kabar kurang baik lagi tentang Aldo. Kalau bisa, dia ingin meminta waktu sampai Aldo keluar dari panti rehab agar bisa menemani Viona. Tapi tentu saja itu tidak bisa karena sudah menjadi kebijakan perusahaan yang menggajinya.

 

+++
===
+++​

Malam ini Haris dan Viona sedang makan malam. Karena Viona sedang malas memasak dia pesan makanan dari luar. Haris ikut saja apa kata Viona, karena dia juga cuma numpang di rumah ini. Baru saja selesai makan malam, handphone Viona yang ada di kamarnya berbunyi. Dia segera beranjak menuju kamarnya, sedangkan Haris membereskan piring dan meja makan. Tak lama kemudian Viona keluar dari kamarnya dan langsung menuju ke ruang tengah, Haris mengikutinya.

“Ada apa mbak?” tanya Haris saat melihat wajah Viona yang cemberut menatap layar handphone.

“Nih baca aja sendiri,” jawab Viona memberikan handphonenya kepada Haris.

Haris melihat ada sebuah SMS disitu. Tertera nama dokter Regina sebagai pengirim.

from : dokter Regina said:

Selamat malam Viona, maaf kalau aku ngabarin lewat sms. Ini tentang Aldo. Hasil tes darah dan rambutnya sudah keluar, dan hasilnya tidak seperti yang kita inginkan. Aldo positif menggunakan narkoba, bahkan sepertinya dia sudah lama memakainya, bukan baru-baru ini. Jadi dengan hasil ini, aku nggak bisa ngasih rekomendasi apa-apa ke polisi.

Haris bengong setelah membaca SMS dari Regina. Dia tak percaya, kakak sepupunya yang dia kira bersih itu, ternyata adalah benar pengguna narkoba, bahkan bukan pengguna baru. Haris menatap kearah Viona yang terlihat kesal sekali wajahnya. Dia tak berani berkata apa-apa karena tak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan Viona sekarang.

“Saat ini aku jadi mikir Ris, benarkah keputusan kita membebaskan Aldo,” ucap Viona tiba-tiba.

“Maksudnya mbak?”

“Iya, kita mati-matian berusaha, minta tolong sana sini, karena kita yakin kalau dia nggak salah dan bener-bener dijebak. Tapi liat sekarang, dia malah positif memakai narkoba. Jangan-jangan, barang-barang yang ditemukan di mobil itu memang bener miliknya.”

Jelas sekali terdengar nada kesal dari ucapan Viona. Kali ini Haris tak tahu harus menjawab apa. Dia bingung, benar-benar tak menyangka seperti ini jadinya.

“Aku memang dulu pernah seperti itu, terjebak dalam lingkungan narkoba, dan itu berjalan cukup lama. Aku bahkan sampai harus direhab di panti itu hampir setahun lamanya. Dan kamu tau, betapa bencinya aku dengan mereka para pengedar narkoba? Sekarang, suamiku sendiri yang kemungkinan melakukan itu!”

“Mbak, tapi kan itu belum pasti. Mungkin memang mas Aldo bener pengguna, dan itu udah lama, tapi soal pengedar, kan belum tentu mbak.”

“Ris, kamu denger sendiri kan omongan Andi tempo hari? Dia bilang, di barang-barang yang disita itu, nggak ada sidik jari orang lain selain Aldo. Itu artinya dijebak ataupun enggak, dia pasti udah megang barang itu.”

“Iya, tapi kan bisa aja ada temennya yang nitip di taruh di mobil, dan mas Aldo sama sekali nggak curiga.”

Viona menatap mata Haris dengan tajam, yang membuatnya sedikit ketakutan.

“Kamu kenal Aldo kan? Kamu tau kan Aldo nggak akan seceroboh itu?”

“Iya mbak, aku kenal dia dan aku tau itu. Tapi sekarang gini deh mbak, maaf ya bukannya aku mau ngebela atau gimana. Inget nggak pertama kali kita datang ke kantor polisi buat jenguk mas Aldo? Waktu itu kan aku nanya dimana mobilnya. Dia nyuruh aku buat ngambil, dan dia bilang kalau ada polisi yang mau ikut biar mobil itu diperiksa dulu, kalau aman baru aku bawa pulang,” Haris mencoba memberi alasan kenapa dia membela Aldo.

Viona kembali terdiam. Ada benarnya apa yang dikatakan Haris. Kalau Aldo tahu ada barang haram itu di mobilnya, dia pasti sudah panik karena tahu polisi akan ikut kesana dan memeriksa mobil itu. Tapi saat itu sikap Aldo tenang-tenang saja, seperti tidak ada masalah.

“Aku ngomong gini bukan asal ngebela karena dia sepupuku mbak, tapi ya karena gitu keadaannya.”

“Hmm, waktu kamu kesana, siapa yang ngebuka bagasi mobil?”

“Aku sendiri mbak.”

“Barang itu udah bener-bener ada disana?”

“Iya, ada beberapa bungkusan gitu.”

“Terus, yang ngambil siapa?”

“Yaa para polisi itu mbak.”

“Para polisi itu? Kok mereka nggak ada sidik jarinya disitu ya?”

“Oh mereka pake sarung tangan dulu sebelumnya.”

Viona terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu. Tapi dia tak terlalu menunjukkannya kepada Haris. Ada beberapa hal yang terpikirkan di kepalanya, tapi dia masih bingung. Dia tahu harus membahas ini dengan orang lain, tapi dia masih belum tahu siapa. Dengan Haris, dia mengurungkannya karena Haris sebentar lagi akan pindah, dia tidak akan ada di kota ini lagi dan tidak akan banyak membantu.

Nanti saja aku pikirkan dengan siapa aku harus bahas ini, biar Haris nggak tambah kepikiran setelah pindah dari sini.’

 

+++
===
+++​

Waktu berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari keberangkatan Haris ke Jogja, tempat kerjanya yang baru. Kemarin dia sudah berpamitan dengan teman-teman kantornya, termasuk Lidya. Saat itu Lidya terlihat biasa saja, bahkan tersenyum kepadanya, tapi Haris tahu kalau di dalam hatinya gadis itu juga merasakan kesedihan, seperti yang dia rasakan juga.

Di Jogja nanti, Haris sudah mendapatkan tempat tinggal. Hal ini tak lepas dari bantuan Bagas, sahabatnya sejak masuk kuliah yang kebetulan sekarang bekerja disana. Sebenarnya Haris ingin bisa satu kost dengan Bagas, tapi sayangnya kost itu sudah penuh. Bagas akhirnya mencarikan kost seperti yang diminta oleh Haris yang letaknya tidak begitu berjauhan dengan kostannya.

Pagi ini Haris sedang bersiap, dia periksa lagi barang bawaannya untuk memastikan tidak ada lagi yang tertinggal. Nanti Viona yang akan mengantarkannya ke bandara. Haris sudah akan memesan taksi sebenarnya, tapi Viona melarangnya. Viona juga sedang bersiap di kamarnya. Mereka tidak terlalu buru-buru karena pesawat Haris masih agak siang, masih sangat cukup waktu untuk sampai ke bandara.

Haris juga sebenarnya mengharapkan Lidya ikut mengantarnya, tapi hari ini gadis itu sedang pergi dengan pacarnya ke pulau seribu. Entah itu sudah direncanakan sebelumnya atau Lidya hanya mencari alasan saja, Haris tidak tahu. Tapi dia juga berpikir, kalau Lidya ikut mengantarnya, maka akan semakin berat rasanya untuk meninggalkan kota yang sudah 3 bulan ini dia tinggali.

Haris sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV menunggu Viona. Barang-barangnya sudah dia masukkan ke mobil, tinggal berangkat saja. Tak lama kemudian Viona keluar dari kamar. Hari ini Viona memakai pakaian yang biasa saja, tanktop ketat yang dilapisi oleh cardigan, ditambah dengan celana jeans ketat. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, terlihat cantik dan anggun di mata Haris.

“Mau berangkat sekarang Ris?”

“Menurut mbak gimana? Pesawatku masih nanti sih.”

“Hmm, barang-barang kamu udah dicek lagi? Udah nggak ada yang ketinggalan?”

“Udah beres kok mbak, barangnya kan dikit aja, udah di mobil semua.”

Viona melirik arlojinya.

“Bentar lagi aja ya, masih lama ini. Nggak akan telat juga sampai sana.”

“Iya mbak.”

Viona kemudian duduk di samping Haris, ikut menonton TV.

“Gimana rasanya Ris mau balik kesana?”

“Hmm, yaa ada senengnya, ada sedihnya mbak, hehe.”

“Hmm, kalau senengnya aku tau deh, sedihnya kenapa? Ninggalin Lidya ya? Nggak bakal ketemu sama dia ya? Haha.”

“Haha bukan gitu mbak. Yaa itu salah satunya, tapi kan entar bisa aja ketemu lagi, entah dia yang kunjungan kesana, aku aku yang kesini, iya kan?”

“Iya juga sih. Terus, apa lagi dong yang bikin sedih.”

Haris tak segera menjawab, tapi menatap ke arah Viona. Viona juga akhirnya menatap Haris.

“Aku sedih karena harus ninggalin mbak Viona sendirian sekarang. Kalau ada mas Aldo, dan dia nggak kena masalah gini, mungkin aku nggak sesedih ini.”

Viona tersenyum. “Udah nggak usah terlalu dipikirin, paling 2 minggu lagi dia keluar kan, udah balik lagi ke rumah. Lagian, kenapa kamu sesedih itu?”

“Hmm, maaf ya mbak. Tapi, aku sayang sama mbak Viona. Maaf mbak, maksudku, sayang dalam artian adik ke kakaknya. Selama 3 bulan tinggal disini aku udah ngerasa deket banget sama mbak Viona. Aku udah anggap mbak sebagai kakakku, mbak tau kan aku nggak punya kakak.”

“Iya aku tau, aku juga sayang kamu kok. Aku juga udah anggap kamu sebagai adikku,” jawab Viona tersenyum sambil membelai kepala Haris.

“Jujur aku nggak tega mbak harus pergi sekarang. Aku tau mbak itu cewek yang kuat, tapi aku juga tau sekuat-kuatnya mbak Viona ada juga sisi lemahnya. Kalau kemarin-kemarin aku selalu ada di samping mbak, mulai hari ini nggak ada lagi, aku khawatir sama mbak Viona.”

“Makasih ya Ris, kamu udah ngawatirin aku. Tapi percaya sama aku, aku baik-baik aja kok. Kita kan bisa tetep kontek-kontekan, bisa WA, bisa telponan juga.”

“Iya mbak, tapi nggak ada di samping mbak kan rasanya lain.”

“Sini…”

Dengan tersenyum Viona menarik tubuh Haris untuk dipeluknya. Haris memeluk kakak iparnya itu dengan hangat, dengan penuh kasih sayang. Viona bisa merasakan hal itu, dan itu membuatnya nyaman. Cukup lama mereka berpelukan, tangan Harispun membelai kepala Viona.

Cup. Haris mengecup kepala Viona sesaat, membuat wanita itu tersenyum. Mereka kemudian saling melepaskan pelukan dan saling berpandangan dengan tersenyum.

“Mbak baik-baik disini ya. Inget, kalau ada apa-apa, apapun itu, kasih tau sama aku. Aku mungkin nggak bisa bantuin secara langsung, tapi pasti aku bantu.”

“Halah, paling juga kamu minta tolong Lidya kan?”

“Haha, salah satunya mbak.”

“Iya iya, nanti pasti aku kabarin. Kamu juga, tetep hubungin aku ya, ada apapun cerita aja, nggak usah sungkan.”

“Iya mbak.”

“Ya udah yuk berangkat sekarang aja.”

“Ayo. Aku cek pintu-pintu dulu mbak.”

Haris berdiri dan beranjak dari tempat itu. Dia memeriksa lagi pintu-pintu dan jendela, memastikan semuanya sudah terkunci rapat. Setelah itu dia menuju ke depan, tapi Viona masih berdiri di dekat pintu rumah yang masih tertutup, seperti menunggu dirinya.

“Kenapa mbak, kok malah bengong disitu?”

“Ehh…”

Tanpa menjawab Viona menghambur ke arah Haris, memeluknya lagi dengan sangat erat. Kali ini Haris bisa merasakan Viona sedikit terisak. Haris yang bingung coba menenangkannya. Dia usap lembut punggung dan dia belai kepala Viona.

“Mbak kenapa?”

“Hiks, nggak papa Ris. Aku bener-bener makasih sama kamu. Aku bersyukur ada kamu saat aku down, kamu ada saat aku butuh seseorang. Kamu selalu di sampingku dan itu membuatku merasa jauh lebih tenang. Makasih ya Ris…”

“Iya mbak, sama-sama. Makasih juga selama 3 bulan ini sudah baik sama aku, perhatiin aku. Aku bakal kangen banget sama mbak Viona.”

“Aku juga Ris, hiks…”

Viona merenggangkan pelukannya, tapi belum melepas. Dia tatap wajah Haris, Haris segera mengusap air mata yang mengalir di wajah Viona. Dia mencoba tersenyum, agar membuat Viona juga ikut tersenyum. Dan berhasil, meskipun sedikit dipaksakan, Viona tersenyum juga. Beberapa saat mereka berada dalam posisi itu, saling peluk dan saling tatap. Hingga entah siapa yang memulai, bibir mereka bertemu.

Haris dan Viona sama-sama saling melumat lembut bibir masing-masing. Pelukan mereka juga terasa semakin erat. Haris tak peduli lagi siapa Viona yang sedang diciumnya itu, lagipula baginya itu bukan ciuman nafsu, tapi ciuman kasih sayang. Viona juga merasakan hal yang sama, dan terus menikmati ciuman itu.

Tapi tak lama kemudian mereka seperti sepakat untuk mengakhiri ciuman itu. Keduanya bersamaan menarik wajah mereka masing-masing. Masih dalam posisi saling peluk, mereka saling tatap dan sama-sama tersenyum. Dan bersamaan mereka mengucapkan,

“Terima kasih.”

Bersambung

ngentot anak angkat
Anak angkat yang pengen nenen pada ibu angkat nya bagian dua
Foto Bugil Abg Toge Kasir Indomaret
Foto jilbab telanjang masih ABG suka nonton video bokep
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Dua
Foto bugil model JAV cantik seksi
Tante hot
Cerita Ku Dengan Cindy Waktu Di Kapal
ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
Foto Sex Cewek Mulus Memek Rapat
sex saat hujan
Hujan lebat yang menghanyutkan keperawanan ku juga
istri kesepian
Cerita dewasa istri kesepian karena keseringan di tinggal suami kerja
cantik selingkuh
Hukuman untuk istri tercinta karena ketahuan selingkuh
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
pembantu hot
Meremas Dan Merangsang Pembantu Sange Bagian Dua
Foto bugil pengantin baru yang sexy pakai CD transparan
Foto bugil gadis berjilbab yang alim toge masih perawan
bispak cantik
Cerita ngentot dengan susi cewek bispak yang cantik