Part #31 : Pernikahan

“Mas, mas Haris, bangun mas..”

“Hemm…”

“Maas banguun, udah siang ini lho..”

Perlahan Haris membuka matanya, dilihatnya Rani disitu. Diapun menggeliatkan badan sebelum akhirnya benar-benar membuka matanya.

“Jam berapa Ran?”

“Udah jam 10 ini.”

“Hah? Jam 10?”

“Iya, tumben kok lama banget mas tidurnya?”

“Haha maklum Ran, masih dalam rangka balas dendam setelah kemarin lembur terus.”

“Ya udah sana cuci muka, atau sekalian mandi. Bapak sama ibuk udah mau sampai lho.”

“Oh iya, hari ini bapak sama ibuk kesini ya.”

“Iya. Udah sana cepetan.”

Harispun bangkit dari tempat tidurnya. Orang tuanya akan datang hari ini. Hari minggu lalu setelah malamnya melamar Anin, kedua orang tua Haris memang langsung pulang ke Solo. Mereka baru akan datang lagi hari ini, yaitu 3 hari sebelum pernikahannya. Mereka sengaja datang lebih awal kalau saja ada yang kurang dari persiapannya maka bisa cepat dibereskan. Setelah mandi dan berganti baju Harispun ke ruang tengah menghampiri Rani yang sedang menonton TV.

Rani

“Kamu nggak ngampus Ran?”

“Entar siang mas, cuma praktikum aja.”

“Duh Ran, laper nih. Kamu udah makan belum?”

“Udah sih mas tadi pagi. Lha gimana? Mau makan sekarang apa nunggu bapak ibuk dulu?”

“Hmm, nunggu mereka aja deh kalau gitu.”

Untungnya tak berapa lama kemudian kedua orang tua mereka sampai. Hanya sebentar kedua orang tuanya itu di rumah Haris langsung mengajak mereka keluar mencari makan. Karena hari itu adalah hari kerja dan belum waktunya jam makan siang orang-orang kantor maka kondisinya tidak terlalu macet. Merekapun memilih ke sebuah rumah makan yang tak jauh dari rumah Haris.

“Gimana le, udah siap lahir batin kan buat nikah?”

“Ya udah dong pak, kan udah sejauh ini masak belum siap? Hehe.”

“Haha yaa siapa tau, kamunya makin grogi dan mendadak berubah pikiran.”

“Haha ya enggaklah pak. Insyaallah Haris udah siap, mantep nikah sama Anin.”

“Baguslah kalau begitu. Terus, untuk persiapannya gimana?”

“Sejauh ini semua beres kok pak, kan udah diurus juga sama WO-nya bu Rahmi. Kemarin aku juga udah kesana buat nyobain baju yang nantinya aku pakai pak, tapi…”

“Tapi opo?”

“Tapi kesananya cuma sama Rani, nggak boleh sama Anin.”

“Haha, ya yang sabar aja, namanya juga lagi dipingit, nggak boleh ketemu dulu.”

“Hehe, tapi kan kangen pak, masak seminggu nggak boleh ketemu? Nggak boleh video call juga, telpon aja jarang diangkat.”

“Haha udahlah, sabar aja. Kan tinggal 3 hari lagi, setelah itu kan kamu bakal sama Anin terus, haha.”

Mereka berempat tertawa bersama. Memang setelah acara lamaran itu, Haris belum sekalipun bertemu dengan Anin lagi. Haris sudah beberapa kali mengajak Anin untuk sekedar makan malam, tapi Anin menolak karena memang dia dilarang oleh kedua orang tuanya. Bahkan Anin juga jarang mau mengangkat telpon Haris, hanya saja mereka masih beberapa kali berbalas chating.

Hanya beberapa hari saja Haris sudah merasa sangat rindu pada Anin, tapi karena memang tak bisa bertemu, Haris hanya bisa melihat foto-foto Anin di galeri handphonenya yang tidak begitu banyak. Mau melihat di akun media sosial Aninpun percuma, karena Anin jarang sekali memposting foto dirinya, lebih banyak gambar-gambar quote atau kata-kata mutiara penyemangat. Karena itulah Haris benar-benar tak sabar untuk segera 3 hari lagi, hari dimana dia akan secara resmi menjadikan Anin miliknya, untuk selamanya.

 

+++
===
+++​

Dua hari sudah terlewati, dan selama itu pula Haris kebanyakan hanya di rumah saja. Selain untuk beristirahat, dia juga banyak ngobrol dengan orang tuanya. Banyak hal yang diobrolkan, tapi yang lebih menjadi topik adalah saran-saran dari kedua orang tuanya soal bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga. Haris mendengarkan semua dengan seksama, ada yang mengganjal di hatinya langsung saja ditanyakan.

Semakin mendekati hari H pelaksanaan pernikahannya, Haris merasakan sesuatu membebani pikirannya. Jika sebelumnya ditanya tentang kesiapan mental Haris menghadapi pernikahannya dia pasti akan menjawab dengan mantap kalau dia siap, kali ini Haris merasa begitu gugup. Kegugupan yang dia rasakan jauh lebih besar ketika menghadapi ujian skripsinya dulu. Juga jauh lebih besar daripada saat wawancara kerja.

Ada beberapa ketakutan yang tiba-tiba mendatanginya. Seperti apakah nanti kehidupannya setelah menikah dan tinggal bersama Anin. Apakah benar pilihannya untuk menikah dengan Anin. Bahkan sampai hal-hal kecil sekalipun menjadi ketakutannya kini. Bagaimana kalau dia salah menyebut nama Anin saat akad nikah nanti. Dia bingung bagaimana menghadapi kegugupannya ini karena baru kali ini dia merasakannya.

“Ris, kamu kenapa kok kelihatan kayak orang bingung gitu?” tanya ayahnya ketika mereka sedang duduk berdua di ruang tengah.

“Hmm, nggak papa kok pak.”

“Gugup ya pasti?”

“Yaa, gitu deh pak.”

“Lha katanya kemarin kamu udah siap lahir batin?”

“Siap sih siap pak. Cuma ya nggak tau, kenapa kok semakin deket harinya malah jadi ngerasa gini.”

“Gini gimana? Coba cerita sama bapak.”

“Hmm, gini pak. Gimana ya, aku ngebayangin aja gimana nanti kalau udah tinggal bareng Anin. Terus, tiba-tiba jadi kepikiran, bener nggak sih pilihanku ini.”

“Hmm, yaa sebenarnya itu wajar sih Ris. Bapak dulu juga ngalamin waktu mau nikah sama ibukmu itu.”

“Terus ngatasinnya gimana pak?”

“Sebenarnya kamu tuh lebih beruntung. Selama ini kamu kan udah tinggal sama Rani, jadi bisa sedikit tau gimana kalau tinggal sama cewek.”

“Ya tapi kan beda pak. Aku udah tau Rani dari dia masih bayi. Kalau ini kan, baru kenal beberapa bulan.”

“Iya, tapi selama ini kan kamu udah tau seperti apa calon istrimu itu. Emang sih nanti setelah tinggal mungkin kamu bakal kaget waktu tau sifat-sifat Anin yang selama ini belum kamu tau. Tapi Anin juga pasti bakal kayak gitu. Selama ini pasti ada yang masih belum dia tau tentang kamu, dan nanti akan tau setelah tinggal serumah.”

“Hmm, gitu ya pak?”

“Iya. Yang jelas, gimana Anin kan kamu udah tau garis besarnya seperti apa. Kamu nyaman sama dia selama ini, dia juga nyaman sama kamu. Sekarang bapak tanya, ada nggak kekurangan kamu, yang menurutmu cukup besar, yang Anin belum tau?”

“Emang kenapa pak?”

“Ada baiknya, dia tau sebelum nikah. Jadi nanti waktu udah resmi jadi suami istri, dia nggak akan terlalu kaget. Kalau kekurangan-kekurangan kecil, ya biar tau seiring berjalannya waktu aja.”

“Hmm, udah pernah aku ceritain sih pak sama dia, dan dia juga udah bisa nerima.”

“Ya berarti bagus. Kamu sendiri, udah tau kekurangan dia?”

“Dia sih nggak pernah cerita apa-apa pak. Tapi aku tau kok dia apa adanya. Kalau ada apa-apa pasti dia cerita sama aku.”

“Ya kalau yang bapak liat sih Anin emang anak yang baik, nggak mungkin dia neko-neko. Apalagi ajaran dari bapaknya pasti ketat kan.”

“Iya sih pak. Terus, hmm, gini pak. Entar gimana ya kalau kami udah berumah tangga terus ada cekcok?”

“Haha, itu sih biasa Ris. Itu namanya bumbu rumah tangga, pasti bakal ada cekcok. Namanya juga 2 orang yang berbeda. Sekecil apapun, perbedaan itu pasti ada. Yang penting, harus ada salah satu diantara kalian yang ngalah. Inget lho, waktu kamu ngucapin ijab qobul nanti, itu artinya kamu udah siap terima semua kekurangan dia. Dan kekurangan itu jangan kamu jadiin alat buat nyerang dia, tapi jadiin pelecut buat kamu agar bisa menutupi kekurangan dia.”

“Hmm, iya pak.”

“Kalau selama ini kamu udah ngerasa apa adanya sama Anin, kamu nggak perlu takut nantinya akan ada masalah besar. Kecuali kalau saat ini, kamu atau dia, ada hal besar yang kalian tutup-tutupi, itu bisa berpotensi jadi masalah besar nantinya.”

“Kalau itu sih kayaknya nggak ada pak. Selama ini dia juga banyak nurutnya sama aku.”

“Ya bapak bisa liat sih. Terus apa lagi yang mengganggu pikiranmu?”

“Hmm, itu pak, anu. Aku takut kalau besok nggak lancar ngucapin ijabnya, hehe.”

“Haha, takut salah sebut ya?”

“Iya pak, hehe. Gimana ya?”

“Ya udah, kamu latihan aja dulu. Tulis di kertas, diapalin. Ngomong di depan cermin, sampai kamu bener-bener mantep. Pokoknya mulai sekarang kamu latihan aja, dicoba dulu.”

“Bapak dulu gitu ya?”

“Iya, haha.”

Keduanya terlibat obrolan seru. Haris merasa senang karena ayahnya memberikan banyak sekali masukan kepadanya. Dan seperti apa yang disarankan oleh ayahnya, diapun menulis kalimat yang harus dia ucapkan besok. Dia mulai berlatih, mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Kadang dia tertawa sendiri saat mengucapkan sambil menghadap cermin. Geli rasanya. Tapi mau tak mau dia harus terus melakukannya.

“Selain buat latihan biar lancar, itu juga biar kamu bisa melihat ekspresimu sendiri waktu ngucapin itu. Banyangin aja yang ada di depan cermin itu bukan kamu, tapi penghulu,” jawab ayahnya waktu dia bertanya kenapa harus berlatih di depan cermin, karena dia sangat geli melakukannya.

Akhirnya Harispun paham dengan maksud ayahnya. Kembali dia berlatih. Bahkan saat Rani pulang dari kampusnya, sampai tertawa melihat apa yang dilakukan oleh Haris. Haris sempat jengkel, tapi dia malah tertawa karena Rani dijewer oleh ayahnya. Haris kemudian melanjutkan latihannya sampai benar-benar merasa lancar. Yang terakhir, dia berlatih dengan ayahnya, dimana ayahnya berperan sebagai penghulu. Beberapa kali dia mengulanginya sampai dirasa sudah benar-benar mantap.

 

+++
===
+++​

Keesokan harinya, tampak pemandangan yang sedikit berbeda di sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari sebuah gedung serba guna. Pagi ini adalah acara akad nikah Haris dan Anin. Haris yang sudah berpakaian rapi serba putih, tampak duduk bersila dengan badan tegap. Di hadapannya adalah seorang penghulu. Mereka sedang berjabat tangan saat penghulu itu mengucapkan apa yang harus diulangi oleh Haris.

Anin sendiri sedang berada di ruang terpisah, tapi bisa melihat apa yang terjadi di tempat Haris berada. Disana dia ditemani oleh ibu dan calon ibu mertuanya, juga beberapa orang lain yang semuanya adalah perempuan. Dia baru akan datang dan duduk di samping Haris ketika lelaki itu sudah disahkan menjadi suaminya.

Wajah Haris terlihat begitu tenang, jabatan tangannya dengan penghulu itu juga terasa mantap, tak terlihat oleh orang lain kalau Haris sedang merasakan kegugupan. Tapi yang sebenarnya, dia merasa benar-benar gugup. Dadanya berdegup kencang sekali. Ketakutan kembali menghampirinya, takut kalau nantinya salah ucap. Bahkan sejak tadi dia membatin kata-kata yang harus dia ucapkan itu berulang-ulang, hingga kini saatnya dia benar-bener harus mengucapkannya. Anin yang berada di ruangan sebelahpun ikut deg-degan menunggu kata-kata itu terlontar dari mulut Haris.

“Saya terima nikahnya Anindya Sahari binti Aziz Sahari dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai!”

Dengan sekali tarikan nafas, dengan cukup mantap Haris mengucapkannya.

“Bagaimana para saksi? Sah?”

“Saaah…” serentak para saksi yang berada disitu menjawabnya.

“Alhamdulillaah…”

Semua orang lega, terutama Haris dan Anin. Anin bahkan sampai menitikkan air matanya, saking bahagianya melihat Haris dengan lancar mengucapkan ikrarnya, yang menunjukkan kalau lelaki itu telah dengan mantap menerimanya sebagai istri.

Prosesi selanjutnya pun dijalankan. Anin bersama ibu dan ibu mertuanya beranjak menghampiri Haris lalu duduk di sampingnya. Senyum penuh kebahagian keluar dari keduanya. Mereka kemudian melanjutkan acara seperti yang sudah diarahkan olah sang penghulu.

Selesai prosesi itu, keduanya kemudian berdiri berdampingan untuk berfoto dan menunjukkan cincin kawin yang sama-sama telah dipasangkan, dan juga buku nikah yang sudah mereka tanda tangani. Setelah itu, dengan bergantian keluarga dan kerabat yang hadir menyalami mereka, memberikan selamat dan doanya.

 

+++
===
+++​

Sekitar 2 jam setelah acara akad nikah paginya, kini Haris dan Anin sudah duduk berdampingan di pelaminan. Acara resepsi ini diadakan di sebuah gedung serba guna yang letaknya ada di tepi ring road, tak jauh dari jembatan layang. Keduanya terlihat gagah dan anggun dengan busana pernikahan mereka. Senyum penuh kebahagiaan tak pernah lepas dari bibir mereka.

Konsep acara ini adalah standing party, jadi tamu yang datang langsung naik ke pelaminan untuk menyalami dan berfoto dengan pengantin, lalu mereka akan kembali turun menikmati hidangan yang sudah disediakan.

Undangan yang disebar untuk acara ini memang cukup banyak, dan tamupun sudah mulai berdatangan. Sebenarnya banyak tamu yang belum dikenal oleh Haris maupun Anin karena mereka adalah teman dari orang tua mereka, tapi mereka tetap dengan penuh senyum menyambut hangat setiap jabat tangan yang memberi selamat dan doa. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih untuk para tamu yang sudah hadir.

Di salah satu sudut ruangan juga ada sebuah live band yang menyanyikan lagu-lagu romantis. Sebenarnya Haris dan Anin tidak pernah merencanakan untuk ada hiburan band seperti itu di acara pernikahan mereka, bahkan mereka juga tidak pernah membahasnya dengan tim bu Rahmi. Terlebih, mereka sama sekali tidak menyiapkan budget untuk itu.

Ternyata itu semua adalah kejutan dari teman-teman Haris. Seno, yang menjadi fotografer di acara ini yang punya ide itu. Beberapa waktu yang lalu dia mengumpulkan teman-temannya, termasuk Bagas, sahabat Haris. Mereka akhirnya sepakat untuk menyewa sebuah band lokal. Haris baru menyadari kalau itu adalah kejutan dari teman-temannya saat melihat Bagas ada di dalam band itu sebagai gitaris. Kebetulan band itu memang band yang dibentuk oleh Bagas dan teman-temannya. Haris tahu kalau Bagas jago bermain gitar, tapi dia tidak tahu kalau Bagas punya band.

“Ini kerjaan kalian ya Sen?” tanya Haris saat Seno menghampirinya.

“Hehe, ini kejutan dari temen-temen Ris. Anggep aja sebagai kado pernikahan kalian.”

“Waah, kalian ini bener-bener ya. Aku nggak bisa ngomong apa-apa Sen, cuma bisa ngucapin makasih aja.”

“Selow bro, wes nggak usah dipikirin. Nikmatin aja hari ini.”

Haris tersenyum saat Seno berlalu. Aninpun ikut tersenyum, merasa senang dengan hadiah dari teman-teman suaminya.

Acara terus berlangsung dan tamu terus berdatangan. Para tamu yang sudah datang dari tadipun ternyata tidak langsung pulang. Mereka sedang asyik berbincang dengan rekan-rekan mereka yang sudah lama tidak bertemu. Acara ini ternyata menjadi sebuah ajang reuni dadakan juga untuk para tamu.

Hari sudah semakin siang, dan kali ini kebanyakan tamu yang datang adalah teman-teman Haris dan Anin. Dan sama seperti tamu-tamu sebelumnya, setelah memberikan selamat kepada Haris dan Anin mereka tak langsung pulang, tapi terlihat bergerombol karena memang sudah cukup lama tidak saling bertemu. Apalagi setelah lulus kuliah mereka sudah menyebar ke berbagai kota untuk bekerja.

Haris dan Anin cukup senang melihat cukup banyak teman-teman mereka yang datang hari ini, termasuk mereka yang sekarang tinggal di luar kota pun juga terlihat datang. Rata-rata datang bersama dengan pasangannya, baik itu yang sudah menikah ataupun belum. Hanya saja dalam hatinya, Haris masih merasa deg-degan, bertanya-tanya apakah Lidya akan datang ke pernikahannya ini atau tidak. Di satu sisi dia ingin Lidya datang, tapi disisi lain dia tidak mengharapkannya.

Apalagi sejak Haris mengirimkan undangan pernikahannya melalui WA, dan setelah Lidya membalas pesan itu dengan mengucapkan selamat, mereka tak pernah berkomunikasi lagi. Haris sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Lidya entah seperti apa Haris tidak tahu. Dan saat ini dia bingung bagaimana harus bersikap jika Lidya benar-benar datang.

Waktu sudah hampir jam 1 siang, acara sudah mendekati akhir. Kebanyakan dari tamu sudah pulang, dan beberapa saja yang masih bertahan disana. Haris dan Anin sebenarnya agak capek juga, apalagi semalam Haris tidak bisa tidur nyenyak karena gugup menghadapi acara ini. Tapi mereka tetap sabar dan terus menebar senyum.

Sampai kemudian ada seorang lelaki paruh baya yang terlihat datang diikuti 4 pria dengan setelan jas rapi. Tak banyak yang memperhatikan mereka karena tidak ada yang mengenalnya. Para tamu yang masih ada disitu hanya berpikir kalau mungkin rombongan yang baru datang itu adalah teman dari orang tua Haris atau Anin. Tapi dari sekian banyak orang yang ada di gedung itu hanya Haris dan ayah mertuanya, Aziz, yang menyadari siapa pria yang baru saja datang itu.

Pria itu langsung naik ke pelaminan untuk menyalami Haris dan Anin. Saat menyalami Haris, pria itu tersenyum penuh misteri. Anin yang berdiri di samping Haris hanya tersenyum saja karena tidak tahu siapa pria itu. Selain menyalami, pria itu tampak memeluk Haris dan membisikan sesuatu kepadanya.

“Selamat ya Ris, semoga langgeng sama istrimu, nggak kayak kakak sepupumu itu.”

Haris tersentak mendengar ucapan pria itu. Tapi karena masih dalam rangkaian acara, dia mencoba untuk tetap tersenyum, menjaga agar istrinya tidak curiga.

“Istrimu cantik, jaga dia baik-baik ya, kalau nggak mau kehilangan dia,” lanjut pria itu.

“Terima kasih, pak Titus,” jawab Haris sambil tersenyum, tapi dari tatapan matanya yang tajam tersirat ketidaksukaannya dengan kehadiran pria itu, yang tak lain adalah Titus.

“Oh iya, dapat salam dari Mira, dia minta maaf karena nggak bisa datang hari ini,” ucap Titus saat melepas pelukannya pada Haris. Aninpun bisa mendengar ucapan Titus jadi agak terkejut, dan semakin bertanya-tanya siapa sebenarnya pria itu. Tapi sama seperti Haris, Anin masih tetap mencoba untuk tersenyum.

Setelah Titus dan para anak buahnya berlalu mereka lalu menyalami Aziz.

“Mau ngapain kamu kesini? Jangan buat ulah disini Titus!” ucap ayah Anin, dengan lirih karena takut terdengar orang lain.

“Hei hei, begitukah sikapmu kepada tamu yang menghadiri pernikahan putrimu? Tenang saja, aku tau ini hari bahagia putrimu dan suaminya, aku tidak akan mengganggu mereka saat ini. Aku cukup tau diri Aziz. Tapi, entahlah kalau setelah ini,” jawab Titus sambil tersenyum.

“Awas kalau kamu berani macam-macam!”

Tanpa menjawab, Titus hanya tersenyum lalu berlalu. Tak seperti tamu lain yang setelah turun dari pelaminan mengambil makanan, mereka langsung pergi meninggalkan gedung ini.

“Mas, itu tadi siapa sih? Kok nyebut nama Mira?” tanya Anin berbisik kepada Haris saat Titus dan anak buahnya sudah keluar dari gedung.

“Nanti aja Nin aku ceritain,” jawab Haris. Dia mencoba tersenyum agar istrinya itu tidak berpikiran macam-macam.

Haris tidak ingin kebahagiaan istrinya hari ini terusik dengan kedatangan Titus. Tapi sebenarnya dia sendiri juga bingung, bagaimana Titus bisa mengenal Mira? Ada hubungan apa antara Titus dengan Mira? Dan lagi, apa pula maksud Titus dengan menyebut kakak sepupunya, yang tak lain adalah Aldo? Kenapa dia bilang kalau pernikahan Aldo dan Viona tidak langgeng? Apa yang terjadi dengan mereka? apakah Titus tahu keberadaan Aldo dan Viona saat ini? Banyak pertanyaan yang aada di kepala Haris, tapi dia memutuskan untuk tak memikirkannya sekarang, karena masih ada beberapa tamu tersisa yang datang pada mereka.

 

+++
===
+++​

Di satu sudut lain di gedung ini, Gavin yang sedang bersama dengan Rani tampak tersenyum melihat kedatangan bossnya tadi. Dia menggelengkan kepala, mengetahui bossnya benar-benar datang, padahal dia kira waktu kemarin mengucapkan itu, Titus hanya bercanda saja.

“Yank, kenapa sih kok senyum-senyum sendiri?” tanya Rani yang melihat Gavin tersenyum.

“Itu lho yank, kamu liat tamu yang barusan pergi nggak?”

“Oh, yang 5 orang itu tadi?”

“Iya.”

“Liat, kenapa emang yank? Kamu kenal?”

“Enggak, bukan gitu. Lucu aja. Liat deh, semua tamu yang lain datang kesini pada pake batik semua, mereka berlima malah pake jas rapi gitu.”

“Hehe, iya sih, salah kostum tuh yank. Apa mungkin mereka baru pulang kerja terus langsung kesini.”

“Lah, pulang kerja gimana, ini kan hari minggu. Emang siapa yang kerja di hari minggu?”

“Yaa nggak tau yank, siapa tau aja kan?”

Gavinpun kemudian mengalihkan pembicaraan mereka. Dia tak ingin membahasnya lebih banyak lagi, karena memang Rani belum tahu siapa itu Titus. Nantinya, akan ada waktunya Rani tahu siapa Titus, dan juga Gavin sebenarnya, tapi tidak untuk saat ini.

Kembali Gavin menemani Rani menyapa teman-temannya yang datang. Sejak pagi tadi, saat acara akad nikah memang Rani nempel terus dengan Gavin. Beberapa keluarganya sempat bertanya siapa Gavin, dan Rani dengan malu-malu menjawab kalau Gavin adalah calonnya. Dan kembali Gavin berakting sebagai pria baik-baik di depan semua keluarga Rani.

Saat Rani sedang sibuk dengan teman-temannya, Gavin kembali melirik ke arah pelaminan, dimana Haris dan Anin sudah duduk karena tidak ada lagi tamu yang datang. Mereka terlihat saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan, Gavin tidak peduli. Pandangan Gavin terfokus pada Anin yang tampak begitu cantik dan anggun hari ini. Rani sudah berhasil dia dapatkan, dan sudah benar-benar takluk kepadanya. Sekarang yang ada di pikiran Gavin adalah Anin, dan apa yang dia bicarakan kemarin dengan bossnya tentang rencana mereka terhadap Anin.

Bersambung

Foto telanjang mama muda lagi sange bugil pamer memek
gadis binal
Calon Pengantin Wanita Yang Berselingkuh Ayah Mertua Di Saat Resepsi Pernikahan
abg liar
Kehidupan Malam Mengubah Ku Jadi ABG Yang Liar
anak pembantu sange
Anak Pembantu Ku Yang Penurut
Ceria Dewasa Enak-Enak Dengan Istri Teman
500 foto chika bandung saat masih perawan pertama kali jalan sama pacar
pegawai apotik
Menikmati tubuh pegawai apotik waktu dia jaga malam
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri
onani nikmat
Cerita ngocok waktu di rumah sendirian
korban dukun cabul
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian satu
adik tiri
Cerita Ml dengan adik tiri yang sampai sekarang masih ku lakukan
500 foto chika bandung bugil mandi dulu sebelum ngentot dengan pacar
cantik sange
I Love You Rini
toket gede
Tidur Bareng Sama Pembantuku Yang Lugu Bagian Dua
Cerita Dewasa Berawal Dari Nonton Video Panas
sma hot
Cerita hot bercinta dengan papa tiri tersayang