Part #17 : Little bit Sharing, but

Sore ini Haris sudah berada di bandara untuk menjemput Viona. Dari kantornya tadi, dia tak langsung pulang, jadi dia kesini masih dengan seragam kerjanya. Masih sekitar 10 menit lagi pesawat yang ditumpangi Viona mendarat, itu kalau tepat waktu. Haris menunggu di sebuah kedai kopi dekat pintu keluar. Disana juga sudah banyak orang yang sepertinya juga sedang menjemput keluarga atau teman mereka.

Setelah sekitar 10 menit menunggu, terdengar pengumuman kalau pesawat yang ditumpangi Viona sudah mendarat. Harispun beranjak mendekat ke pintu keluar penumpang untuk menunggu kakak iparnya. Haris tersenyum dan melambaikan tangannya saat dia lihat Viona berjalan keluar. Viona balas tersenyum kepadanya dan langsung menghampirinya. Haris sudah ingin menyalami, tapi malah Viona memeluknya.

“Hai, makasih ya udah jemput.”

“Hehe iya mbak. Tapi nggak papa kan aku cuma pake motor?”

“Yaa nggak masalah, aku cuma bawa ini aja kok,” ucap Viona sambil menunjukkan tasnya yang tak seberapa besar. “Tapi ada helm kan Ris?”

“Ada kok mbak, tenang aja, semua udah siap, hehe.”

“Ya udah kalau gitu, yuk cabut.”

“Ayok.”

Mereka berdua kemudian berjalan ke arah parkiran. Tak banyak yang mereka bicarakan, hanya Haris menanyakan bagaimana kabar dan perjalanan Viona, dan Viona hanya menjawab seperlunya saja. Viona sore ini juga terlihat masih memakai pakaian kerjanya, karena memang tadi dari kantor Viona langsung ke bandara, tidak kembali ke rumah dulu.

“Oh iya mbak, hmm, ini serius mau nginep di tempatku?”

“Iya, emang kenapa? Kostmu bebas kan?”

“Yaa bebas sih mbak, tapi kan..”

“Lha ya udah, kita kesana aja. Emang kenapa? Kamu ngerasa nggak enak?”

“Yaa gitu deh mbak.”

“Halah, kayak nggak pernah tidur bareng sama aku aja Ris? Haha.”

“Ya bukan gitu mbak, waktu itu kan kondisinya beda, darurat.”

“Anggep aja sama Ris.”

“Eh, maksudnya mbak?”

“Entar aku ceritain, kita cabut dulu aja.”

“Ya udah deh kalau gitu.”

Haris tahu tak bisa lagi membantah Viona, diapun segera melajukan motornya ke arah pulang. Sampai di kostan mereka langsung menuju ke kamar Haris. Sebelumnya Haris pernah cerita kepada Viona tentang kostannya ini, bahkan dia sempat mengirimkan beberapa foto kondisi kamarnya. Sampai di kamar, Viona buru-buru ke kamar mandi.

Oalah, mbak Viona kebelet tho? Kenapa nggak tadi di bandara ke toilet dulu aja? Hadeeh..

Haris sendiri mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian yang lebih santai. Setelah itu tak lama kemudian Viona keluar dari kamar mandi dan melepaskan blazernya, tinggal memakai tanktop yang cukup ketat membungkus badan atasnya. Viona langsung merebahkan dirinya di ranjang, sedangkan Haris duduk di kursi.

“Mbak Viona nggak sekalian mandi?”

“Entar dulu Ris, istirahat bentar, kamu duluan aja.”

“Ya udah kalau gitu.”

Haris berinisiatif untuk mandi terlebih dahulu. Tak butuh waktu lama, dia sudah kembali dan agak terkejut melihat Viona yang sudah melepaskan celana panjangnya juga. Sekarang wanita itu hanya memakai tanktop dan hotpants ketat, memperlihatkan tubuhnya yang cukup menggoda. Ini bukan pertama kalinya Haris melihat Viona seperti ini, tapi ini untuk pertama kalinya Viona berpakaian seperti itu dan berada sekamar dengan Haris.

“Heh matanya dijaga, kayak nggak pernah liat aku kayak gini aja.”

“Haha duh ketauan. Maaf mbak, hehe.”

“Dasar, emang bener ya yang dibilang Lidya.”

“Emang Lidya bilang apa mbak?”

“Dia bilang kalau kamu itu mesum, jomblo nakal katanya, hahaha.”

“Hadeeh dasar. Udah ah, mbak Viona mandi sana, abis itu kita keluar cari makan.”

“Iya iya. Oh iya, kamu dapet salam dari Lidya, katanya kangen sama itu kamu.”

“Hah, itu? Itu apaan mbak?”

Viona tak menjawab. Dia mengambil handuk dan perlatan mandinya, lalu berjalan mendekati Haris yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.

“Itu kamu, yang ini lho Ris..”

“Aaah mbaak..”

“Hahaha..”

Viona langsung masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sementara Haris agak terkejut, sekaligus horny. Horny? Iya, karena saat Viona bilang ‘yang ini lho Ris’ dia sambil meremas lembut bagian paling pribadi Haris.

 

+++
===
+++​

Haris dan Viona sedang makan malam sekarang. Mereka makan malam di sebuah warung yang berada tak jauh dari kostan Haris. Warung ini cukup ramai oleh para mahasiswa dan pekerja yang ngekost di daerah itu, tapi Haris dan Viona sudah mendapatkan tempat yang cukup nyaman.

“Oh iya, Rani nggak kamu ajak makan sekalian Ris?” tanya Viona.

Haris memang sudah banyak menceritakan aktivitasnya selama disini, termasuk dengan Rani adiknya, yang cukup sering mengajaknya keluar untuk sekedar makan bareng.

“Nggak mbak, kebetulan hari ini dia lagi pergi sama temen-temen kampusnya, ada kegiatan apa gitu, yaa masih urusan kampus lah.”

“Oh gitu, lha kamu udah cerita kalau aku kesini?”

“Iya kemarin aku cerita sama dia.”

“Terus apa katanya tau aku nginep di tempat kamu?”

“Yaa tadinya dia malah nawarin supaya mbak nginep di tempatnya dia aja, tapi kan malah repot entar, karena pasti kalau mau ke kantor kan mbak Viona sama aku. Nah antara kantor sama kostan Rani kan nggak searah, yang ada malah muter-muter mbak.”

“Halah, itu sih kamunya aja yang nggak rela kalau aku nginep di tempat dia kan? Pasti kamu pengennya aku nginep di tempatmu kan?”

“Loh kok jadi aku? Kan mbak sendiri yang pengen?”

“Tapi kamu nggak nolak?”

“Emang aku bisa nolak apa? Entar kalau nolak malah diancem lagi.”

“Haha, kamu kok tau sih Ris aku udah rencana gitu?”

“Yee, udah ketebak tuh mbak. Tapi, bukan itu sih sebenarnya.”

“Terus apaan?”

“Kemarin kan mbak Viona bilang mau cerita soal mas Aldo, emang ada apa mbak?”

Tiba-tiba raut wajah Viona berubah, yang tadinya cerah jadi agak cemberut, tapi setelah itu datar-datar saja. Haris jadi bingung dengan perubahan Viona, dia merasa tak enak, karena sepertinya ini bukan waktu yang tempat untuk menanyakannya.

“Eh maaf mbak, aku nggak bermaksud buat…”

“Udah, kita bicarain itu besok aja, setelah presentasimu kelar. Lagian aku juga masih lama kok disini.”

“Emang rencana sampai kapan mbak Viona disini?”

“Hmm, entahlah, mungkin minggu aku baru balik Ris.”

“Minggu?”

“Iya, kenapa? Kamu keberatan aku nginep lama di tempatmu? Atau harus bayar nih?”

“Oh enggak mbak, bukan gitu. Aku sih nggak masalah mbak, yang penting mbak nyaman aja di kostku.”

“Kalau aku nggak nyaman, itu tugasmu buat bikin aku nyaman.”

“Maksudnya?”

Kembali Viona tak menjawab, dia hanya diam saja dan memainkan handphonenya. Haris menyerah, dia merasa sepertinya saat ini Viona belum mau banyak ditanyai. Akhirnya mereka menghabiskan makan malam mereka tanpa ada pembicaraan lagi. Bahkan saat pulangpun Viona juga hanya diam saja. Barulah saat sampai di kamar kostnya Viona bicara pada Haris.

“Materimu udah siap Ris?”

“Udah mbak, mau dilihat?”

“Enggak lah, besok aja. Kalau aku liat sekarang, buat apa besok ada presentasi?”

“Iya juga sih, hehe. Tapi mbak, emang mbak beneran belum tau soal ini sebelumnya ya?”

“Soal apa? Trainingmu yang dipercepat?”

“Iya.”

“Iya Ris, aku baru dikasih tau sama pak Doni beberapa hari setelah kamu berangkat. Yaa awalnya aku sempat tanya, kenapa harus pake presentasi segala kalau sudah seperti ini. Harusnya dengan rekomendasi dari pak Eko saja SK-mu udah bisa turun. Tapi kamu tau nggak, apa jawaban pak Doni?”

“Apaan mbak?”

“Dia bilang, mau ngasih aku waktu buat refreshing katanya. Jadi alasannya bukan karena presentasi itu sebagai formalitas atau apa, malah kayak gitu.”

“Lah, kok gitu? Haha.”

“Nggak tau juga Ris. Tapi yaa bagus kan, jadinya aku bisa jalan-jalan disini. Entar aku mintain ijin deh sama pak Eko, biar kamu bisa anterin aku keliling Jogja setelah presentasi.”

“Hadeeh, ya terserah mbak aja deh.”

“Ya udah kalau gitu. Mending kita istirahat aja dulu. Soal apa yang mau aku ceritain, nggak usah kamu pikirin dulu, besok aja, oke?”

“Oke mbak.”

 

+++
===
+++​

Keesokan harinya, Haris sudah berada di kantor. Tadi dia berangkat dengan Viona. Sekarang Viona sedang berada di ruangan pak Eko dengan Eva juga, sedangkan Haris ada di ruang rapat untuk mempersiapkan presentasinya. Haris juga sudah berpesan kepada OB untuk menyiapkan minuman dan beberapa camilan. OB kantor itu cukup tanggap, karena memang biasanya tiap ada rapat dia selalu menyiapkan hal seperti itu.

Hari ini presentasi Haris berjalan dengan lancar. Selain materi yang dia persiapkan sudah matang, pertanyaan dari Viona juga bisa dia jawab dengan baik. Meskipun hanya sebatas formalitas, kembali Haris bisa melihat bagaimana profesionalisme Viona. Dia terlihat sangat kritis bertanya pada Haris, tapi semua itu masih tetap berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Haris. Pak Eko juga sempat memberikan beberapa pertanyaan, yang semuanya bisa dijawab oleh Haris dengan baik. Setelah sekitar 1,5 jam, akhirnya presentasi itu selesai juga.

“Baik, jadi presentasi kita hari ini cukup sampai disini. Terima kasih untuk Haris karena sudah menyiapkan semuanya dengan baik, dan terima kasih untuk bu Viona sebagai perwakilan dari kantor pusat yang sudah datang kemari,” ucap Eva yang hari ini menjadi moderator untuk presentasi Haris.

“Iya sama-sama bu Eva. Dan saya juga ingin mengucapkan selamat buat Haris sudah melewati tahapan presentasi ini dengan baik. Dengan ini kamu dinyatakan lulus, dan untuk SK pengangkatannya nanti menyusul dikirim dari kantor pusat,” jawab Viona.

“Nah gimana Ris? Udah lega kan?” tanya pak Eko.

“Hehe, iya pak, udah lega.”

“Yaa meskipun ini hanya sekedar formalitas, dan kamu juga sudah tau akan seperti apa hasilnya, tapi saya ucapkan terima kasih buat sikap profesional kamu. Kamu sudah bisa memahami dan menerapkan budaya perusahaan ini dengan baik,” ucap pak Eko.

“Dan satu lagi Ris, untuk 2 hari ke depan kamu tidak perlu masuk kantor, kamu saya kasih waktu buat istirahat, sekalian nganterin mbakmu ini jalan-jalan keliling Jogja.”

“Wah, terima kasih pak, hehe.”

“Iya Ris, dianterin, sekalian dijagain lho, jangan malah diapa-apain, haha,” sahut Eva.

“Heh, maksudnya bu?”

“Iyaa, kan Viona nginep di tempatmu kan?”

“Loh?” Haris terkejut karena Eva tahu kalau Viona menginap di tempatnya. Haris menatap Viona seolah meminta penjelasan, tapi Viona malah terkekeh sendiri.

“Nggak usah kaget gitu Ris, anggep aja kita nggak tau, yang penting kalian jangan macem-macem aja, haha,” ucap pak Eko.

“Emang kalau udah dilarang nggak bakal ngapa-ngapain gitu pak?” tanya Eva.

“Wah, nggak tau juga sih, tapi kayaknya enggak, haha.”

Haris hanya garuk-garuk kepala saja. Meskipun dia sudah cukup akrab dengan pak Eko dan Eva, baru kali ini mereka bercanda seperti itu. Awalnya dia merasa tak enak, tapi melihat sikap Viona yang santai saja menanggapi gurauan pak Eko dan Eva, diapun bisa sedikit lebih santai.

 

+++
===
+++​

Hari sudah malam, Haris dan Viona baru saja pulang dari makan malam. Mereka berdua kini sudah kembali ke kostan Haris. Hari ini mereka memutuskan untuk tetap di kostan saja, menunda jalan-jalan, karena selain memang Viona sedang ingin bercerita pada Haris, kondisinya sekarang juga sedang hujan lebat.

Viona dan Haris sudah berganti pakaian yang lebih santai. Viona hanya memakai tanktop dan hotpants sedangkan Haris memakai kaos oblong dan celana pendek. Viona duduk bersandar di ranjang sedangkan Haris masih di kursi kerjanya, tapi mereka berdua sama-sama sedang menatap ke arah TV.

“Ris, sini deh,” panggil Viona, meminta Haris mendekat.

“Ada apa mbak?”

“Aku kan mau cerita, masak kamu disitu mulu?”

“Lha ya nggak papa tho? Kan tinggal cerita aja.”

“Udah ah sini, cepetan.”

Haris tak lagi membantah ucapan Viona. Sepertinya wanita itu memang ingin Haris ada di sampingnya. Haris sedang menduga-duga, kenapa Viona memintanya mendekat. Apakah dia akan menceritakan hal yang sedih dan nantinya butuh bahu untuk bersandar? Atau ada sebab lain? Kini Haris sudah duduk di samping posisi Viona.

“Mbak mau cerita soal mas Aldo?”

“Iya Ris.”

“Kenapa lagi sama mas Aldo mbak?”

“Gini, awalnya, waktu kamu dan Lidya pergi ke puncak waktu itu, Andi datang ke rumah Ris.”

“Mas Andi? Ada perlu apa mbak?”

“Andi cerita sesuatu yang belum pernah dia ceritain ke kita sebelumnya. Cerita sebelum mas Aldo dibebasin.”

“Cerita soal apa sih mbak?” Haris mulai tak sabar karena menganggap Viona muter-muter saja menjelaskan.

“Sebelum Andi ngeluarin mas Aldo, dia tanya banyak hal, bilangnya ke mas Aldo sih sebagai salah satu syarat agar mas Aldo bisa dibebasin. Dari beberapa pertanyaan yang dikasih sama Andi itu, terungkap kalau sebenarnya memang mas Aldo udah cukup lama pake narkoba, bahkan bukan cuma make, tapi ngedarin juga.”

“Hah? Ngedarin juga?”

“Iya Ris. Aku terus terang nggak percaya waktu itu, sama sekali nggak percaya. Tapi Andi kemudian bilang kalau mas Aldo cerita soal jaringan yang dia ikuti, dan akhirnya mengarah ke salah satu orang. Aku kenal banget orang itu, karena dia dulu adalah bandar yang bikin aku terjerumus narkoba.”

Haris terbengong, mulutnya bahkan sampai menganga.

“Itu, sejak kapan mbak? Maksudku, sejak kapan mas Aldo terlibat hal itu?”

“Menurut pengakuannya ke Andi, udah cukup lama Ris, sejak kami belum nikah.”

“Terus, tujuannya mas Andi bilang kayak gitu ke mbak Viona apaan?”

“Itu karena dia tau kasus yang menimpaku dulu. Dia nemuin aku buat tanya-tanya juga, tentang beberapa nama yang udah dia kantongi dari pengakuan mas Aldo. Cuma masalahnya, kalau nama-nama itu tertangkap dan mereka buka mulut, bisa jadi mas Aldo keseret lagi, dan dipenjara lagi.”

“Tunggu dulu, kenapa bisa mas Aldo keseret lagi? Apa dia termasuk punya peran penting dalam jaringan itu?”

“Iya Ris. Dia termasuk orang penting disitu.”

Suara Viona melemah, tersirat ada semacam kegetiran karena mengetahui kalau suaminya ternyata terlibat dalam hal yang dulu sudah dia tinggalkan jauh-jauh. Bahkan bukan hanya terlibat, tapi justru punya peran penting disitu. Hal yang sama sekali tak pernah diduga oleh Viona, bahkan membayangkannya saja Viona tak pernah.

“Kalau gitu, apakah mungkin mas Aldo tau tentang masa lalu mbak Viona?” tanya Haris setelah cukup lama terdiam, mencoba menggabungkan fakta-fakta yang dia terima.

“Entahlah Ris. Kalau si bandar besar itu cerita, bisa aja dia udah tau soal aku. Tapi aku bener-bener nggak tau gimana mas Aldo bisa terlibat hal kayak gitu. Selama ini dia sama aku terus, hampir nggak pernah kami kepisah, aku selalu tau apa yang dia lakuin Ris, tapi ternyata, aku, aku, hiks, aku nggak tau apa-apa..”

Tangis Viona tak bisa dibendung lagi. Sepertinya dia sudah cukup lama menahannya, sekedar untuk menunggu bertemu dengan orang yang tepat untuk menceritakannya. Haris yang tak tega melihat Viona seperti itu langsung saja meraih tubuhnya dan memeluknya. Haris mencoba menenangkan Viona. Hal yang dulu pernah dia lakukan ketika pertama kali mendengar kabar Aldo ditangkap polisi.

Tak ada kata yang terucap dari Haris. Dia masih diam saja, membiarkan Viona menangis dalam pelukannya. Bicara apapun saat ini hanya percuma saja, karena Haris sudah tahu Viona, jadi yang perlu dia lakukan saat ini adalah membiarkan Viona mengeluarkan semua beban yang dia pendam selama ini lewat tangisannya. Haris hanya perlu memeluk dan menenangkan Viona dengan belaiannya, untuk sekedar memastikan kepada Viona bahwa dia ada untuknya.

Sekitar setengah jam lamanya Viona dibiarkan menangis oleh Haris, hingga terasa isak tangisnya perlahan mereda. Dia yang tadinya memeluk Haris dengan sangat eratpun sekarang sudah merenggangkan pelukannya, meskipun belum melepasnya. Haris tak mempermasalahkan, toh dulu juga pernah seperti itu. Haris sendiri beberapa kali mengusap kepala Viona, dan juga membantu menyeka air matanya, bahkan beberapa kali mengecup kening Viona untuk menenangkannya.

“Udahan nangisnya?” tanya Haris. Viona tak menjawab, hanya mengangguk.

“Mbak udah cerita ini sama siapa aja?”

“Baru sama kamu Ris,” jawab Viona masih sedikit terisak.

“Apa nggak sebaiknya mbak cerita juga sama Lidya? Paling nggak, Lidya kan dulu yang pernah bantuin mbak Viona, siapa tau kali ini dia punya solusi lagi untuk masalah ini.”

“Beda Ris, ini kasusnya beda.”

“Beda gimana mbak?”

“Kalau aku dulu sebagai korban, orang yang dijerumusin. Orang yang pas cabut dari situ masih dikejar-kejar juga. Kalau yang ini, mas Aldo itu justru yang ngedarin Ris. Kalau aku cerita sama Lidya, terus Lidya cerita sama kakaknya, apa nggak malah mas Aldo dijeblosin ke penjara lagi?”

Haris diam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Viona. Kasusnya jauh berbeda, dan kali ini Aldo berada di pihak yang bersalah. Kalau hal ini sampai terdengar oleh orang lain, apalagi kakak Lidya adalah seorang polisi, bisa makin runyam urusannya.

“Terus, kita mau gimana mbak setelah tau mas Aldo kayak gitu?”

“Nggak tau, aku bingung Ris.”

“Mbak kapan ketemu dia?”

“Kemarin sebelum berangkat kesini. Aku bilang sama dia mau ada kerjaan di luar kota, dan baru akan balik ke Jakarta minggu sore.”

Haris hanya mengangguk saja. Pantas Viona ingin berada di kota ini lebih lama, ternyata karena memang sedang ada masalah seperti ini. Dan sepertinya memang akan menjadi tugas Haris untuk menghiburnya.

“Ya udah, kalau gitu kita sekarang istirahat aja mbak, besok kita jalan-jalan, refreshing, biar beban yang mbak rasain bisa sedikit berkurang.”

Viona tak menjawab tapi malah mempererat pelukannya pada Haris. Haris bisa merasakan bulatan kenyal di dada Viona menempel di tubuhnya. Tapi Haris segera membuang jauh-jauh pikiran kotornya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berpikir seperti itu, dia tidak ingin dicap mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Tapi memang ada yang aneh, dan Haris baru menyadarinya sekarang. Dari gesekan antara tubuhnya dengan tubuh Viona, sepertinya dia bisa merasakan kalau Viona tidak memakai pakaian dalamnya, wanita itu tidak memakai bh. Haris tidak ingin memikirkannya, tapi gesekannya terasa sekali. Dia bisa merasakan ada tonjolan keras yang sepertinya sengaja ditekan-tekankan oleh Viona.

“Ris,,”

“Iya mbak,” Haris menatap Viona. Kedua mata Viona nampak sayu, bukan karena habis menangis, tapi entah karena apa, Haris kurang paham.

“Bantuin aku yaa?” suara Vionapun terdengar semakin lirih.

“Iya mbak, selama aku bisa pasti aku bantuin.”

Viona tersenyum, Harispun ikut tersenyum. Haris belum sempat memahami situasinya saat itu, saat tiba-tiba wajah Viona bergerak ke depan hingga bibir mereka bertemu. Bukan hanya saling menempel, tapi bibir Viona dengan lembut melumat bibir Haris. Haris yang masih terkejut hanya diam saja, sampai akhirnya Viona menarik wajahnya. Mereka berdua kembali saling bertatapan, masih dengan mata sayu dari Viona.

“Mbak…”

“Kenapa?”

“Ini tadi, apa?”

“Katanya kamu mau bantuin aku?”

“Iya mbak, tapi bukan seperti ini, ini udah hmmmphhh..”

Tak sempat Haris menyelesaikan ucapannya, kembali Viona melumat bibirnya, kali ini dengan lebih panas dari sebelumnya. Kembali Haris berusaha menolaknya. Dia mendorong tubuh Viona hingga ciuman mereka terlepas.

“Mbak please, jangan kayak gini, aku nggak enak sama mas Aldo.”

“Tapi kenapa kamu nggak merasa nggak enak sama cowoknya Lidya waktu itu Ris?”

“Itu karena, karena, mas Aldo masih saudaraku mbak, aku nggak bisa, please udah ya.”

“Bukan karena aku kalah cantik? Nggak menarik?”

“Bukan gitu mbak, mbak Viona cantik dan menarik, tapi, aku bener-bener nggak bisa.”

Viona diam saja. Dia melepaskan pelukannya dari Haris. Awalnya Haris merasa lega, tapi kemudian yang membuat Haris terkejut adalah Viona malah melepaskan cincin yang melingkar di jari manisnya, dan meletakannya sembarangan, setelah itu dia memeluk Haris lagi.

“Ris, tolongin aku, bukan sebagai istri dari saudara kamu, tapi sebagai wanita yang kamu sayangi, please.”

“Mbak, aku hmmpphh…”

Haris tak diberi kesempatan lagi oleh Viona untuk menjawab. Bibirnya langsung dipagut oleh Viona, tubuhnya juga dipeluk dengan erat. Haris tahu Viona kalau sudah ada maunya sulit untuk ditolak, tapi untuk yang 1 ini, Haris benar-benar ragu. Dalam hatinya dia benar-benar tidak ingin melakukannya. Bukan karena Viona tidak menarik. Tak bisa dipungkiri bahwa beberapa kali Haris sempat mencuri pandang ke arah Viona ketika masih tinggal bersama dulu. Haris juga mengagumi Viona, dari segi fisik maupun kepribadiannya. Tapi mengingat Viona adalah istri Aldo, saudaranya sendiri, masih ada penolakan yang sangat besar dalam dirinya.

“Hmmmpphhhh..” masih larut dalam lamunannya, Haris mendesah tertahan saat merasakan tangan Viona mulai meraba ke daerah bawah, tepat di penisnya yang ternyata sudah mulai berdiri.

“Tuh, udah berdiri kan?”

“Ta.. tapi mbak.. hmmpphh…”

Cumbuan Viona semakin menjadi, wanita itu sudah dikuasai oleh nafsunya. Sehebat-hebatnya pertahanan Haris, akhirnya runtuh juga malam itu. Dia mulai membalas pagutan bibir Viona. Lidah mereka mulai saling mengait dan menghisap. Tangan Harispun mulai bergerak ke arah dada Viona, dan meremasnya. Dari sini Haris semakin bisa merasakan kalau wanita itu benar-benar tidak memakai bh.

Haris dan Viona semakin terbawa oleh arus birahi mereka, hingga tanpa sadar mereka kini sudah dalam keadaan telanjang bulat. Tangan Haris begitu telaten memanjakan sepasang buah dada Viona yang sekal. Tangan Vionapun tak kalah memanjakan penis Haris yang sudah berdiri sempurna. Tak lama kemudian cumbuan Viona semakin turun, dari dada, ke perut, hingga sekarang bibirnya mulai menciumi kepala penis Haris.

“Ssshh aaahhh mbaakk..”

Desahan Haris tak tertahan lagi saat sebagian batang penisnya dilahap oleh Viona. Lidah Viona memainkan kepala penis Haris yang ada di dalam mulutnya. Kepalanya bergerak naik turun bersamaan dengan tangannya yang terus memijat pelan batang penis Haris yang tak sampai masuk ke mulutnya. Haris merasa benar-benar nikmat, hampir sama dengan apa yang dia rasakan bersama Lidya dulu. Tapi sensasinya beda, lebih terasa. Karena yang melakukan saat ini adalah Viona, yang bisa dibilang adalah kakak iparnya.

Beberapa saat kemudian, masih dalam posisi Haris duduk bersandar, Viona berhenti mengulum penis Haris dan bergerak naik, hingga bibir vaginanya yang ternyata sudah basah berada di atas kepala penis Haris. Keduanya saling tatap dengan mata sayu. Tak ada yang terucap, hanya saling tatap, hingga kemudian Viona perlahan mulai menurunkan tubuhnya.

“Oouuggghh Riiisshhh..”

“Mbaaaaakkk aaaahhhh..”

Sepasang manusia itu mendesah bersamaan saat penis Haris mulai masuk ke celah sempit vagina Viona. Viona menggerakkan tubuhnya turun dengan mata dan bibir tertutup menahan kenikmatan yang dia rasakan.

“Aaaaahhhhh…”

Kembali keduanya mendesah bersamaan saat penis Haris akhirnya mentok, masuk semua ditelan oleh vagina Viona. Mereka terdiam tak bergerak, tampak Viona sedang membiasakan diri dengan penis Haris, yang untuk pertama kalinya memasuki liang surganya. Keduanya saling tatap, kali ini dengan tersenyum.

“Puasin aku, jagoan..”

Bisikan Viona membuat Haris tersenyum. Dia mengangkat sedikit tubuh Viona dan mulai menggerakkan tubuhnya dari bawah. Viona tak tinggal diam, dia menyingkirkan kedua tangan Haris yang memegang pinggangnya, lalu bergerak sendiri naik turun.

Suasana di kamar ini semakin memanas. Gerakan Haris dan Viona sudah semakin kencang, pergumulan mereka mampu mengalahkan dinginnya hawa malam ini. Desahan mereka tertahan karena keduanya saling cium, saling lumat. Gerakan naik turun Viona semakin cepat dan vaginanya mulai berkedut. Haris tahu wanita itu akan segera orgasme, dan diapun membantu dengan mempercepat gerakannya dari bawah.

“Hmmmppphhhh…”

Desahan Viona tertahan bersamaan dengan tubuhnya yang menegang. Dia orgasme. Tubuhnya sedikit melengkung ke depan, membuat kedua buah dadanya tersaji indah persis di depan wajah Haris. Dibiarkan saja tubuh itu terdiam sejenak, agar menikmati gelombang kenikmatannya. Setelah beberapa saat, Haris memutar tubuh Viona hingga memunggunginya, tanpa melepas tautan kelamin mereka. Kembali Haris menyentuh pinggang Viona, memberi kode agar dia kembali bergerak. Viona mengerti, diapun bergerak naik turun lagi.

“Aaaahhh aahhh Hariiiisshh, nikmaattthh..”

“Aahh iyaa mbhakk, teruusshh…”

Kali ini tanpa hambatan keduanya saling mendesah. Untung kamar ini cukup kedap suara, jadi mereka tak perlu khawatir suara mereka terdengar sampai keluar atau ke kamar sebelah. Haris yang disuguhi pemandangan indah dari bokong sekal Viona yang bergerak naik turun itu sudah semakin lupa siapa wanita yang saat ini sedang bersetubuh dengannya. Dia sudah tak peduli, yang penting adalah memenuhi permintaan Viona untuk memberinya kepuasan, dan tentu saja untuk menuntaskan birahinya sendiri.

Tak tahan hanya diam, Haris mendorong tubuh Viona hingga berposisi menungging. Haris langsung mengambil posisi di belakangnya, dan kembali menancapkan penisnya. Tanpa menunggu lama Haris langsung menggoyang tubuh indah itu dengan cepat. Kembali desahan erotis Viona memenuhi kamar ini. Haris sendiri terlihat begitu menikmati menyetubuhi Viona.

Haris bisa merasakan perbedaan antara Viona dan Lidya. Meskipun vagina mereka masih sama-sama sempit untuk Haris, tapi Viona tak seperti Lidya yang gampang sekali orgasme, apalagi dengan posisi seperti ini, dan ini membuat Haris tertantang untuk bisa menaklukan kakak iparnya itu.

Sambil terus menggoyang Viona dari belakang, Haris mulai meraih buah dada Viona, dan meremasnya dengan sedikit kasar. Viona memekik, mencoba memprotes tindakan Haris, tapi tak berbuat lebih, dan kemudian hanya membiarkannya saja. Mungkin lebih tepatnya, menikmatinya.

Sudah beberapa menit mereka dalam posisi itu, tapi Viona belum menunjukan tanda-tanda akan orgasme lagi. Padahal kalau dengan Lidya, dia pasti sudah orgasme, bahkan bisa saja lebih dari sekali. Tapi Haris tak kurang akal, dia mainkan tempo genjotannya, dari memperlambat gerakannya, lalu tiba-tiba menusuk dengan cepat dan dalam, perlahan lagi, kemudian cepat lagi, begitu seterusnya. Hal ini rupanya mampu meruntuhkan pertahanan Viona.

“Aaaahh Riiss, dikit laghii, kencengin, teruuss,, yang dalemmm…”

Tak menunggu perintah 2 kali, Haris langsung menggenjot Viona dengan tempo yang sangat cepat, hingga akhirnya tubuh Viona kembali mengejang dan langsung ambruk menelungkup di ranjang. Tubuhnya masih beberapa kali mengejat, tanda masih menikmati sisa-sisa orgasme yang melandanya.

Haris membiarkan tubuh Viona sejenak, sebelum kemudian memutar tubuhnya hingga terlentang. Haris membuka lebar kedua paha Viona, lalu mendekatkan kepala penisnya di bibir vagina Viona yang sudah bener-bener basah.

“Pantes ya Lidya jatuh hati sama kamu, ternyata kayak gini yang kamu buat ke dia,,”

“Hehe, ini belum apa-apa lho mbak.”

“Oh ya? Kalau gitu tunjukin ke aku, sampai dimana kehebatan kamu yang sebenarnya.”

Haris tak menjawab, hanya tersenyum. Yang terjadi selanjutnya adalah Haris langsung menancapkan lagi penisnya ke vagina Viona. Dia langsung menggenjot tubuh kakak iparnya itu dengan kencang. Desahan Viona sudah benar-benar tak tertahan lagi. Harispun tak mencoba menahan dengan membungkamnya. Haris malah menikmati setiap desahan yang keluar dari bibir Viona.

Haris terus menggenjot Viona dengan cepat, bahkan cenderung sedikit kasar. Tapi Viona tak memprotesnya, meskipun gerakan Haris itu membuat vaginanya sedikit ngilu. Dia membiarkan karena memang sudah semakin menikmatinya. Lenguhan dan desahan terus terdengar memenuhi kamar Haris. Beberapa kali mereka saling pagut dan saling melumat bibir. Tangan Harispun tak tinggal diam. Dia tak mau menganggurkan kedua buah dada montok milik Viona. Remasannya yang sedikit kasar ternyata membuat Viona semakin tak karuan.

Tak terlewatkan juga Harus mencumbui kedua gundukan buah dada Viona itu dan bahkan meninggalkan beberapa bekas kemerahan disana. Dan kembali, Viona tak memprotesnya, hanya diam dan menikmatinya. Viona sendiri sudah menggerakkan pinggulnya untuk mengimbangi gerakan Haris. Keduanya sudah semakin tenggelam dalam birahi, sehingga gerakan maupun desahan merekapun semakin tak terkendali.

“Mbak, aku mau keluar,” ucap Haris setelah lebih dari 5 menit mereka dalam posisi itu dan sempat membuat Viona orgasme sekali lagi.

“Cabut Ris, aku pengen ngerasain mani kamu.”

Harispun mempercepat gerakannya, kemudian dengan cepat juga dia menarik penisnya dan mengarahkannya ke wajah Viona. Viona tak membuang waktu dan langsung mengulum penis yang basah oleh cairan kewanitaannya itu. Viona menghisap keras kemaluan Haris, tangannya juga ikut mengocoknya, hingga akhirnya tubuh Haris mengejang hebat. Dia sampai menjambak rambut Viona saat bermili-mili spermanya keluar dan langsung tertelan oleh Viona. Saking banyaknya sperma yang keluar tak semua tertampung oleh mulut Viona, sebagian mengalir keluar.

Viona mencoba menelan semua sperma Haris, lalu dengan lidahnya dia membersihkan kemaluan lelaki yang telah memberinya kepuasan malam ini. Tak lama kemudian Haris mencabut penisnya, dan merebahkan tubuhnya di samping Viona dengan senyum penuh kepuasan. Viona sendiri tampak membersihkan sisa-sisa sperma Haris yang tadi keluar dari mulutnya.

Keduanya tersenyum puas, kemudian berbaring bersisian. Tak ada kata yang terucap, hanya saling tatap dan saling senyum. Tapi mereka berdua sama-sama tahu, kalau mereka sama-sama terpuaskan. Tak ada lagi permainan yang sama setelah itu, mereka sama-sama berpelukan dan memutuskan untuk tidur, dalam kondisi tubuh telanjang penuh peluh sisa pertempuran terlarang mereka berdua.

Bersambung

pacar horny
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 1
Foto Ayane Sakurai artis JAV ngewe sampai banjir
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
Foto memek anak SMA berseragam telanjang pamer belahan vagina
atasanmaniak
Ngentot dengan atasan yang sexy dan hyper sex
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
Foto Bugil Tante Montok Mainin Memek Sampai Basah
Dasar… Baby Maker!
mamah muda
Di Beri Kesempatan Menikmati Memek Mamah Muda Tetangga Ku
Foto bugil memek berbulu full HD
adik ipar
Bercinta Dengan Siska Adik Ipar Ku
Foto ngentot dengan gadis tembem crot di dalam meki
Cerita Dewasa Kisah Cinta Anak ABG SMP Bohay
melayani Nafsu Bejat ipar
Melayani Nafsu Bejat Ketiga Ipar Ku Sendiri
janda muda
Cerita dewasa ngentot janda muda yang kaya raya
ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita